*) Dimuat di Harian Republika dan Sumut Pos, Minggu 8 Juli 2012
Seorang
laki-laki tiba-tiba masuk ke kantor polisi.
“Lapor
Pak, otak saya hilang.”
“Hah?
Jangan bercanda, Saudara!”
“Sungguh
pak, otak saya hilang!”
“Kok bisa-bisanya otak Saudara hilang?
Saudara jangan main-main ah!”
“Sumpah,
Pak! Pasti dicuri maling sewaktu saya tidur. Lihat nih kalau bapak nggak percaya.” Lelaki itu menunjukkan kawat yang
mencuat di ubun-ubun kepala.
“Apa
itu?”
“Tadi
saya menyuruh sopir mengebor kepala saya. Bapak lihat sendiri kan, kalau otak
saya ada, mana mungkin kawat ini bisa begini nih.” Lelaki itu mengaduk-aduk lubang bekas bor di kepalanya dengan
kawat.
Begitulah,
ketika bangun tidur di suatu pagi, tokoh kita ini -seorang anggota dewan yang
terhormat- terkejut saat menyadari otaknya hilang. Padahal sudah 42 tahun otak itu
tersimpan rapi dalam batok kepalanya, dan selama ini aman-aman saja. Entah bagaimana
dia bisa hidup tanpa otaknya. Yang jelas, beberapa jam kemudian, tokoh kita sudah
berada di ruang praktek dokter spesialis bedah otak di sebuah rumah sakit
terkenal.
“Aneh
ya, aneh, benar-benar aneh.” Dokter sibuk membolak-balik hasil foto rontgen. “Hilang
ke mana ya otak Anda?”
“Aduh,
Pak Dokter kok malah nanya ke saya?”
“Oh
ya, ya, maaf. Ini kasus aneh. Baru pertama kali terjadi di dunia medis ada otak
manusia bisa hilang ketika tidur.” Dokter kembali membolak-balik foto rontgen
di tangannya, entah sedang mencari apa, mungkin dia berharap otak pasiennya jatuh
dari dalam foto rontgen itu.
“Begini,
saya akan konsultasi dulu dengan rekan-rekan yang lain. Kebetulan sore ini ada
arisan dokter ahli bedah otak. Saya akan diskusikan masalah ini di sana. Pasti
ada jawaban logis untuk penyakit Anda, itu pasti, saya janji.“
Hanya
begitu saja, lagi-lagi tokoh kita merasa kecewa. Bahkan dokter pun tak sanggup
menjelaskan kenapa otaknya bisa hilang. Tokoh kita benar-benar bingung. Kalau benar
otaknya dicuri maling, kenapa bukan barang-barang berharga saja yang dicuri? Memangnya
otaknya laku dijual? Atau jangan-jangan mau dijadikan campuran gulai kambing? Hiii! Dia merinding membayangkan otaknya
direbus dalam kuah berbumbu.
Sepanjang
yang bisa diingatnya -karena sebagian ingatannya ikut hilang bersama otaknya-
otak yang hilang itu memang jarang digunakan. Setiap pagi ketika bangun tidur,
sarapan sudah terhidang di atas meja. Mau mandi, handuk sudah disiapkan. Habis
mandi, jas, dasi dan sepatu pun tersedia. Mau masuk dan keluar mobil saja,
pintu dibukakan sopir. Di kantor pun dia lebih banyak duduk santai di ruang
kerja karena semua tugas sudah dikerjakan oleh sekretaris dan staf ahli. Dia
tak perlu memikirkan apa-apa lagi karena orang lain sudah memikirkannya lebih
dulu.
“Saya
yakin, otak saya tersinggung karena jarang saya pakai. Akibatnya dia marah dan
kabur ketika saya tidur,” katanya kepada seorang psikiater yang kebetulan
lokasi prakteknya berseberangan dengan rumah sakit tadi.
Ahli kedokteran
jiwa itu, seorang wanita muda berparas cantik, membenahi kacamatanya. Sejujurnya
dia gusar dengan pernyataan tokoh kita. Soal analisa penyebab larinya si otak
adalah pekerjaannya, bukan tugas pasien untuk mencari tahu. Namun sang psikiater
agak malu juga untuk menunjukkan ketidaksenangannya. Dia baru beberapa bulan
membuka praktek, dan dirinya yang masih hijau memang harus sedikit bersabar
menghadapi pasien yang datang dengan keluhan luar biasa ini.
“Pada
otak manusia terdapat lapisan tipis berwarna abu-abu yang disebut cerebral cortex,” sang psikiater menunjuk lembaran kertas
berisi gambar otak manusia yang tertempel di dinding ruang praktek, ”Nah, di lapisan korteks ini terdapat
berbagai macam pusat saraf yang mengendalikan ingatan, perhatian, persepsi,
pertimbangan, bahasa dan kesadaran.”
Tokoh
kita yang terhormat bersemangat mendengar penjelasan tersebut. Sepertinya si psikiater
tahu banyak tentang seluk beluk otak manusia.
“Kerusakan pada area cortex
berhubungan dengan kurangnya empati, respon yang buruk pada ketakutan dan
penderitaan, atau kurangnya emosi kesadaran diri seperti rasa bersalah dan rasa
malu. Apa akhir-akhir ini Bapak sering merasa bersalah atau merasa malu?”
Tokoh kita tersentak. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, sejak
lama otaknya hanya dipakai untuk memikirkan hal-hal yang menyenangkan. Studi
banding ke luar negeri, makan siang dengan sekretaris cantik, tatap muka dengan
tokoh-tokoh kelas atas, fitness, main
golf, berenang, berkuda di puncak, pokoknya apa sajalah asal jangan disuruh
mikir yang berat-berat. Dan jika ada keluhan ini itu dari masyarakat, tokoh
kita langsung mengistirahatkan otaknya. Tapi sebagai manusia yang masih
memiliki nurani, terkadang dia malu juga pada diri sendiri.
“Ya,
saya memang sering merasa bersalah, juga malu kalau tidak sungguh-sungguh memperjuangkan
aspirasi masyarakat. Tapi saya yakin bukan itu masalahnya. Otak saya marah
karena jarang saya pakai, makanya dia pergi. Sayang sekali. Seharusnya dia
bicara dulu baik-baik, bilang apa maunya, pasti saya turuti. Kalau tiba-tiba ngambek dan langsung pergi, saya juga akhirnya
yang susah.”
Psikiater
itu mencermati tiap perubahan ekspresi di wajah tokoh kita sembari menafsirkan kata
demi kata yang didengarnya. Setelah hampir satu jam mengerahkan segenap
kemampuan yang dia dapat di bangku kuliah dan hasil membaca ratusan buku-buku
ilmu jiwa, akhirnya sampailah sang psikiater muda pada sebuah kesimpulan.
Begini hasil analisanya:
“Saya
rasa Anda mengalami skizofrenia, sebuah gangguan pada perilaku, pikiran, emosi
dan persepsi. Skizofrenia
merupakan sindrom klinis yang paling membingungkan. Penderitanya bisa merasa
ketakutan, rendah diri, atau sebaliknya berada dalam posisi superior yang
mengancam orang lain.”
“Maksud Anda saya gila? Keterlaluan! Saya tidak gila!” Tokoh
kita tiba-tiba berdiri, membuat gugup psikiater yang belum berpengalaman itu.
“Benar-benar menyebalkan! Seharian ini saya menghabiskan
waktu meminta bantuan pada orang-orang yang tidak memahami akar persoalan. Otak
saya hilang! Sekarang saya ingin tahu kenapa dan ke mana otak saya pergi! Saya
ingin otak saya kembali! Titik!”.
***
Didera rasa kesal dan putus asa, tokoh kita akhirnya membuat
sayembara. Hadiah besar akan diberikan bagi siapa saja yang dapat mengembalikan
otaknya. Maka berduyun-duyunlah orang datang ke rumahnya.
“Ini pak otaknya, kebetulan barusan nemu di jalan.”
“Kecil banget, ada-ada saja, ini sih otak ayam. Pergi sana!”
“Ini pak, otak yang besar, pas sama ukuran kepala bapak.”
“Hmmm, kok ada
lengket-lengketnya? Warna kuning ini apa? Bau gulai kambing? Ini otak embek ya?
Kurang ajar!”
“Yang ini asli otak manusia lho pak. Boleh dicoba dulu, kalau cocok baru bayar.”
“Hiii, otak siapa
ini? Kok baunya busuk? Ada belatungnya! Baru digali dari kuburan ya? Hiii!”
***
Sampai berbulan-bulan kemudian, ribuan orang datang silih
berganti, dari dalam maupun luar kota, bahkan ada yang datang dari luar negeri.
Tapi keberadaan otak tokoh kita tetap misterius. Akibatnya tokoh kita benar-benar
putus asa. Akhirnya dia memasang iklan di berbagai surat kabar. Isinya
permohonan maaf. Dia mengaku khilaf karena tidak maksimal menggunakan otaknya. Dia
memohon, benar-benar memohon, jika otaknya membaca iklan tersebut, sudilah
kiranya sang otak mau kembali masuk ke dalam kepalanya.
Tentu saja kelakuan tokoh kita mengundang beragam reaksi dari
masyarakat. Banyak orang merasa prihatin, namun lebih banyak lagi yang
menganggap musibah tersebut sebagai hukum karma. Tak ketinggalan rekan-rekan
sejawat tokoh kita ikut pula memberi komentar. Nyinyir-nyinyir komentarnya.
“Itu kan salahnya
sendiri karena dia jarang memakai otaknya. Kalau saya sih selalu mencurahkan
pikiran dan tenaga demi menyalurkan aspirasi masyarakat,” kilah seorang anggota
dewan dengan mimik bangga dalam sebuah tayangan televisi.
“Saya rasa kejadian ini cuma rekayasa, biasalah … buat
pengalihan isu,” kata seorang anggota dewan yang lain. “Mana mungkin sih otak bisa hilang begitu saja, kecuali
kalau sejak lahirnya dia memang tidak punya otak. Atau jangan-jangan dia korban
cuci otak aliran sesat?”
Sungguh
kasihan … tokoh kita jadi frustasi mendengar semua komentar itu. Politik memang
jahat. Politik tak mengenal sahabat. Politik hanya mengenal peluang dan tak
punya belas kasihan. Tidak ada penghargaan bagi manusia tak berotak seperti
dirinya. Tanpa otak, derajatnya sebagai manusia turun sampai ke titik nol.
Tokoh
kita terpaksa menjalani sisa hidup dengan rasa malu, juga rasa takut. Kepergian
otak tersayang bisa menginspirasi bagian-bagian tubuhnya yang lain untuk ikut
pergi. Jadi tokoh kita mulai mewaspadai mata, telinga, dan lidahnya sendiri,
Ketiga pancaindra itu juga tak pernah optimal dia gunakan, maka bukan mustahil
ketiganya akan ikut kabur atau hilang dicuri orang.
Selama
ini, matanya memang senang menyaksikan keindahan dunia, tapi enggan melihat
rakyat yang sedang menderita. Telinganya suka mendengar musik-musik indah,
obrolan segar, cekikikan perempuan di atas ranjang, tapi malas mendengar jerit
tangis manusia. Lidahnya sering mengucapkan segudang janji indah pada
masyarakat, tapi janji-janji itu jarang dia tepati.
Tokoh
kita juga menjadi sangat berhati-hati pada semua orang. Dia curiga mereka ingin
mencuri mata, telinga dan lidahnya. Mungkin mereka ingin membalas dendam dengan
cara seperti itu. Maka ketika dia merasa orang-orang mulai melirik mata,
telinga dan lidahnya, dia langsung menjerit seperti orang kerasukan.
***
Seorang anggota dewan yang hendak masuk ke mobil dicegat oleh
puluhan wartawan di pelataran gedung parlemen.
“Kemarin rekan Anda dibawa ke rumah sakit jiwa, komentar Anda
bagaimana?”
“Ah, itu cuma
rekayasa, seperti pernah saya bilang … buat pengalihan isu.”
”Anda masih tidak percaya kalau otak rekan Anda benar-benar hilang?”
“Ah, ini kan konspirasi
intelijen tingkat tinggi.”
“Tapi faktanya otak itu benar-benar hilang. Menurut Anda,
hilang dicuri atau kabur sendiri?”
“Wah, itu saya
nggak tahu, tanya sendiri dong ke
otaknya.”
“Katanya siang ini Anda hendak mengunjungi masyarakat miskin
di luar kota?
“Ya, ya, betul itu. Sudah ya, jadwal kerja saya padat sekali
nih.”
Si anggota dewan buru-buru masuk ke dalam mobil. Beberapa
ratus meter mobil berjalan, sang senator sudah asyik bertelepon ria dengan
seseorang.
“Iya sayang, tunggu sebentar ya, abang sedang dalam
perjalanan ke sana. Daaah sayaaaang.
Kebut dikit Mat. Dah terlambat nih.”
“Ke tempat biasa, Pak?”
“Ya iyalah, pake nanya segala.”
Anggota dewan kita melirik arloji emasnya, kemudian dengan
nyaman menyandarkan kepala di jok mobil. Lagu instrumentalia yang dipasang
Mamat ditambah sejuk AC mobil membuat suasana makin terasa nyaman. Reda sudah cenat-cenut
yang tadi sempat dia rasa gara-gara
harus memutar otak untuk menjawab pertanyaan wartawan. Sekarang kepalanya
terasa ringan, benar-benar ringan, seperti ada sesuatu yang hilang dari dalam
sana. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar