*) Dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Minggu 29 April 2012
Kampung di tengah rimba
itu seperti menawarkan kengerian: gelap dan senyap. Hanya sebuah obor yang
disangkutkan ke pohon belian di mulut kampung yang menjadikannya sedikit
bercahaya. Namun gerimis baru saja mematikan obor tersebut dan kepulan asap
dari obor yang mati itu kelihatan seperti kabut pekat yang menjadi pintu masuk
ke dimensi lain. Di saat seperti itulah lelaki itu tiba di sana, ketika malam
sudah larut dan tak ada tempat lagi yang bisa dia tuju.
Ada rasa ragu menjalar
di hatinya, namun deras gerimis memaksa dia terus melangkah. Dan semakin jauh
langkah kakinya, semakin dia menyadari jika kampung itu benar-benar sunyi.
Hanya ada beberapa rumah panggung dengan penghuni yang mungkin sedang bermimpi.
Dia tidak ingin mencari perkara dengan membangunkan orang tidur. Tidak semua
orang senang dibangunkan dari mimpi.
Namun ketika hujan
akhirnya benar-benar turun, dia tidak punya pilihan lain. Dia terpaksa mengetuk
pintu sebuah rumah. Selang beberapa lama, dalam keremangan lampu minyak,
seorang perempuan tua muncul dari balik pintu. Matanya menatap tajam seperti
memancarkan hawa dingin yang membuat bulu kuduk berdiri.
“Bisakah saya menumpang
malam ini?” Bibir lelaki itu bergetar. Nafasnya terhenti. Tapi hanya ini
kesempatan terbaiknya. Barangkali tidak ada lagi rumah yang lampu minyaknya
masih menyala, kecuali rumah perempuan tua ini.
“Tolonglah saya. Malam
ini saja. Besok pagi-pagi sekali saya pergi.”
***
Lelaki itu duduk
bersandar pada dinding bambu. Perutnya kenyang. Setelah seharian kelaparan,
makanan yang baru selesai dia santap bagaikan hidangan dari surga. Sementara di
luar sana hujan belum juga reda. Suara daun-daun bambu bergesekan mengembuskan
hawa kengerian. Angin dingin yang masuk lewat celah-celah bambu, membuat rumah
itu seperti membeku.
Lelaki itu diam-diam
memerhatikan si perempuan tua. Jarak di antara mereka mungkin tiga kali panjang
lengan orang dewasa. Usia perempuan itu kira-kira 70 tahun, atau mungkin lebih
muda. Tapi keriput yang memakan wajahnya menjadikan dia benar-benar kelihatan
tua.
“Apa yang ingin kau tahu
tentang diriku?” Perempuan tua membuka percakapan. Suaranya pelan, tapi nyaring
seperti orang tercekik. Si lelaki merasa tidak enak hati. Perempuan tua itu
jelas tahu dirinya diam-diam diamati.
“Ah, tidak, saya … saya
hanya ingin berterima kasih sudah dibolehkan menginap di sini.”
“Kau pengelana yang
tersesat. Aku harus menolongmu. Kenapa kau bisa sampai kemari?”
“Entahlah, saya hanya
mengikuti langkah kaki.”
“Kau lari dari masalah?”
Lelaki itu diam. Dia
ingat istrinya yang baru dia bunuh beberapa hari lalu. Bersama istrinya, mati
pula laki-laki yang telah merusak kebahagiaan rumah tangganya.
“Ya, bisa dibilang
begitu.” Suara lelaki itu bergetar.
“Suaramu memancarkan
kesedihan. Siapa namamu?”
“A Ghu.”
“Aku Pa’inkg.
Orang-orang memanggilku Nek Macan Pa’inkg.”
“Nek Pa’inkg … Nek
sendiri di rumah ini?”
“Ya, suamiku mati
sepuluh tahun lalu. Kami tidak punya anak.”
Lelaki itu termenung.
Matanya menyapu lantai kayu yang gelap. Dia ingat anaknya yang menangis sambil
mengoyang-goyang jasad ibunya yang berlumur darah. Entah apa yang ada dalam
benak seorang bocah yang bahkan belum bisa mengeja kata-kata.
“Kenapa diam? Kau ingat
seseorang? Anakmu?”
Lelaki itu mengangguk.
Sebagai pedagang antar pulau, dia biasa pergi jauh sampai berbulan-bulan. Selama
itu dia percaya pada kesetiaan istrinya, sampai suatu hari, setelah dia
kembali, seseorang mengadu kepadanya. “Ada lelaki sering masuk ke rumahmu saat
kau pergi.”
Lelaki itu tak mau
begitu saja percaya. Dia harus membuktikannya sendiri. Maka setelah satu bulan
dia bersikap biasa-biasa saja, dia pamit pada istrinya. “Aku mau pergi. Mungkin
dua atau tiga bulan,” katanya. “Pergilah, hati-hati selalu. Kami akan
merindukanmu.” Tapi beberapa hari kemudian dia sudah kembali, tepat ketika
istrinya sedang bersama laki-laki lain. Maka terjadilah peristiwa itu.
“Darimana asalmu?”
“Apa itu penting?”
“Tidak juga. Tapi kau
harus selalu ingat asalmu. Ke sanalah kau akan kembali.”
Lelaki itu menggeleng.
Dia tidak mungkin kembali. Terlalu banyak kenangan di kotanya yang tidak ingin
dia ingat lagi. Kenangan manis maupun pahit, kini mengejarnya, mengikutinya,
menghakiminya, menjadikan dia seperti pesakitan di kursi terdakwa. Satu-satunya
yang dia tidak mungkin lupa adalah anaknya yang tidak sempat dia bawa.
“Apa yang kau inginkan
sekarang?”
“Tidak ada. Saya hanya
ingin pergi jauh.”
“Pergi ke mana?”
Laki-laki itu tidak
menjawab. Matanya menyapu wuwungan rumah. Tidak terlihat apa-apa di sana
kecuali gelap. Sejenak dia merasa, seperti itulah masa depannya.
“Kalau kau tidak punya
tujuan lagi, maka hidupmu akan berakhir.”
“Maksud Nek?”
“Maksudku, sampai kapan
kau akan hidup seperti ini?”
Lelaki itu menunduk.
Gemuruh hujan makin deras. Suara gesekan daun dan ranting pepohonan terdengar
makin kencang. Tapi di tengah keriuhan hujan, dia merasa sepi. Dia merasa
terasing dari dirinya sendiri. Butiran air menggenangi matanya ketika
bayang-bayang dirinya yang terpantul di dinding bambu perlahan sirna. Ke mana
lagi dia hendak melangkah? Dia tidak mempunyai saudara lain yang bisa dituju.
Semua saudara dan teman baiknya menutup pintu ketika tahu dirinya diburu
polisi.
“Apa kau ingin kehidupan
baru? Tempat tinggal baru? Kau ingin lepas dari masalahmu?”
Mata lelaki itu
berbinar. Mungkin perempuan tua ini punya jalan keluar untuknya. Mungkin
perempuan tua ini akan menawarinya pekerjaan. Ya, dia bisa membantu perempuan
itu. Apa saja akan dia kerjakan asal diberi makan dan tempat tinggal untuk
sembunyi dari masa lalu.
“Ya, saya ingin
kehidupan baru, tempat tinggal baru, saya ingin melupakan masa lalu,” kata
lelaki itu. “Apa ada pekerjaan untuk saya? Nenek tidak perlu membayar saya,
cukuplah jika saya diberi makan. Oh, jika ada kandang ternak, saya bersedia
tidur di sana. Tak perlu kiranya saya tinggal dalam rumah ini.”
“Benarkah? Aku memang
punya pekerjaan untukmu.”
“Apa yang harus saya
kerjakan?”
“Aku ingin kau menjadi
pusaka!”
“Pusaka?” Lelaki itu
tiba-tiba merasa takut. Raut mukanya menegang. Instingnya mulai berkata lain.
“Saya tidak mengerti, menjadi pusaka?”
“Begini,” perempuan tua
itu merubah posisi duduknya, sedikit bergeser ke depan. “Sudah lima tahun
terakhir kami mendapat musibah. Hutan tak lagi ramah. Buah-buahan menghilang.
Hewan sulit diburu. Ternak-ternak mati. Manusia di kampung ini pun banyak yang
mati. Lama-lama kami akan musnah.”
“Lantas, apa hubungannya
dengan pusaka?”
“Kami perlu pusaka untuk
melindungi kampung ini dari bala.”
“Ya, tapi bagaimana saya
bisa menjadi pusaka?”
“Kami perlu pusaka dari
tengkorak orang yang dipenggal kepalanya.”
“Apa?” Lelaki itu
mendelik. Dia bergidik membayangkan kepalanya lepas dari badan.
“Maukah kau menjadi
pusaka? Kau akan menjaga kampung kami dari bencana. Kau tidak perlu ke
mana-mana lagi. Kau akan abadi bersama kampung ini. Kebaikan dan pengorbananmu
akan selalu kami kenang.”
Mulut laki-laki itu
menganga. tak bisa berkata apa-apa. Sementara hujan di luar makin deras saja.
Suara daun dan ranting menghilang, diganti dentuman halilintar. Hawa dingin
yang menyelusup lewat celah bambu mengunci tubuhnya. Bermenit-menit kemudian,
lelaki itu mulai bisa menguasai diri. Dia merasa perempuan tua itu tidak serius
dengan ucapannya, atau mungkin dia sudah gila.
“Saya tidak mengerti,”
suara lelaki terdengar lirih. “Kenapa nenek memberitahu saya?”
“Buat apa aku bohong
padamu?”
“Tapi saya bisa lari!”
“Supaya masa lalu bisa
mengejarmu? Kau senang ditangkap masa lalu?”
Lelaki itu tidak
menjawab. Dia berusaha berpikir jernih. Di luar gelap dan hujan, dia bisa
bertemu harimau atau ular. Tidak ada harapan baginya di luar sana. Tapi jika
dia bisa melewati malam ini, besok pagi-pagi sekali dia akan menyelinap pergi
untuk selama-lamanya. Dia tahu sudah saatnya mengakhiri percakapan. Dia harus
mengumpulkan tenaga untuk perjalanan esok hari. Maka disenangkannya hati
perempuan tua itu.
“Baiklah, saya bersedia
menjadi pusaka. Besok siang, silahkan penggal kepala saya.”
“Benarkah?” Suara
perempuan tua terdengar gembira. “Apa benar kau merelakan kepalamu?”
“Ya, saya rela. Tapi
biarkan saya istirahat sekarang. Saya ingin tidur untuk terakhir kali.”
“Kami akan memberimu
sesaji sepanjang tahun untuk kau makan. Kau tidak akan kelaparan lagi. Kau akan
tinggal bersama kami selamanya. Di sinilah asalmu. Tempat kau akhirnya
kembali.”
Lelaki itu hanya
mengangguk. Dia sudah terlalu lelah untuk menanggapi omongan macam itu. Sesaat
setelah perempuan tua meninggalkannya, lelaki itu pun membaringkan diri.
Perasaan nyaman menjalari punggungnya yang pegal. Dia teringat malam-malam di
mana dia merebahkan diri di samping istri dan anaknya.
Sekilas muncul
penyesalan dalam hatinya. Andaikan waktu itu dia bisa menahan diri, tentu dia
tidak perlu berada di tempat ini. Namun kemudian dia berpikir istrinya memang
layak mati. Lelaki itu tersenyum membayangkan betapa mudah dia menipu istrinya
dengan berpura-pura pergi jauh, sama mudahnya seperti sekarang dia menipu
perempuan tua itu.
Setelah lama berpikir,
lelaki itu akhirnya memutuskan untuk menatap masa depan. Dia akan mencari
kerja. Dia akan menabung. Suatu hari nanti, dia akan berdagang lagi. Dan dia
akan kembali untuk mencari anaknya. Belum pernah dia merasakan semangat seperti
yang dia rasakan sekarang. Suara burung hantu sayup-sayup terdengar di
kejauhan. Tak lama kemudian, dia tidur dengan nyenyaknya.
Malam makin larut. Hujan
sudah reda. Lidah api dari lampu minyak meredup, namun bayangan tubuh lelaki
yang terlelap masih jelas terpantul di dinding bambu. Bayangan itu kemudian
berpadu dengan bayangan dari tubuh perempuan tua yang membawa sebilah parang di
tangannya. (*)
Eka Maryono
Lahir di Jakarta, 2
Maret 1974. Pendidikan terakhirnya ditempuh di jurusan Sastra Jepang
Universitas Nasional (1991-1997). Kini aktif sebagai penggiat komunitas Studi
Sastra Jakarta. Bukunya yang sudah terbit “Etalase Sunyi” (Kumpulan Puisi
Kamar, Yayasan Pintar, 2002).