Berikan aku cahaya, katanya, sesuatu yang dapat membantuku melihat kebenaran.
SEJAK cahaya menghilang dari desa kami, dia selalu meminta cahaya.
Jadi aku kisahkan padanya tentang Blind Snakes, ular yang
menyerupai cacing tanah panjang. Mereka hidup di liang bawah tanah, dan tidak
dapat menggunakan matanya yang sangat kecil untuk melihat, tapi mereka bisa
merasa apa yang ada di sekelilingnya. “Kita harus seperti ular itu,” kataku.
Dia membantah. Katanya, “Blind Snakes tidak dapat melihat karena
memang buta. Sedang kita punya mata yang dapat melihat. Hanya saja tidak ada
cahaya.”
Dulu desa
kami selalu bercahaya. Matahari begitu benderang dan bintang-bintang sangat
gemerlapan. Belum lagi kerlip kunang-kunang yang bahkan lebih bersinar
ketimbang cahaya bulan. Ya, waktu itu desa kami bahkan sangat terang di malam
hari. Cahaya ada di mana-mana, sampai ke sudut desa yang paling terpencil sekalipun.
Cahaya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup kami.
Aku masih
ingat masa kecil dulu. Kami menangkap dan menendang-nendang cahaya,
melemparkannya ke udara, bahkan terkadang kami mengapung di dalamnya. Aku
sendiri sering membawa cahaya pulang, menuangkannya ke dalam bak mandi,
kemudian berendam berjam-jam di sana. Seringkali ibu memergoki kelakuanku.
Kalau sudah begitu, ibu pasti menjewer telingaku. “Nanti kamu masuk angin,”
hardiknya. Tapi ibu sendiri selalu membedaki wajahnya dengan cahaya tanpa takut
angin menyusup ke dalam kulitnya.
Cahaya
tak pernah pergi. Kami tumbuh bersama cahaya. Ketika kami remaja dan mulai
mengenal cinta, kami menulis surat cinta di atas selembar cahaya. Semburat
merah muda membayang ketika kami mengikat cahaya di kaki burung dara, dan
ketika terang bulan mulai berpendar, burung dara akan menyampaikan cahaya itu
kepada kekasih yang dituju. Cahaya memang sangat memesona, maka kami juga
belajar merangkainya menjadi benda-benda indah, kemudian memberikannya sebagai
hadiah pada orang yang paling kami sayangi.
Sampai
suatu hari, datang orang-orang dari luar desa. Mereka menebangi pohon-pohon di
hutan dan menanami ladang-ladang sesukanya. Sejak itu kami tak punya apa-apa
kecuali cahaya. Semua telah mereka rampas. Kami bahkan tak bisa sembarangan
mengambil biji yang jatuh dari pohon, karena jika melakukan itu, kami bisa
dituduh mencuri.
Kami tak
mampu melawan mereka. Kami hanya bisa menangis di setiap senja yang sendu tapi
mereka membuang air mata kami ke sungai atau meniupnya hingga membumbung ke
langit abu-abu. Maka kami memilih diam dan menjahit mulut dengan cahaya, tapi
mereka biarkan mulut kami dipenuhi luka. Bahkan ketika kami membakar diri
dengan cahaya, mata mereka tetap saja buta, tak mau melihat terang yang ada. Hingga
suatu hari, kami mulai membuat tali dari cahaya dan menggantung diri dengannya.
Setelah itu cahaya padam selamanya.
Sekarang
kegelapan menyelimuti desa. Tidak ada cahaya. Tidak ada terang. Semua padam.
Bahkan kunang-kunang ikut menghilang. Untuk pertama kali dalam hidup ini, kami
takut pada gelap, melebihi takut pada mati.
“Raksasa
memakan cahaya kita… raksasa memakan cahaya kita,” ratap ibu sambil
menarik-narik rambutnya, “dia memakan cahaya supaya kita tidak bisa melihat
kebenaran.”
Ibu
kemudian menangis berjam-jam lamanya, sedangkan bapak yang semakin tua hanya
termangu sambil bibirnya mengulum-ngulum rokok yang tidak mau menyala.
“Tidak.
Aku rasa cahaya hanya sedang marah,” kata bapak lirih. “Dia marah karena kita
pakai untuk bunuh diri.”
Itulah
terakhir kali aku melihat mereka. Tidak ada lagi yang bisa dilihat sejak gelap
benar-benar menguasai desa. Kami bahkan tidak bisa melihat jari-jari tangan
sendiri. Tiba-tiba semua menjadi asing. Kami berjalan tanpa arah demi mencari
cahaya sampai akhirnya terpisah. Jalanan dipenuhi jerit tangis anak-anak yang
tersasar dan teriakan ibu-ibu yang kehilangan anaknya. Semua orang mencari-cari
cahaya. Semua orang tercerai berai dalam gelap.
DIA adalah gadis yang ramping namun tegap berisi. Rambutnya panjang
melebihi pinggang dan tebal bagaikan ladang gandum. Pipinya ranum dan selalu
merah ketika tersipu, dengan sedikit lesung pipit yang akan bertambah cekung
jika tersenyum. Leher jenjangnya terlihat indah jika dia menengadah, warnanya
putih susu dan setiap saat memancarkan keharuman yang memaksa setiap lelaki
untuk melirik. Laki-laki yang melihatnya akan berdesir dalam hati, “Ah,
cantiknya.” Lalu laki-laki itu akan tersenyum padanya dan dia akan membalas
senyuman itu hingga membuat laki-laki tersebut gelisah dan terjaga di malam
hari. Aku tak pernah berhenti memikirkannya dan baru merasa tenang jika
menatapnya dari kejauhan.
Dia jelas
sangat berkelas. Itu tampak lewat suaranya yang nyaring dan anggun. Suaranya
seperti burung bulbul sedang jatuh cinta yang nyanyiannya dapat menyembuhkan
luka. Aku tak mengira bisa bertemu lagi dengannya. Suara dan aroma tubuhnya
yang memanggilku. Adalah semacam ironi bila kami bisa sedekat ini. Dulu dia tak
pernah membalas surat cinta yang setiap minggu kukirim di kaki burung dara,
tapi sekarang dia membutuhkanku untuk menemaninya mencari cahaya. Memang ada
kebahagiaan di balik penderitaan, demikian pula sebaliknya.
Tapi
sayangnya dia terus meratap minta cahaya secepatnya ada. Rengekannya membuatku
gusar. Bagaimana mungkin cahaya dapat cepat ditemukan, sementara untuk berjalan
pun kami tertatih-tatih. Tanpa matahari lumut tumbuh di mana-mana, muncul
rimbun di ranting pepohonan, melekat pada dahan-dahan, merambat di jalan
beraspal dan pinggir selokan, bahkan mekar di telapak kaki kami. Lagipula tak
seorang pun ingin terperosok dalam lubang di tengah kegelapan yang pekat ini.
Akhirnya
aku jadi ingat ratapan ibu bahwa cahaya dimakan raksasa agar tidak ada lagi
kebenaran yang dapat dilihat. Mungkin ibu benar. Maka setelah dongeng Blind
Snakes tidak berguna untuk menenangkan hatinya, aku mulai bertutur
tentang raksasa.
“Raksasa
memakan cahaya kita,” kataku.
“Benarkah?”
suaranya bernada sendu.
“Ya, dia
memakan kebenaran yang seharusnya dapat kita lihat dengan mata telanjang.”
“Aku
butuh cahaya agar kebenaran ada dan mereka memakannya?”
“Tenanglah,
kau masih punya nurani. Biarkan raksasa memakan cahaya. Selama nuranimu masih
menyala, maka masih ada sisa kebenaran yang bercahaya dalam hidupmu.”
“Aku
tidak mengerti….”
Dia mulai
menangis dan tak bisa berhenti.
KEGELAPAN lantas menyebar dengan cepat ke desa-desa
lain. Kepanikan terjadi di mana-mana. Ribuan orang dievakuasi menuju kota.
Namun gelap pun menyambar sampai ke kota-kota. Akhirnya seluruh tempat terseret
pusaran malam yang sangat panjang. Jutaan orang terombang-ambing di tengah
gelap yang berbisa, seolah mengapung dalam ruang hampa. Tak ada lagi tempat
yang bisa dituju. Tak ada tempat yang tak kehilangan cahaya. Negeri kami
benar-benar menjadi gelap, dingin dan mencekam. Mungkin seperti ini rasanya
terjerembab dalam lubang kubur paling terdalam.
Kini
cahaya menjadi sangat berharga di negeri kami, negeri yang kehilangan cahaya,
dimana hanya ada kabut kelam sebagai gantinya. Di saat seperti ini orang rela
menukar miliknya yang paling berharga demi sepotong cahaya. Hampir setiap hari
ada saja suara-suara yang menawarkan cahaya, dan kami berbondong-bondong
mengikuti suara itu, sampai suara tersebut mengembus pelan-pelan meninggalkan
rasa kecewa. Hingga suatu hari, seseorang benar-benar muncul dengan sepotong
cahaya di tangannya.
Hanya
sepotong cahaya, tapi segera menjadi magnet yang memanggil-manggil. Suara-suara
bermunculan dalam kesenyapan. Kami larut dalam keterpanaan. Di depan kami
seolah terhampar laut yang begitu luas dan ombaknya menggulung tubuh kami ke
tengah samudera yang dipenuhi rahasia. Darimana dia mendapat cahaya?
Di
sepotong cahaya itu bayangan diri kami memantul. Bayangan yang juga
memanggil-manggil dan memecah gulungan ombak di tubuh kami menjadi serpihan
buih. Selalu pada akhirnya, ada pedih tertahan saat kita kembali ke masa lalu.
Ingatan yang berulang-ulang dan memudar pelan-pelan seperti buih ombak yang
menghilang.
Berikan aku cahaya, katanya, sesuatu yang dapat membantuku melihat
kebenaran.
Keheningan
lantas menghilang berganti keriuhan ala pasar malam. Orang-orang berlomba ingin
memiliki cahaya. Mereka menawarkan uang, kalung emas, cincin berlian, jam
tangan impor, bahkan baju dan celana yang sedang dipakai. Yang lainnya tidak
memiliki apa-apa lagi kecuali tubuh mereka sendiri. Maka mereka pun mulai
memotong-motongnya.
Ada yang
memotong tangannya, kakinya, telinganya, hidungnya, bibirnya, bahkan mencungkil
satu biji matanya. “Ambillah mata ini, aku masih punya setengah lagi untuk
melihat cahaya darimu,” kata seorang lelaki. Suaranya serak. Mungkin udara
lembab telah membuat paru-paru dan kerongkongannya rusak.
Bau amis
luruh bersama kucuran darah. Aku terpaku dengan pemandangan ini. Setelah sekian
lama hidup dalam gelap, cahaya tidak lagi membawa bahagia tapi ngeri yang ngilu
dan miris. Lihatlah, mereka menjadi tidak sabar dan sekejap saja menjadi liar.
Mereka berkelahi di atas genangan darah demi memperebutkan cahaya, hingga
cahaya yang cuma sepotong itu pun jatuh terbenam dalam kubangan darah.
Padam.
Namun bau
darah yang serupa aroma daging segar ternyata lebih menggairahkan ketimbang
cahaya. Darah membangkitkan naluri yang sangat purba. Naluri kerakusan yang
selama ribuan tahun membuat orang saling membunuh. Sejak itu mereka tidak lagi
mencari cahaya tapi memburu sesama manusia. Negeri kami sekarang dikuasai
makhluk-makhluk pengisap darah. Makhluk-makhluk yang selalu lapar dan dahaga.
Barangkali
hanya aku dan dia yang tetap setia mencari cahaya dengan mengendap-endap dalam
sunyi agar selamat dari tikaman taring mereka. Siapa yang dimangsa akan berubah
jadi pemangsa. Kami tidak ingin jadi vampir yang mengisap darah sesama.
“Benarkah
nurani tidak pernah jahat kepada makhluk hidup?”
“Ya,
selama nuranimu masih menyala.”
“Sayangnya…
nurani tersembunyi dalam hati, bagian tubuh yang paling gelap. Bagaimana dia
bisa bercahaya sedang dia sendiri terbungkus dalam senyap?”
Aku tidak
menjawab. Sejujurnya aku hanya ingin menenangkan hatinya dengan kata-kata,
selebihnya aku tidak mengerti.
“Aku
ingin terang yang menghangatkan, cahaya yang dapat membantuku melihat
kebenaran.”
“Kau akan
dapatkan semua itu. Bersabarlah. Kebenaran ada dalam hatimu. Kau hanya perlu
menunggu.”
Aku
mendekapnya, membiarkan panas tubuhku menghangati hatinya. Tubuhku seolah
bergetar, seperti ada lingkaran badai yang menyentak-nyentak dalam dada. Lantas
dia mengangkat kepalanya dari dekapanku, mengusapi wajahku dengan nafasnya yang
selembut beludru. “Aku ingin selamanya bersamamu mengarungi kegelapan ini,” katanya.
Ah, kami
cuma sepasang manusia yang muram di antara gelap dan gemeretak ranting-ranting
pepohonan. Kemudian dengan penuh gairah dia melumat bibirku. Antara mimpi dan
malam, aku merasai taring kami bergesekan hingga memercikkan bunyi seperti
suara sendok dan garpu di atas meja makan. Aku seperti mati. Selebihnya sunyi.
Gelap
memburaikan nafsu purba yang selama ini kami hindari. Nafsu akan anyir darah.
Darah yang mengalir dari leher harum yang berjenjang indah. Siapa yang dimangsa
akan jadi pemangsa. Haruskah kami menjadi vampir yang mengisap darah sesama?
Ketika
gelap dan hening mencapai puncaknya, gelombang laut pasang di dada melayarkan
kami ke negeri teramat jauh. Sejauh itu pula taringnya berlayar dan menancap di
urat nadi leherku. Sedikit perih tapi melegakan. Dan tiba-tiba aku merasa
sangat lapar dan dahaga.
Di negeri
kami, nurani memang sudah mati. (*)