*) Dimuat di Koran Tempo, Edisi Minggu, 12 Agustus 2012
“Kakek,
saya bantuin, ya?”
“Ya,
ya, bersihkan yang di ujung sana.”
Kakek
tertawa dan mengelus-elus rambut saya. Saya berlari ke ujung yang lain, lalu mulai
mengelap peti mati buatan kakek.
Begitulah,
kakek adalah pembuat peti mati satu-satunya di desa kami, tapi kakek hanya
membuatnya setelah musim tani usai. Dalam satu tahun hanya satu peti mati yang ia
hasilkan. Ya, satu tahun untuk satu peti mati.
Soal
angka satu ini sepertinya sudah jadi angka keramat bagi keluarga kami. Lihatlah,
saya adalah anak satu-satunya dari bapak, sementara bapak adalah anak kakek
satu-satunya, dan kakek tentu saja anak tunggal.
Bisa
dikatakan hanya bapak dan kakek keluarga saya. Ibu pergi meninggalkan rumah
saat saya masih menyusu di dadanya. Saya tidak pernah tahu ke mana ibu pergi.
Tidak seorang pun memberitahu alasan mengapa ibu pergi. Tapi dulu ada
tetangga yang sering mengejek saya, katanya ibu perempuan nakal karena lari dengan
mandor perkebunan.
Saya
tidak pernah mencari tahu apakah ibu benar-benar lari dengan lelaki lain.
Barangkali saya sadar bahwa saya masih kecil atau mungkin sekedar takut untuk
mengetahui sebuah kebenaran. Cerita macam itu terlalu sedih untuk dikenang. Sebelum
bapak meninggal satu tahun lalu, saya sering melihat bapak menangis malam-malam
bila kangen pada ibu.
Dulu,
setiap malam bapak selalu duduk di teras rumah. Suatu kali saya pernah
bertanya, kenapa bapak selalu duduk di sana. “Sebentar lagi ibumu pulang,” katanya.
Suaranya terdengar datar. “Malam ini atau besok, dia akan datang.” Kalau sudah
begitu, bapak akan menitikkan air mata.
Kebiasaan
bapak ini sering membuat kakek marah. Katanya bapak laki-laki cengeng. Bapak
akan marah jika kakek sudah berkata seperti itu dan ganti mengejek kakek
sebagai laki-laki berhati batu. Jika sudah begitu, saya akan menjauhi
pertengkaran mereka lalu mengurung diri dalam kamar sambil mengutuki malam
karena membuat duka bapak semakin suram seperti kata-kata yang sulit dieja di
atas selembar kertas kusam.
Saya
tidak mau seperti bapak, menangisi sesuatu yang tidak ada.
Namun
ada satu kenangan tentang diri bapak yang saya sangat senang untuk
mengingatnya. Begini, ketika bapak masih hidup, ia rajin mengajak saya ke
gereja. Ya, gereja, dengan dentang loncengnya yang sendu dan menjauh itu.
Saya senang mendengar lonceng gereja karena serupa suara bapak saat
memanggil-manggil saya agar cepat bangun di Minggu pagi yang mendung.
Saya
senang melihat bapak berdoa di gereja. Saya merasa gereja menjadi satu-satunya
tempat bagi bapak untuk menyinggahkan hidupnya yang pahit. Saat bapak berdoa di
sana, kegetiran merayap dari sudut mata pucatnya, menjelma jadi butiran air
mata yang meluruhkan kata-kata.
Sejak
bapak meninggal, saya tidak pernah lagi menginjakkan kaki di gereja. Kakek
tidak pernah mau mengantar saya. Ketimbang pergi ke gereja, kakek lebih senang
merawat peti mati buatannya yang diletakkan berjejer di lorong samping rumah. Hanya
ada dua peti mati di sana. Satu ukuran
besar, satunya lagi kecil. Karena kakek hanya membuat satu peti mati setiap
tahunnya, maka itu artinya sudah dua tahun tak ada orang yang membeli peti mati
buatan kakek. Tapi kakek tak peduli. Tiap hari kedua peti mati itu ia bersihkan
sampai licin hingga lalat pun pasti jatuh terpeleset bila berani hinggap di
atasnya.
“Peti
ini membuatku ingat akan mati,” kata kakek suatu ketika sambil mengelap sebuah
peti mati yang ukurannya kecil dan penutupnya menggelombang seperti ombak. Warnanya
cokelat kemerahan dan mengilap seperti cermin yang memantulkan wajah kami apa
adanya.
“Ingat
bapak dan nenek juga?” tanyaku.
Kakek
diam sejenak, lalu kembali mengelap.
“Suatu
hari nanti, kita akan masuk ke dalam peti mati,” katanya.
“Ah,
kakek saja, saya nggak mau.”
“Kau
harus mau, peti ini kan ukurannya sesuai badanmu.”
Hah?
Biar saya masih kecil, saya tahu canda semacam itu tidak boleh diucapkan.
Bagaimana kalau ada setan lewat? Bisa-bisa jadi kenyataan! Keterlaluan! Saya
masih terlalu kecil untuk mati. Lulus sekolah saja belum. Rupanya kakek
memahami ketidaksenangan saya.
“Kau
seperti nenekmu.”
“Nenek
seperti apa?”
“Ya
seperti dirimu. Sama-sama takut mati.”
“Memangnya
kakek nggak takut mati?”
Kakek
tak menjawab. Dia mengibaskan kain lap di tangannya. Tidak ada debu terlontar
dari kain lap itu. Hanya hawa panas sedikit menerpa wajah saya. Akhir-akhir ini
udara terasa agak lembap. Sudah lebih sebulan matahari kurang bersinar, namun udara
malah lebih panas dari bulan-bulan sebelumnya. Kiranya sebentar lagi musim
kemarau akan tiba.
Desa
kami memang kerap dilanda kemarau panjang. Kalau sudah begitu, sawah-sawah akan
kering kerontang karena sungai dan irigasi lebih dulu mengering. Padi-padi akan
layu dan tak bisa dipanen. Dulu, kata kakek, untuk mengganti padi yang layu,
orang-orang menanami sawah dengan palawija. Tapi ternyata hasilnya tidak memuaskan. Tetap
saja tanaman mereka mati akibat kurang disiram. Hingga suatu hari
kakek mengajari orang-orang untuk membuat batu bata. Sejak saat itu, orang-orang
membuat batu bata setiap kemarau tiba. Sejak itu pula, desa kami dikenal
sebagai desa penghasil batu bata. Namun lucunya setiap musim kemarau, kakek malah
membuat peti mati, dan bukan batu bata.
Sepertinya
kakek memang memiliki ketertarikan yang aneh pada peti mati. Bukan hanya untuk
mengingat kematian seperti yang sering dia katakan, tapi seolah ada kepedihan
yang tertawan dalam hati kakek yang selalu mendorongnya untuk membuat peti mati.
Menurut cerita bapak, saat nenek meninggal, nenek dimakamkan dengan peti mati
buatan kakek. Anehnya, sebelum nenek meninggal, kakek sudah membuat sebuah peti
mati yang ukurannya pas dengan tubuh nenek.
“Kakek
kamu punya bakat jadi dukun. Sejak dulu kakekmu itu memang memuja setan! Apa
kamu pernah melihat kakekmu berdoa?” seru bapak suatu ketika, sehabis dia
bertengkar dengan kakek.
Saya menggeleng. Saya memang tidak pernah
melihat kakek pergi ke gereja. Saya juga tidak pernah melihat kakek berdoa di
rumah.
“Begitulah
kalau orang tidak mau menyalahkan dirinya sendiri, ketika sengsara mereka
menyalahkan Tuhan. Sekarang kakekmu membuat peti mati yang ukurannya pas dengan
badan bapak. Lihat! Lihat saja! Sebentar lagi bapak juga akan menyusul
nenekmu.”
Dan
satu bulan kemudian, bapak benar-benar menyusul nenek.
Tiba-tiba
saya tersadar, bukankah sekarang tersisa dua peti mati, satu ukuran besar dan
satunya kecil. Saya kira yang besar itu memang pas dengan ukuran tubuh kakek,
dan yang kecil pas dengan badan saya. Apakah kebetulan saja jika kakek membuat
dua ukuran yang berbeda? Atau jangan-jangan memang disengaja? Apakah kedua peti
itu belum laku terjual atau jangan-jangan kakek memang tidak mau menjualnya?
Saya
merasa ada sesuatu yang tidak beres. Kakek pasti mendapat firasat tentang
kematian kami. Saya tak mau masuk ke dalam peti mati itu. Saya juga tak mau
kakek masuk ke dalamnya. Saya takut kehilangan dia. Cuma dia milik saya
satu-satunya. Dalam hati saya berdoa agar kami dijauhkan dari kematian. Tapi
apa kematian bisa diubah dengan doa? Firasat kakek pasti jadi kenyataan.
Seperti firasatnya dulu sewaktu nenek dan bapak akan dijemput maut. Sebentar
lagi kakek akan mati, dan saya pasti ikut menemani.
“Kakek,
kalau kita mati apa kita akan masuk surga?”
“Yang
pasti masuk ke peti mati.”
“Setelah
itu ke surga?”
“Dikubur
dalam tanah.”
“Baru
ke surga?”
Kakek
diam saja. Dia melipat kain lap yang ada di tangannya.
“Kata
Romo Pastur dulu, kalau tidak ke gereja, kita masuk neraka.”
“Tahu
apa dia soal neraka, memangnya dia pernah ke sana?”
“Saya
belum pernah pergi ke neraka, Bapak.”
Saya
dan kakek sangat terkejut. Romo Pastur tahu-tahu sudah berdiri di dekat kami,
padahal kami tidak mendengar pintu pagar dibuka, juga tidak mendengar langkah
kakinya.
“Bagaimana
kabar Bapak? Maaf kalau saya mengagetkan Bapak.”
Kakek tidak menjawab. Wajahnya saja yang
pucat. Mungkin belum hilang rasa kagetnya. Kaget bercampur malu. Romo Pastur
yang tinggi besar itu kemudian membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke wajah
saya.
“Hampir
satu tahun kamu tidak ke gereja,” kata Romo Pastur dengan lembut sambil
menyentuh bahu saya.
Sama
seperti kakek. Saya juga diam. Saya bingung mencari jawaban.
“Dia
harus membantu saya membuat peti mati,” kata kakek.
“Membantu
Bapak membuat peti mati? Setiap hari? Tapi kenapa peti matinya cuma ada dua?”
tanya Romo Pastur heran. Janggutnya yang lebat bergerak-gerak, mungkin
bulu-bulu itu ikut merasa heran.
“Oh,
ya, ya, akhir-akhir ini dia memang malas ke gereja,” kata kakek menjadikan saya
sebagai kambing hitam. “Saya tidak mau memaksa dia. Saya pikir berdoa di rumah sama
dengan berdoa di gereja. Gereja toh bukan bangunan, gereja adalah hati
kita. Kita bisa berjumpa Tuhan di mana pun kita berada,” kata kakek.
“Oh,
bapak benar sekali. Kalau begitu mari kita berdoa bersama,” kata Romo Pastur.
“Apa?!”
“Mari
berdoa, Bapak.”
“Berdoa?
Di sini?”
“Ya,
kita bisa berjumpa Tuhan di mana pun kita berada, bukankah begitu? Atau Bapak
ingin kita berdoa di dalam rumah? Saya tidak keberatan jika diundang masuk ke
dalam rumah Bapak.”
Romo
Pastur membetulkan letak kecamatanya. Kelihatannya dia sedikit memaksakan kehendak.
Sebenarnya saya sudah sering melihat Romo Pastur yang asli Belanda itu datang
untuk mengajak kakek ke gereja sejak saya masih belajar melafalkan huruf dan
angka. Tapi ada saja alasan kakek untuk menolaknya.
“Saya
sudah berdoa pagi ini, malam tadi, kemarin pagi, saya sudah berdoa berkali-kali,”
kata kakek.
“Tidak
apa-apa, mari kita berdoa sekali lagi untuk menyenangkan hati Tuhan seperti Dia
menyenangkan hati kita.”
Kakek
kelihatan gusar. Dia memijat-mijat keningnya.
“Bapak
kelihatan kurang sehat?”
“Ya,
betul sekali, saya sedang tidak enak badan.”
“Kalau
begitu mari berdoa, Tuhan Maha Menyembuhkan sakit manusia.”
Kakek
kelihatan makin gelisah. Tiba-tiba saja dia roboh ke tanah. Romo Pastur kaget
sekali. Buru-buru dia membopong kakek ke atas kursi. Kakek dikipas-kipasi
sampai sadar kembali. Romo Pastur kelihatan merasa bersalah.
“Maafkan
saya, Bapak sudah tua dan lemah, seharusnya saya tidak memaksa Bapak untuk
berdoa bersama.”
“Tidak
apa-apa. Nanti saya berdoa sendiri.”
“Ya,
begitu lebih baik.”
Tak
lama kemudian Romo Pastur pamit pulang. Saya mengantarnya sampai halaman depan.
“Jaga kakek kamu, dia sungguh orang baik,” pesannya. Saya pun kembali ke dalam
rumah, kakek sedang mengelap peti mati ukuran besar dengan kain yang tadi sudah
dilipatnya.
“Kakek
pura-pura pingsan ya?” tanya saya.
Seperti biasa, kakek tak menjawab jika dia tak suka dengan pertanyaan
yang dilontarkan kepadanya. Hanya saja, saya merasa, hari itu dosa kakek
bertambah satu lagi. Benar-benar bertambah satu lagi.
Sebuah
suara tiba-tiba membuyarkan lamunan saya.
“Kakek,
saya bantuin ya?”
“Ya,
ya, ambil kain lap itu lalu bersihkan yang di ujung sana .”
Saya
mengelus-elus rambutnya sebelum dia berlari riang ke ujung peti mati yang
sedang saya bersihkan.
“Kakek,
sekarang kan hari Minggu? Kakek tidak ke gereja?” tanyanya.
“Kakek
sudah tua, berdoa di gereja terasa berat bagi orang tua
sepertiku,” jawab saya.
“Di
rumah kakek juga tidak pernah berdoa.”
“Kata
siapa? Tiap hari kakek berdoa, toh
Tuhan Maha Pemurah.”
Dia
tersenyum penuh arti. Hari ini dosa saya bertambah satu lagi. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar