Minggu, 10 Juli 2011

BATU


*) Dimuat di Harian  Republika, Minggu, 10 Juli 2011

Sebuah batu besar tiba-tiba muncul di tengah sawah. Sekilas batu ini nampak biasa saja dan mirip batu-batu di perbukitan. Namun karena kemunculannya yang mendadak, warga jadi heboh dan percaya batu itu adalah batu ajaib.
     “Ini namanya batu tiban!”
     “Munculnya saja mendadak!”
     “Jangan-jangan batu keramat!”
     “Pasti ada penunggunya!”
     Begitulah. Semua warga desa mengerumuni batu yang mendadak muncul di sawah milik Karto. Mereka takjub, tak habis pikir, bagaimana mungkin batu sebesar kerbau tiba-tiba bisa ada di sana?
     “Siapa yang membawa batu ini?”
     “Apa dipindahkan dengan traktor?”
     “Kenapa enggak ada jejaknya?”
     Makin siang makin banyak warga berkerumun. Tua, muda, anak-anak, laki-laki maupun perempuan, hampir semua warga desa tumplek jadi satu di tempat itu. Mereka mengusap-usap batu itu. Sebagian mengetuk-ngetuknya. Sebagian lagi berusaha mencungkilnya. Sebagian lagi tidak berani menyentuhnya. Mereka bertanya-tanya apa kegunaan batu tersebut. Mereka yakin batu itu tidak mungkin muncul begitu saja.
     “Batu ini pasti kiriman Tuhan!”
     “Mungkin kiriman dewa!”
     “Ah, jangan-jangan dari penunggu bukit?”
     Warga tiba-tiba riuh. Baru kemarin sore para sesepuh kampung bersama Pak Kades dan seorang paranormal setengah kondang meletakkan sesaji di puncak bukit selatan desa, pagi ini sudah muncul keajaiban. Mereka jadi menduga-duga, jangan-jangan batu itu memang pemberian danyang penunggu bukit.
     “Moga-moga lekas turun hujan!”
     “Biar panen nggak gagal!”
     “Biar saya bisa kuliahin anak ke kota!”
     “Biar punya uang buat kawin lagi!”
     Orang-orang tertawa mendengar celotehan yang sudah basi itu. Keriuhan bertambah ramai. Mereka terus berbincang, terus bermimpi, terus berharap. Apalagi ketika Pak Kades datang dan merasa kalau kemunculan batu itu merupakan pertanda kemarau panjang akan berakhir, warga jadi tambah yakin batu itu bisa membawa hujan turun membasahi desa.
     Ketika siangnya hujan benar-benar turun, aroma khas tanah kering yang mendadak basah menyebar ke seluruh penjuru desa. Orang-orang melonjak kegirangan. Mereka berhamburan keluar rumah. Ada yang mengangkat tangan sambil berdoa. Ada yang sujud syukur. Ada yang mengambil ember untuk menampung air hujan. Ada yang lari menuju sawahnya. Ada juga yang menari-nari di halaman rumah bersama anak-anaknya. Sementara Pak Kades langsung menelepon sang paranormal. Pak Kades tak habis mengucap terima kasih, karena paranormal itulah yang memberi saran untuk meletakkan sesaji di atas bukit.
     “Terima kasih, pak … terima kasih sekali lagi,” kata Pak Kades.
     “Sama-sama Pak Kades, saya senang bisa membantu,” kata paranormal.
     “Hebat betul dukun satu ini,” ujar Pak Kades dalam hati sambil mematikan handphone-nya. Ia merasa, tak sia-sia mendatangkan paranormal itu jauh-jauh dari luar desa.
     “Weleh-weleh … kok bisa manjur ya?” kata paranormal kebingungan seraya memasukkanhandphone ke saku celana.
     Hujan turun sampai hari-hari berikutnya. Tak lama kemudian, daun-daun muda tumbuh dari tangkai-tangkai pepohonan, melebar dan bertambah jumlahnya, sawah pun kembali subur. Masa paceklik terlewati dan orang-orang kembali kepada kehidupan mereka yang normal sebagai petani.
     Tapi suatu hari, ketika matahari telah condong dan bayang-bayang petang menjelang, seorang lelaki buta berjalan berpapah pada bahu anaknya, mendekati batu ajaib. Dia meletakkan sebungkus kembang kemudian berdoa. Esoknya dia bangun dengan mata bisa menangkap cahaya. Untuk pertama kali dalam tahun-tahun terakhir hidupnya, dia bisa melihat lagi.  
     Kabar sembuhnya lelaki buta dengan cepat menyebar ke seantero desa. Untuk kedua kalinya orang-orang kembali berkerumun dekat batu ajaib. Sebagian orang menebar kembang lantas berdoa, persis seperti yang dilakukan lelaki buta. Sebagian lagi mengusap-usap batu tersebut kemudian disentuhkan pada bagian tubuh yang sakit. Yang lain mengusap-usap wajah mereka setelah lebih dulu mengusap-usap batu itu. “Biar enteng jodoh,” kata seseorang. “Buat nambah karisma,” kata yang lain.
     Sejak itu, orang-orang sakit disembuhkan, orang buta langsung melihat, orang tuli akhirnya mendengar, orang bisu bisa bicara. Yang susah jodoh segera bertemu pasangan. Yang bercita-cita kerja di kota langsung dapat panggilan kerja. Bahkan ada yang menang togel sampai jutaan rupiah.
     Keajaiban yang terjadi di desa kecil itu langsung menyebar ke segala tempat, apalagi setelah ramai diberitakan di televisi dan surat kabar. Dari hari ke hari, semakin banyak orang berdatangan. Mereka membawa bungkusan kembang telon, bahkan ada yang membawa lisong.
     Sejak batu itu muncul, sawah Karto jadi rusak diinjak-injak peziarah. Ia pun tak bisa lagi bertani. Tapi Karto tak merasa sedih, apalagi marah. Karto malah menangkap peluang bisnis. Ia lantas membuat kotak amal. Orang-orang memasukkan uang seikhlasnya ke dalam kotak tersebut. Apalah artinya seribu dua ribu perak dibandingkan harapan yang jadi kenyataan? Bahkan banyak orang yang memberi lebih. Mereka yakin, harapan mereka akan lebih mudah dikabulkan jika banyak memberi sumbangan.
     Semakin hari semakin banyak orang yang datang, jumlahnya mencapai ribuan. Hidup Karto berubah jadi makmur. Baru kemarin dia membeli parabola, sekarang sepeda motor baru sudah terparkir di depan rumah. Bukan mustahil beberapa minggu lagi dia akan membeli mobil. Sekarang saja, Karto sedang merenovasi rumahnya. Tak percuma ia meminta pada batu ajaib agar diberi kelancaran rezeki.
     Di tempat lain, Pak Kades duduk di pelataran Kantor Kepala Desa. Sedari sore ia enggan pulang ke rumah. Berbatang rokok sudah ia hisap. Kini jemarinya menyelipkan batang rokok terakhir ke sela bibirnya yang kering dan tipis. Pak Kades merasa kesal. Dialah orang yang berinisiatif untuk mendatangkan paranormal, bahkan honor sang paranormal pun diambil dari kantung pribadi. Semuanya demi kepentingan desa. Tapi sekarang, justru Karto yang paling menikmati hasilnya. Pak Kades tidak puas hanya kebagian jatah mengelola lapangan parkir dan menarik retribusi dari para pedagang. Dia berhasrat lebih dari itu!
     Besoknya beberapa hansip menancapkan papan pengumuman di sawah milik Karto. Karto terperanjat. Bola matanya membelalak. Seolah tak percaya ia berusaha mengeja kata demi kata yang tertera di papan tersebut: “Tanah Milik Desa: Akan Dipergunakan Sebesar-besarnya demi Kemakmuran Warga!” Karto protes! Dia berusaha mencabut papan itu, tapi langkahnya dihalangi para hansip. Karto bahkan diusir dari sawahnya sendiri!  
     Karto marah! Benar-benar marah! Belum pernah sekali pun dalam hidupnya ia merasa dirampok sedemikian rupa. Ia bergegas menuju Kantor Kepala Desa. Tapi sesampainya di sana, ia malah kena damprat. “Kamu mau menghalangi kemajuan desa, ya?” bentak Pak Kades. “Kamu mau berontak ya … kamu mau subversif … kamu berani melawan saya … dasar!” Nyali Karto ciut. Dia dikepung hansip yang jadi kaki tangan Pak Kades. Sebagai gantinya, Pak Kades memberi Karto sawah desa yang ada dekat jembatan.
     Siang malam Karto berusaha menuntut haknya. Dia meminta bantuan tetangga, tapi tidak ada tetangga mau menolong. Orang-orang itu diam-diam malah menyoraki keadaan Karto. Pak RT, Pak RW, bahkan Pak Polisi memalingkan muka. Para peziarah pun tak ada yang perduli. Bagi mereka, yang penting batu ajaibnya, sedangkan Karto sama sekali tidak berharga. Bahkan batu ajaib tak mau lagi mengabulkan permohonan Karto, meski Karto berulangkali memelas-melas di batu itu memohon agar sawahnya bisa kembali.
     Malang bagi Pak Kades. Suatu hari ia muntah darah lalu mati. Warga sedih. Mereka mengenang Pak Kades sebagai pemimpin yang sangat memperhatikan kemajuan desa. Sejak Pak Kades menguasai batu ajaib, sekolah dan mushola diperbaiki, jalan-jalan diperlebar dan diaspal, orang-orang tua diberi santunan, bagi-bagi sembako diadakan tiap Jum’at, pokoknya enak deh. Soal isu Pak Kades menilepsebagian uang dari kotak amal, warga sepakat tutup telinga.
Sekarang warga merasa kehilangan sosok dermawan sekaligus panutan. Mereka menjadi sangat marah. Mereka percaya jika kematian Pak Kades disebabkan oleh Karto.
     “Dia sakit hati karena sawahnya diambil!”
     “Padahal demi kemakmuran bersama!”
     “Dasar orang serakah … mau untung sendiri!”
     “Namanya juga OKB!”
     “Dukun santet! Pateni wae!”
     “Ya, matiin aja!”
     “Bunuh! Bakaaaar!”
     Orang-orang yang saban harinya kelihatan ramah itu mendadak berubah jadi serigala buas. Mereka memukuli Karto, menginjak-injaknya, mencincangnya. Jerit tangis anak istri Karto malah dianggap sebagai tetabuhan perang yang menambah semangat pembantaian. Rumah Karto pun habis dibakar setelah isinya dijarah.
                                                                                        ***
Beberapa hari kemudian, Haji Darno, orang terkaya di desa itu, mengambil alih pengelolaan batu ajaib. Dia lantas melakukan pemugaran besar-besaran. Area pemujaan diperluas setelah sawah-sawah di sekitarnya dibeli dengan harga mahal. Tembok tinggi kemudian dibangun mengelilingi komplek tersebut. Tanahnya dikeramik. Lapangan parkir diperluas dan sebuah kantin mentereng dibangun. Para pedagang harus menyewa kantin tersebut. Sebuah papan nama bertuliskan Pesarean Kyai Batu dipasang di atas gerbang. Papan yang lebih kecil, yang berisi tarif masuk serta jam kunjungan, ditempelkan di kanan gerbang. Sedangkan di sisi kiri gerbang, dipasang papan berisi peraturan-peraturan yang harus dipatuhi para peziarah.
     Tepat di hari pembukaan Pesarean Kyai Batu, ribuan orang memenuhi tempat itu seperti semut mengerumuni roti. Haji Darno tersenyum senang membayangkan keuntungan yang bakal ia raih. Tapi begitu gerbang dibuka, batu ajaib sudah raib entah ke mana. Haji Darno menjerit kaget. Ribuan peziarah kecewa. Satu per satu meninggalkan tempat itu sambil menyumpah-nyumpah. Para pedagang menuntut uang sewa kantin dikembalikan. Hansip-hansip menuntut honor jaga, sebab mereka sudah terlanjur ronda bermalam-malam di sana. Soal batu hilang bukan urusan mereka, toh batu itu hilang sendiri, tidak ada yang mencuri, kilah mereka. Haji Darno semaput sambil memegangi dadanya. Dia jatuh dan tak pernah bangun lagi.
     Beberapa hari kemudian sebuah batu ajaib muncul di desa lain. Kali ini dengan ukuran yang jauh lebih kecil. Saking kecilnya batu itu bisa dicelupkan ke dalam gelas oleh penemunya. Warga pun kembali ramai berdatangan dan mengharapkan keajaiban bisa terjadi sekali saja dalam hidup mereka. (*)

Eka Maryono lahir di Jakarta, 2-3-1974. Pendidikan terakhirnya ditempuh di jurusan Sastra Jepang Universitas Nasional (1991-1997).  Saat ini bergiat di komunitas Studi Sastra Jakarta. Bukunya yang sudah terbit Etalase Sunyi (Kumpulan Puisi Kamar, Yayasan Pintar, 2002)

Senin, 27 Juni 2011

SENJA MAKIN PEKAT DI KAIRO



*) Dimuat di Harian Suara Pembaruan, Minggu, 26 Juni 2011

Suara merdu Ummi Kulsum lewat lagu Alf Leila We Leila mengiringi ratusan turis menuruni tangga kapal The Pharaoh setelah berjam-jam menghabiskan malam dengan berlayar membelah Sungai Nil. Aku menengok Bonang. Wajahnya kuyu. Sejak dulu dia tidak pernah kuat menahan kantuk.
     “He, cari sarapan dulu,” kataku.
     Mukanya mendadak ceria.
     “Di Pasar Kan El Khalili, ada gulai kambing yang enak,” katanya.
     Kami masuk ke dalam taksi. Sejurus kemudian kami tiba di Pasar Kan El Khalili. Pasar ini sangat dikenal di Kairo. Biasanya turis dibawa kemari untuk belanja guci, ukiran, gantungan kunci, sampai perhiasan emas dan perak. Letak pasar ini berdampingan dengan Masjid El Hussein dan Masjid Al Azhar yang berada di lingkungan kampus Al Azhar, tempat Bonang meneruskan kuliah S2-nya.
     Kami masuk ke sebuah restauran. Seorang pelayan berwajah Asia menghampiri kami. “Menu biasa,” kata Bonang. Pelayan itu senyum kemudian pergi.
     Bonang manggut-manggut sambil menyelipkan tusuk gigi ke sela bibirnya. Tusuk gigi itu kemudian digerak-gerakkan ke berbagai arah, sebuah kebiasaan yang dia lakukan sejak dulu saat menunggu pesanan tiba.
     Aku mengenalnya sejak sama-sama kuliah. Aku mengambil jurusan Filsafat Agama, sementara ia menempuh Studi Dakwah. Setelah lulus aku langsung menikah dan bekerja sebagai wartawan di sebuah majalah wanita. Adapun Bonang sempat kerja serabutan selama lima tahun sebelum akhirnya kuliah S2 atas bantuan kakaknya.
     Al Azhar cukup favorit bagi mahasiswa asal Indonesia. Di sini biaya kuliah relatif terjangkau dan biaya hidup sehari-hari masih tergolong murah. Cukup uang setara delapan ratus ribu rupiah untuk bertahan hidup selama sebulan. Biaya itu sudah termasuk sewa kamar.
     Pelayan datang membawa dua mangkuk gulai, dua potong roti ukuran besar, serta dua gelas kopi susu. Bonang langsung menyantap makanannya. Ia merobek roti lalu mencelupkannya ke kuah gulai. Sekejab keringat membasahi keningnya.
     Rasa gulai kambing ini mirip gulai kambing khas Indonesia, hanya saja sedikit lebih pedas, seperti kebanyakan merica, dan memakannya memang dengan roti, bukan nasi.
     Kulihat Bonang semangat sekali mengunyah sobekan roti terakhir. Keringat mengalir ke ujung hidungnya lalu masuk ke dalam mangkuk. Tapi ia tidak peduli. Kuah gulai bercampur keringat itu dihabiskannya tanpa sisa. Harus kuakui, nafsu makan laki-laki ini memang sebesar tubuhnya.
     “Kira-kira kapan istrimu melahirkan?” katanya sambil menyandarkan punggung ke kursi. Nafasnya agak terengah. Perang melawan kuah gulai membuatnya lelah. Sebatang rokok diselipkan ke bibirnya yang tebal.
     “Mungkin tiga minggu lagi,” kataku.
     “Anak pertama setelah bertahun berumah tangga … sebentar lagi kau jadi bapak. Lucu ya, rasanya baru kemarin kulihat kau menggoda cewek, tiba-tiba kau kawin dan sebentar lagi punya anak.” Dia tertawa, keras sekali. Entah apa yang lucu.
     “He, pelankan suaramu.”
     “Alaah! Santai sedikitlah, di sini bukan Jogja Bung.”
     Begitulah dia, kadang terkesan kurang punya perasaan, meski sebenarnya tidak begitu.
     “Kau sendiri kapan menikah?” tanyaku.
     Dia batuk-batuk. Wajahnya mendadak sendu. Aku menyesal melontarkan pertanyaan itu. Dulu kekasihnya pergi begitu saja demi menikahi laki-laki lain.
                                                                                             ***
     Tiga hari selanjutnya dia mengantarku ke mana-mana. Kebetulan dia sedang libur semester, dan aku diburu waktu untuk menyelesaikan tulisan tentang tempat-tempat wisata di Mesir. Aku harus buat tulisan sebanyak mungkin. Aku tak bisa bayangkan bagaimana raut redakturku bila aku pulang dengan satu dua tulisan saja.
     Hari ini kami mengunjungi Luxor untuk melihat pertunjukkan Sound & Light di depan kaki patung Sphinx. Kisah peninggalan masa lalu pada zaman Firaun diceritakan dengan indah melalui permainan sinar lampu dan suara narator.   Untuk menginjakkan kaki ke tempat ini kami menumpang pesawat terbang 50 menit dari Kairo.
     “Apa benar kau sering kemari?” bisikku di sela pertunjukkan.
     “Aku bohong, mana aku punya uang buat ongkosnya. Dari dulu aku ingin melihatnya. Untung kau datang.”
     Dia menyikut lenganku, kemudian dia menggaruk-garuk celana di sekitar selangkangannya.
     “He, jangan garuk-garuk begitu, malu dilihat orang.”
     “Ah! Peduli apa sama orang? Kalau gatal ya digaruk! Lagipula semua orang asyik nonton pertunjukkan ini. Kau boleh buang air di sini kalau mau, tak ada orang peduli.”
     Dia benar! Dengan harga tiket lumayan mahal, pengunjung pasti lebih senang memelototi pertunjukkan ketimbang memperhatikan orang lain. Tapi dia mungkin tak menyadari kalau sejak bertemu dengannya tiga hari lalu, aku perhatikan dia sering menggaruk selangkangannya. Mungkin dia sakit kurap atau sejenisnya.
     Usai pertunjukkan kami mencari hotel. Kami harus menginap di Luxor  karena jadwal penerbangan ke Kairo baru ada besok pagi. Malam itu, aku tidur nyenyak sekali.
     Paginya aku bangun dengan perasaan segar. Bonang masih meringkuk di balik selimut. Aku minum segelas air, menghabiskan sebatang rokok, kemudian masuk kamar mandi. Sungguh pagi yang indah, meski pandangan hanya sebatas tembok kamar.
     Sudah banyak bahan tulisan kukumpulkan, cukup untuk membuat beberapa artikel yang akan menyenangkan hati redakturku. Rencananya hari ini aku akan kembali ke Kairo, dan besok terbang ke Jakarta. Selamat tinggal Kairo, kota di mana setiap jengkal tanahnya mengisahkan sejarah, dan tentu saja selamat tinggal sahabatku Bonang. Tapi saat aku keluar kamar mandi, Bonang duduk lesu di tepi ranjang.
     “Habis mandi, kita langsung ke bandara,” kataku.
     Dia menatapku. Wajahnya pucat.
     “Kau kenapa? Sakit? ” tanyaku.
     Dia diam saja. Aku mendekat dan menyentuh keningnya.
     “Badanmu panas sekali, sebaiknya kita ke dokter.”
     “Nggak usah … paling-paling masuk angin.”
     “Terserahlah, tapi mandilah sana, pakai air hangatnya.”
     Dia melangkah lemah ke kamar mandi, dan di pagi itu juga, kami kembali ke Kairo. Tapi malamnya kondisi Bonang makin parah. Panasnya tambah tinggi dan dia menggigil hebat. Aku memapahnya ke dalam taksi. Sepanjang perjalanan tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dia terlalu lemah untuk bicara, bahkan untuk membuka mata. Badannya bergetar menahan dingin. Bertahun-tahun kenal, baru kali ini aku melihatnya sakit. Belum apa-apa, aku sudah merasa kehilangan.
     Setibanya di rumah sakit, aku langsung membawanya ke Emergency Room. Dokter memeriksa kondisinya dan mengatakan dia harus segera dirawat. Aku membayar uang muka pengobatan dengan uang yang seharusnya kupakai untuk pulang ke Jakarta. Malam itu aku sama sekali tak bisa memejamkan mata. Sakit apa temanku ini, kelihatannya serius sekali. Tapi besok paginya kondisi Bonang membaik dengan cepat. Panasnya turun dan dia tidak menggigil lagi.
Seorang dokter kemudian datang. Dokter ini bukan dokter yang kemarin kulihat. Dia membawa hasil tes. Dia bicara dalam bahasa Arab. Aku kurang mengerti apa yang dia katakan, tapi sesuatu mengenai celana.
     Dokter berusaha melepas celana Bonang, namun Bonang kelihatan malu. Dia menahan tangan dokter itu.
     “Jangan malu. Lepas saja kalau memang perlu. Mungkin dia mau periksa apa kau sudah disunat,” kataku bercanda.     Aku berharap ada tawa seperti biasa.
     Dokter kelihatan kesal dan sepertinya marah-marah. Bonang akhirnya menyerah dan membuka celana. Apa yang kulihat selanjutnya membuka tabir sebuah rahasia: Bonang sakit sifilis!
     Sore ini, ketika senja mulai datang, aku menggenggam erat jemari Bonang, seolah-olah dia kekasihku saja. Dia menangis sesenggukan, persis adegan dalam sinetron murahan.
     “Sudah berapa lama kau sakit?”
     “Apa bedanya lama atau baru?”
     “Aku tak habis pikir, kau bisa kena penyakit itu.”
     Dia diam. Aku tak mau memaksa. Bagaimana pun dia cuma manusia.
     “Kata dokter, kau harus dirawat dua hari lagi. Tapi jangan takut, aku akan menemanimu.”
     “Bukankah seharusnya hari ini kau pulang ke Jakarta?”
     “Nanti aku telpon kantor, kasih alasan masih cari bahan tulisan.”
     “Jangan … cari kerja susah … jangan buat kesalahan.”
     “Biar saja aku dipecat, toh demi kebaikan. Aku harus menjaga sahabatku.”
     “Jangan pikirkan aku. Pikirkan istrimu yang sedang hamil itu. Sebentar lagi kau jadi bapak, kau butuh kerja untuk menghidupi anak dan istri. Jangan korbankan mereka hanya demi menolongku. Oh, uangmu akan kuganti. Aku punya sedikit tabungan. Untuk biaya rumah sakit jangan kau pikirkan. Besok aku telpon kakakku. Dia pasti transfer uang.”
                                                                                      ***
     Aku berdiri di balkon lantai dua, depan kamar tempat Bonang dirawat. Dari sini aku bebas melihat cakrawala. Udara mulai dingin dan rambutku berkibar ditiup angin senja.  Kini aku sadar ada rahasia dalam diri setiap manusia. Siapa sangka dia bisa mengidap penyakit macam itu. Kasihan dia, andai dulu dia tidak ditinggal kekasihnya. Kadang sebuah kesalahan bisa mengubah jalan hidup seseorang. Aku hampir menangis saat ingat ucapannya tadi, ”Sebentar lagi kau jadi bapak, kau butuh kerja untuk menghidupi anak dan istri.”  Sebenarnya, aku juga menyimpan secuil rahasia.
     Empat tahun setelah menikah, istriku belum juga hamil. Aku mulai gelisah, apa dia tidak sanggup memberiku anak atau jangan-jangan aku yang mandul? Tanpa sepengetahuan istriku, aku memeriksakan diri ke dokter. Hasilnya aku divonis mandul. Kenyataan itu tidak pernah kuutarakan pada istriku. Aku malu mengakui kelemahanku.
     Ketika istriku akhirnya hamil, dengan wajah riang dia kabarkan kehamilannya. “Akhirnya aku bisa memberimu keturunan,” katanya manja. Aku senyum dan mencium pipinya. Malam itu dia memelukku erat sekali.
     Sekarang apa yang harus kulakukan? Mendesaknya agar mengakui siapa laki-laki yang telah menghamilinya...? Tapi aku berpikir lebih baik tetap mengubur rahasia kelam ini, asal aku tak kehilangan perempuan itu.
     Aku menghirup nafas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan ke langit senja. Semoga angin bawa deritaku ke batas cakrawala. Udara makin dingin dan hari makin gelap. Aku mengintip ke celah jendela kamar. Bonang tidur dengan pulas. Dengkurnya mengembara dalam senja yang makin pekat …. ***  

Eka Maryono
Lahir di Jakarta, 2 Maret 1974. Pendidikan terakhirnya ditempuh di jurusan Sastra Jepang Universitas Nasional (1991-1997). Pernah aktif sebagai peneliti dalam komunitas Studi Sastra Jakarta. Bukunya yang sudah terbit “Etalase Sunyi” (Kumpulan Puisi Kamar, Yayasan Pintar, 2002). 

Rabu, 18 Mei 2011

CAP GO MEH


*) Dimuat di Harian Jurnal Nasional, Minggu 8 Mei 2011

Menenteng sepoci anggur di antara bunga
sendirian bersulang tiada yang menyapa
Cawan diangkat mengajak bulan purnama
Menghadap bayang-bayang jadilah bertiga1)

Lima belas hari setelah imlek adalah Cap Go Meh, tetapi Po Sun Khi masih belum tahu apa yang akan dia lakukan pada puncak perayaan imlek itu, saat purnama bersinar penuh. Dulu dia pasti menjadi Tatung2) yang diarak keliling kota menuju vihara. Tapi kini dia sudah renta, seperti awan sore yang makin temaram di ujung senja. Bibir kerempengnya hanya bisa komat-kamit mengunyah Thiam Pan3) sambil mata kosongnya menyusuri setiap jengkal langit gelap, seolah sedang mencari penggalan-penggalan cerita tentang dirinya yang tercecer di atas sana. 
Sore tadi dia membakar kertas-kertas doa dan persembahan di seberang meja altar, di depan foto-foto dan papan nama leluhur yang belakangan makin jarang dibersihkan. Belum lagi persembahan lima piring penuh buah dan kue manis aneka rupa yang dia beli dengan uang hasil menabung selama dua bulan. Sepasang ikan bandeng bahkan ikut terhidang di atas meja altar. Po Sun Khi merasa sudah habis-habisan menyenangkan hati para leluhur dan sekarang dia berharap karma baiknya itu akan cepat berbuah.
Sehabis sembahyang tadi, perutnya lapar, dan dia langsung mengunyah Thiam Pan. Tapi karena kebanyakan makan Thiam Pan, mulutnya jadi lengket dan hampir-hampir tidak bisa dibuka, seperti mulut orang yang habis makan lem tikus saja. Untung tiga botol arak simpanannya masih ada, dan malam imlek sehabis sembahyang adalah waktu paling tepat untuk menghabiskan ketiga botol arak itu.
Po Sun Khi mulai  menenggak minumannya. Tak lama kemudian, dia pun mulai mabuk dan memanggil-manggil Cai Shen. “Oh Cai Shen … Cai Shen … oh Cai Shen … Cai Shen ….” begitulah ia, lirih menyebut-nyebut nama dewa rezeki berulangkali. 
Setiap mabuk di malam imlek, dia selalu menggumamkan Cai Shen, tapi nasibnya tak pernah berubah. Keberuntungannya jauh tertinggal di masa silam. Sekarang dia sakit-sakitan dan hidup sendirian dalam rumah reyot di sebuah gang kumuh yang selalu becek meski tidak hujan. Dia mengeluh. Dia bosan jadi kuli pasar. Encoknya kumat kalau memanggul beban kelewat berat. Hujan rintik-rintik menyergap saat dia mengorek-ngorek hidungnya yang gatal karena asap lima batang hio dari atas meja altar.  
“Ada kehilangan, baru Memperoleh. Tanpa kehilangan, tidak akan memperoleh.” Begitu kata pepatah. Hanya saja Po Sun Khi merasa telah mengalami banyak kehilangan, tapi tidak pernah mendapat ganti apa-apa.
***
Empat puluh enam tahun silam, Po Sun Khi sedang giat-giatnya bekerja di pabrik pengasapan karet ketika G30S meletus di Jakarta. Jarak Jakarta - Singkawang terlalu jauh, lagipula Po muda tidak tahu apa-apa soal politik, jadi dia tidak tahu jika sebentar lagi garis nasibnya berkata lain.
Beberapa bulan setelahnya, puluhan tentara mendatangi kampung dimana dia tinggal. Tentara-tentara itu masuk ke rumah-rumah penduduk dan bertanya macam-macam. Setelah mereka pergi, dia hanya bisa menangis memikirkan nasib bapaknya yang dibawa tentara gara-gara menyimpan selebaran komunis di kantung celana. Bapaknya pergi dan tak pernah kembali lagi.
Sejak kejadian itu, hidupnya berubah. Pabrik pengasapan karet ditutup. Pemiliknya kabur ke luar negeri. Kampungnya kemudian diserbu orang-orang yang terlanjur menganggap seisi kampung sebagai PKI. Tubuh-tubuh pun bergelimpangan, pada suatu malam, menggemparkan kampung yang seharusnya lengang. Bersama istri dan kedua anaknya serta ratusan pengungsi lain, dia terbirit-birit masuk ke pusat kota. Datang hanya dengan pakaian melekat di badan.
Hingga bertahun-tahun. Suasana masih saja mencekam bagi orang-orang macam dirinya. Di jalanan berseliweran orang-orang yang kerap memandang mereka dengan pandangan mata tajam seperti mata gagak yang setiap saat siap menjalakan kematian. Tidak ada harapan baginya. Tanpa kartu identitas, dia tidak bisa mencari pekerjaan, kecuali menjadi buruh kasar. Diberi upah berapa pun dia mau. Dia tidak berani protes karena takut. Tapi dia tidak pernah benar-benar merasa kehilangan sampai suatu ketika, puluhan tahun silam, pada suatu pagi yang basah, istrinya yang tidak tahan hidup miskin, memilih kabur membawa kedua anaknya.
Seperti orang gila, dia mencari anak istrinya ke setiap sudut kota. Setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, bertahun-tahun, hingga akhirnya dia menyerah. Pasrah. Kemudian dia memilih kembali menjalani hidup seperti biasa. Menjalani pekerjaan sebagai kuli pasar sambil terus berharap anak istrinya akan pulang.
Sampai sekarang dia masih meratapi anak istrinya. Itu sebabnya dia sering berlama-lama menatap langit, berharap mereka turun dari angkasa, kemudian mencari dirinya di perempatan pasar atau gang-gang kumuh di pinggiran kota. Ribuan doa sudah dia panjatkan agar waktu dapat diputar kembali. Dia sedih dan lelah.
***
Lima belas hari setelah imlek adalah Cap Go Meh, dan Po Sun Khi sudah tahu apa yang akan dia lakukan pada puncak perayaan imlek itu, saat purnama bersinar penuh. Pagi-pagi sekali ketika embun masih membeku, dia bangun dan langsung mengasah pisau. Tekadnya sudah bulat. Tengah malam nanti, dia akan bunuh diri!
Sejak beberapa hari belakangan ini, dia telah memikirkan bermacam cara untuk mati. Awalnya dia ingin gantung diri. Tapi segera dia menyadari balok-balok kayu di rumahnya telah rapuh dan pasti akan patah jika dipaksa untuk menyangga tubuhnya, meski beratnya tak lebih dari empat puluh lima kilo saja. Kemudian dia berpikir untuk minum racun serangga. Dia yakin rasanya tidak jauh berbeda dengan arak kesukaannya. Namun dia ragu apakah racun serangga dapat membunuhnya dengan cepat. Bagaimanapun juga, dia tidak mau mati lama-lama dalam keadaan tersiksa. Akhirnya setelah berpikir keras, dia menjatuhkan pilihan pada sebilah pisau.
Pisau yang akan digunakan untuk bunuh diri itu dia temukan beberapa bulan lalu. Mungkin baru dibeli seseorang, dan tidak sengaja terjatuh di sekitar pasar. Panjangnya sekitar 25 cm. Bentuknya biasa saja, seperti pisau pada umumnya. Hanya saja ketajamannya berkilat-kilat. Semakin ke ujungnya yang meruncing, semakin kelihatan tajam. Ukurannya pun cukup besar dan panjangnya melebihi pisau biasa, sehingga rasanya lebih pantas disebut sebagai pisau jagal ketimbang menamainya pisau dapur.  
Dia menatap pisau itu seperti melihat nasibnya sendiri. Dingin dan sepi. Suatu hari nanti pisau itu akan berkarat, terasing dan terpinggirkan. Seperti dirinya yang tak lagi mengenali wajahnya yang dipenuhi kerut, dan rambut putihnya yang terus memanjang itu seakan diciptakan untuk mengejek seorang lelaki tua karatan.
Sambil terus mengasah pisau yang sebenarnya tidak perlu diasah lagi, dia bergidik membayangkan urat nadinya putus diiris pisau itu. Dia akan mati pelan-pelan karena kehabisan darah. Atau bagaimana jika dia merobek perutnya dengan pisau itu? Ah, amis darah pasti akan mengundang kucing atau anjing untuk masuk ke dalam rumah. Binatang-binatang itu akan menemukan dirinya sedang sekarat sambil memegangi isi perutnya yang berceceran keluar. Dia tidak rela jika jeroannya dimakan kucing atau anjing. Sungguh sebuah kematian yang tidak agung.  
Dia kemudian membayangkan lehernya dicabik-cabik pisau itu. Darah segar akan mengalir dari lehernya yang terkoyak-koyak. Tubuhnya akan menggelepar dan matanya pasti melotot menahan sakit yang teramat sangat. Kiranya menggorok leher sendiri sama seperti mengiris urat nadi. Nyawanya akan lepas perlahan. Sungguh proses kematian yang teramat panjang. 
Dia menginginkan kematian yang cepat. Dia sudah terlalu lama menahan derita hingga tidak mau lagi sengsara di ujung ajalnya. Tapi jika pisau itu menikam jantungnya … ya dia akan segera mati. Rasanya pasti sangat sakit, tapi tidak akan lama. Dia akan mati bahkan sebelum darahnya berhenti mengalir. Kemudian dia akan terbangun di sebuah langit yang jauh, sebuah langit luas dimana dia bisa berlari sepuasnya menembus awan. Mungkin di sana dia akan bertemu anak istrinya. Mereka akan berlari-larian bersama. Tertawa riang. Bergandengan tangan. Atau mungkin dia bisa bertemu ibu bapaknya yang suka cita menerima kedatangannya seperti menyambut anak yang telah lama hilang. Dia bahkan bisa mendengar bapaknya berkata, “Lihatlah, anak kesayanganku telah tiba.”        
Lamunan Po Sun Khi mendadak buyar oleh suara gaduh yang tiba-tiba dari ujung jalan. Dia tahu arak-arakan Tatung dan barongsay sedang beriringan menuju vihara. Di waktu mudanya, saat anak istrinya masih ada, dia selalu merelakan dirinya menjadi Tatung. Masih jelas terbayang dalam ingatannya, pada setiap pagi di hari kelima belas setelah imlek, para Tatung akan berkumpul untuk melakukan sembahyang kepada Langit di depan meja altar. Seorang dukun lantas membuat mereka dirasuki roh leluhur. Mereka akan menjadi kebal, lalu diarak keliling kota untuk mengusir kesialan. Sungguh sebuah ironi jika kesialan akhirnya menimpa dirinya, yang setiap tahun telah merelakan diri menjadi Tatung.
Po Sun Khi menyesali masa-masa jayanya yang telah lewat. Dia juga menyesali kepasrahannya untuk menghabiskan hidup dalam kemiskinan seraya menunggu anak istrinya pulang. Dia benar-benar menyesal. Tidak seharusnya dia melewati tahun-tahun terakhir dengan penderitaan. Harusnya dari dulu dia memilih mati. Seharian itu dia mengurung diri dalam rumah. Tak sepatah kata pun terucap dari mulutnya.
Saat langit akhirnya menjadi muram, Po Sun Khi menyalakan tiga batang hio dan berdoa lama sekali hingga tiga batang hio itu habis terbakar. Beberapa jam lagi tepat tengah malam. Bagaimana pun juga dia masih menyimpan sedikit harapan. Mungkin anak istrinya akan datang. Atau mungkin ada sekarung emas jatuh dari langit-langit rumahnya. Bukankah selalu ada keajaiban dalam kehidupan? Tapi sampai tengah malam dia mendapati dirinya masih dibelit kemiskinan. Tidak ada emas yang jatuh dari atas rumah. Tidak ada keajaiban. Keajaiban hanya ada dalam dongeng-dongeng belaka.
Po Sun Khi berjalan gontai ke depan rumah. Dia menengadahkan wajah ke langit. Mata kosongnya menyusuri setiap jengkal langit gelap, berharap anak istrinya turun dari angkasa, kemudian mencari dirinya di perempatan pasar atau gang-gang kumuh di pinggiran kota, seperti biasa. Tapi tidak ada lagi bayangan mereka di atas sana. Yang ada malah wajah ibu bapaknya. Mereka mengulurkan tangan dan tersenyum saat Po Sun Khi berusaha menggapai wajah mereka.
“Hidup adalah jalan di waktu tidur, kematian adalah pulang ke rumah.” Begitu bapaknya dulu sering berkata. Hidup miskin dan sendirian adalah mimpi buruk yang telah Po Sun Khi jalani sejak lama. Sekarang saatnya mimpi buruk itu diakhiri.  
Pada hari kelima belas setelah imlek, di tengah malam yang pancaran cahaya bulannya terang dan bulat, Po Sun Khi menatap erat mata pisau yang berkilat tajam dan memantul di bola matanya. Dia tahu hidupnya akan segera berakhir. (*)
Keterangan:
1)      Bait pertama dari puisi berjudul Yue xia du zhuo karya Li Tai Po (Abad 8 M), diterjemahkan oleh Zhou Fuyuan dengan judul Sendiri Minum di Bawah Purnama. (Purnama di Bukit Langit: Antologi Puisi Tiongkok Klasik, GPU, April 2007).
2)      Tatung dalam dialek Hakka artinya “orang yang dirasuki roh dewa atau leluhur”.
3)      Thiam Pan dalam dialek Hakka artinya “kue manis”, dalam bahasa Mandarin disebut Nian Kao (kue tahunan). Di Indonesia, Thiam Pan lebih dikenal dengan sebutan “Kue Keranjang”.

Eka Maryono lahir di Jakarta, 2 Maret 1974.  Pendidikan terakhirnya ditempuh di jurusan Sastra Jepang, Universitas Nasional (1991–1997). Aktif sebagai penggiat komunitas Studi Sastra Jakarta. Bukunya yang sudah terbit Etalase Sunyi (Kumpulan Puisi Kamar, Yayasan Pintar, 2002).
 




EMAK


*) Dimuat di Harian Jawa Pos, Minggu 1 Mei 2011

DIA nenek saya. Tubuhnya kurus hingga ada cekungan di pipi keriputnya. Sifatnya sangat tertutup. Dia senang mengurung diri dalam kamarnya yang pengap. Sejak kecil saya memanggilnya emak. Sekarang emak terbaring dalam peti mati murah yang dihias sedemikian rupa agar terkesan bagus, ditonton puluhan pelayat yang beberapa di antaranya memaksakan diri agar terlihat sedih, dan sebentar lagi emak bakal dikurung dalam sebuah kotak yang bahkan lebih pengap ketimbang kamarnya. 
Apa mau dikata? Akhir hidupnya berujung di situ saja. Emak sedikit beruntung karena punya keluarga yang akan mengenangnya. Ya, kami akan mengenangnya sampai tiba giliran kami untuk dikenang oleh generasi berikutnya, begitu seterusnya sampai yang tersisa paling-paling beberapa lembar foto tua, dan akhirnya akan tiba suatu masa di mana tidak ada lagi orang yang sanggup menjelaskan siapa-siapa yang terekam dalam foto itu.
Saya menatap jasad emak lama sekali. Akankah dia masuk surga? Dia tidak pernah minta dilahirkan, tiba-tiba dilempar begitu saja ke dunia. Kini apa yang akan terjadi padanya? Saya harap dia tidak lagi menderita. Sejak menumpang di rumah kami, badan emak jadi kurus. Ibu selalu memarahinya. Ada saja perbuatan emak yang tidak menyenangkan hati ibu. Kadang bila ibu sudah kelewatan, saya membela emak. Tapi ibu marah dan akhirnya bertengkar dengan saya. Sejak itu hidup saya jadi susah. Melawan orang tua durhaka hukumnya. Apalagi melawan ibu, surga saja ada di telapak kakinya. Dan hukuman bagi anak durhaka tentu penderitaan sejak masih hidup di dunia.
Susah sekali bagi saya untuk dapat kerja. Padahal saya tidak pilih-pilih pekerjaan. Kerja apa saja saya mau asal dapat uang. Bahkan sebuah kelompok pencopet, di mana teman saya menjadi anggotanya, berani-beraninya menolak saya. Kata mereka muka saya terlalu manis, sayang kalau nanti bonyok digebukin massa.
Padahal sejak hidup saya susah, siapa orang di rumah ini yang memperhatikan emak? Semua sibuk dengan mimpi masing-masing. Tak ada orang peduli saat emak seperti anak kecil menatap gerobak jajanan yang lewat depan rumah kami. Apa daya saya? Seratus perak pun saya tidak punya! Kadang saya merasa seperti orang baik-baik yang terpaksa mencuri karena tidak menemukan makanan. Polisi akan menangkap si pencuri, itu pun kalau si pencuri beruntung tidak keburu mati diinjak-injak warga.
Pada malam-malam menjelang akhir hidupnya, emak sering berdoa dalam kamarnya, sebuah doa yang bagi saya lebih mirip kegiatan untuk mengisi waktu luang karena tidak ada doa emak yang dikabulkan Tuhan. Emak sendiri yang mengatakannya.
“Mungkin di akhirat nanti baru doaku jadi kenyataan,” katanya menghibur diri.
“Buat apa? Kita butuh sekarang, bukan nanti!”
“Jangan begitu, nanti Tuhan marah padamu.”
Saat badan emak mendadak dingin beberapa hari lalu, saya mengiba pada ibu dan adik perempuan saya untuk membawa emak ke rumah sakit. Tapi mereka menolak. Kata mereka, paling dia masuk angin. Kasih balsam dan dikerok saja biar anginnya hilang. Eh, malah nyawa emak yang melayang. Saya menyesal sekali. Andai Tuhan memberi saya uang, setidaknya emak bisa mengembuskan nafas terakhirnya di kamar rumah sakit, bukan dalam sebuah kamar pengap bau kencing.
Orang-orang berdiri ketika pastur datang untuk memimpin misa. Pastur ini dikenal sangat ramah dan sering dipanggil bila ada umat yang meninggal. “Selamat siang,” katanya ceria seakan-akan mengunjungi sebuah pesta. “Bisa kita mulai sekarang? Sebentar lagi saya harus ke jemaat Santa Maria, di sana juga ada yang meninggal,” katanya.
Pastur pun memimpin misa dengan kecekatan seorang tukang. Dia menguasai bidangnya dengan sempurna. Setelah beberapa nyanyian dan doa, pastur berkata, “Silahkan pihak keluarga memberi kata perpisahan.” Ibu menunjuk adik ipar saya untuk mengucapkan rasa terima kasih pada pastur dan tamu-tamu yang sudi datang untuk melayat. Selanjutnya adik ipar saya membumbui kalimatnya dengan kata-kata bunga dan tentu saja sedikit linangan air mata waktu mengobral kebaikan emak semasa hidup.
Seseorang di antara pelayat memberi usulan. Saya di-minta untuk turut memberi kata perpisahan. Saya menolak! Untuk apa? Apa emak bisa hidup lagi kalau saya ucapkan kata mutiara? Pastur kemudian meminta kami bergantian memercikkan minyak wangi mengitari pinggiran peti mati. “Jangan sampai kena mayatnya,” bisik adik saya. Saya pandangi sepuasnya wajah emak. Saya tahu sebentar lagi peti akan ditutup dan saya tidak akan pernah melihatnya lagi.
Seorang perempuan setengah baya dengan pipi gembul dan bola mata besar menyentuh bahu saya. “Yang tabah ya, saya tahu kamu sayang sekali pada nenekmu.” Hah! Dia menyuruh saya tabah? Dia sendiri meratap-ratap waktu suaminya mati tiga tahun lalu.
Peti mati akhirnya ditutup. Keluarga saya meraung sedih persis seperti lolongan srigala didera sepi. Ayo menangis! Ini lomba untuk menunjukkan kepada pelayat siapa di antara kami yang paling sedih. Yang tidak sedih akan dieliminasi. Para pelayat membelalakkan mata memperhatikan kami. Saya memandang para pelayat seolah mereka sedang memegang telepon genggam di tangan masing-masing, dan sebentar lagi mereka akan mengirim pilihan, ketik reg spasi A untuk ibu, ketik reg spasi B untuk adik saya, ketik reg spasi C untuk saya dan seterusnya.
Peti emak diusung masuk ke dalam mobil jenazah. Emak sudah terkurung dalam peti mati yang gelap. Dan nanti saat peti mati itu dibenamkan ke dalam tanah, suasana pasti tambah senyap. Saya sedih saat ingat kaca mata emak lupa kami masukkan ke dalam peti mati.
***
Akulah kegelapan. Aku yang membawa manusia dari terang menuju gelap. Saat atma manusia aku ambil, aku membawanya melintasi dimensi di mana hanya ada kesunyian tanpa ruang dan waktu. Dalam tempat yang baru ini, ruang jadi tanpa batas dan waktu tak akan pernah bertepi. Tentu saja sebelum sampai ke tempat ini, atma kubawa menyeberangi sungai menuju pelangi. Aku bukan makhluk berhati dingin, maka kubiarkan atma melihat keindahan untuk terakhir kali.
Di tempat barunya yang beku, gelap, sunyi, lebar tak bertepi, atma kuintrograsi. Dia harus menjawab pertanyaanku. Akulah penjaga yang sangar, cepat naik darah dan suka membentak. Tak ada ampun bagi atma yang jahat. Tapi aku bisa selembut beludru. Atma yang baik akan kuninabobokan biar mengantuk dan terlelap. Kelak di hari penghabisan, aku meniup sangkakala. Atma-atma yang baik akan bangun dari tidur panjang dan ramai-ramai akan kuterbangkan menuju surga.
Aku membuka daftar panjang berisi catatan mengenai perempuan tua ini.
“Pekerjaan terakhir tidak ada, tempat tinggal terakhir ikut anak paling tua, hobi makan bakso tapi jarang bisa beli, cita-cita masa muda jadi istri orang kaya, mati karena stroke komplikasi kencing manis … heem … bla bla bla … bla bla bla … pernah nikah tiga kali, jarang berbuat dosa tapi pernah selingkuh.”
“Saya tidak pernah ….”
“Ini … tertulis di sini.”
““Ooh …”
“Ingat?”
“Samar-samar.”
Aku mencabut cambuk, lidah api berkobar sepanjang cambuk itu. Dia ketakutan. “Oke, oke, Kamu sudah tahu semua, untuk apa lagi bertanya,” katanya.
Seperti biasa, cukup satu dua pertanyaan saja. Aku dilarang bicara terlalu banyak dengan atma-atma yang kubawa kemari. Nasib sudah digariskan saat kucabut atma mereka. Sebenarnya formalitas belaka untuk mengingatkan mereka akan satu dua dosa atau kebaikan yang pernah mereka perbuat.
“Baik … begini … saya perempuan … kamu harus tahu perasaan perempuan,”  katanya mengiba. “Saya tidak semata-mata butuh cinta, saya harus memberi makan anak-anak, menyekolahkan mereka, menikahkan mereka, semua itu memerlukan uang.”
Aku kembali membuka catatan mengenai perempuan tua yang ternyata pandai bicara ini. Sesekali kulihat dia. Wajahnya tegang dan sepertinya mengharapkan belas kasihan.
“Setidaknya masih ada kebaikan. Saya memenuhi kewajiban membesarkan anak-anak,” katanya. “Lihatlah catatanmu. Masih banyak kebaikan tertulis di situ.”
Aku memeriksa catatanku lembar demi lembar. Dia pernah dua kali menolong tetangganya sampai mengorbankan diri sendiri. Tapi semua itu tidak cukup untuk menutupi dosa-dosanya. Aku merasa cukup bicara dengan perempuan ini. sekarang saatnya menjalankan tugas. Cambuk api kuacungkan tinggi-tinggi. Dia menjerit ketakutan. Aku menghampirinya.
“Saya mohon … beri saya kesempatan … biarkan saya hidup lagi atau barangkali saya bisa reinkarnasi. Saya janji akan jadi istri yang setia …”
Aku berhenti. Aku menatap tajam matanya.
“Tidakkah kamu percaya bahwa hukum pasti mengenai sasarannya?”.
“Tolong … ampuni saya ….”
“Maaf ... itu bukan wewenangku. Kamu pernah melakukan beberapa kebaikan. Percayalah, setelah hukuman ini selesai, kamu masih punya peluang untuk mencicipi surga.”
Aku kembali berjalan mendekatinya. Kali ini dia kelihatan pasrah.
***
Sejak kecil aku hidup dalam kesusahan. Bertahun-tahun bapak pergi meninggalkan keluarga untuk bekerja sebagai buruh di luar daerah. Hanya sesekali dia mengirimi kami uang. Ibu harus bekerja demi menafkahi anak-anaknya. Aku tidak pernah merasakan kasih sayang bapak. Ketika bapak akhirnya pulang, dia membawa anak dan istri baru. Ibu kecewa lalu bunuh diri. Sejak itu aku tidak percaya cinta.
Kematian ibu sepertinya malah meringankan beban bapak. Dia mengajak anak dan istri barunya pindah ke rumah kami. Semudah itu bapak melupakan ibu. Namun kejadian itu mengajarkan satu hal padaku: Ibu setia mencintai bapak dan mendapat maut sebagai balasannya.
Saat makhluk di depanku ini datang beberapa hari lalu, dia kelihatan sopan dan ramah sekali. “Pemuda yang baik,” bisikku. Aku merasa teduh melihat senyum mengembang di bibir tipisnya. Hidungnya mancung, Matanya bulat dengan bulu mata lentik dan alis tebal. Rambutnya hitam berminyak dan bergelombang seperti ombak. Bicaranya mantap serta bergema seperti lonceng gereja.
“Ada perlu apa?” tanyaku ketika itu.
“Aku datang untuk menjemputmu,” jawabnya.
“Bisakah lain kali saja, saya masih punya banyak harapan semu. Saya ingin buka usaha, mungkin warung makan atau sejenisnya..”
“Bukan aku yang mengatur jadwal penjemputan. Aku cuma menjalankan perintah.”
“Tidak bisakah ada keringanan, dispensasi, peninjauan ulang, oh sekarang kan akhir tahun, seharusnya ada diskon besar-besaran?”
“Benar-benar hal itu di luar wewenangku.”
“Tapi … terlalu cepat kamu datang ….”
“Lihatlah dirimu sekarang. Kamu tergolek tanpa daya. Terbaring koma tanpa bantuan alat medis sama sekali. Tidak ada perhatian dari keluargamu. Mereka mengharapkan kamu mati. Marilah … ikut aku.”
Dia menjulurkan tangannya. Aku menyambutnya. Jemarinya lembut dan dingin seperti bunga es.
Dia menarikku pelan, untuk sesaat aku terpesona.
“Saya mohon, beri sedikit waktu lagi,” kataku.
 “Sudahlah … mari kita akhiri omong kosong ini.” Dia menjulurkan tangannya kembali. “Tidakkah kamu ingin melihat surga?”
Surga? Aku memandang ke sekeliling kamar. Tidak ada apa-apa di kamar kecil ini selain keputusasaan dan keruwetan hidup. Apa aku layak menghuni surga? Sepertinya dia tahu pikiranku.
“Setiap manusia akan ditimbang kebaikannya. Bila kebaikannya lebih banyak dibanding kejahatan, maka dia pantas menikmati surga,” katanya.
Aku berusaha keras mengingat seluruh kebaikanku lalu kubandingkan dengan kejahatan yang kulakukan. Bila kebaikanku lebih banyak, kupikir tak ada salahnya mengikuti ajakannya. Bila sebaliknya, mungkin aku bisa bernegosiasi dengannya untuk memberiku sedikit keringanan.
“Bagaimana?” Dia bertanya lembut.
“Saya ragu … apa saya layak menghuni surga?”
“Kamu tidak akan pernah tahu … kamu harus ditimbang dulu.”
“Menurutmu apa kebaikan saya lebih banyak dari kejahatan yang saya lakukan? Sepertinya kamu makhluk cerdas, kamu pasti tahu jawabannya.”
“Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Itu di luar wewenangku. Tugasku saat ini hanya menjemputmu. Lagipula aku tidak tahu latar belakangmu sebelum kubuka catatan mengenai dirimu.”
“Mana catatan itu, bisakah kita baca bersama? Saya tidak ingin salah mengambil keputusan.”
“Maaf! Itu menyalahi prosedur!”
Aku benar-benar bingung. Aku sudah tua … kalau pun masih ada mimpiku yang jadi kenyataan, kupikir tak akan lama waktu tersisa bagiku untuk menikmati impian itu. Hhm!
“Marilah … mungkin kamu punya harapan untuk menghuni surga.” Dia menyentuh jemariku. Kupandang wajahnya. Dia tersenyum. Jemarinya yang dingin perlahan berubah hangat. “Jangan takut, aku akan menjagamu.”
Dia menarikku pergi. Samar-samar aku sempat melihat jasadku ditangisi oleh anak dan cucu. Kasihan … mereka bisa sedih juga rupanya… tapi aku ingin masuk surga. Setelah bertahun-tahun menderita, aku pantas mendapat kebahagiaan.
Ah, saudara … begitu banyak kisah ingin kuceritakan pada anda, tapi apa yang bisa kukatakan lagi? Dia sudah mengangkat tinggi cambuk apinya.
***
 Pernah seorang teman berkata, “Kalau jenazah sedang dimandikan, ambil air bekas memandikan jenazah itu, kemudian balurkan ke seluruh tubuh, dari rambut hingga kaki, makin basah tentu makin baik. Lalu gosokkan tanganmu ke pantat penggorengan bekas yang belum dicuci. Lihatlah, dengan segera kamu dapat melihat begitu banyak arwah mengelilingi jenazah itu.”
Seorang teman yang lain juga pernah bercerita, katanya saat seseorang menikah, arwah para leluhur dari orang yang menikah itu akan datang untuk mengucapkan selamat. Demikian juga ketika seseorang meninggal dan dikuburkan, para leluhur akan datang kembali seolah ingin mengucapkan selamat datang pada keturunan mereka yang baru meninggal itu. Tentunya arwah-arwah itu tidak bisa dilihat dengan kasat mata. Tapi pada beberapa orang yang peka perasaannya, kehadiran mereka samar-samar bisa dirasa.
Saat peti mati emak dimasukkan ke liang lahat, aku teringat akan cerita-cerita tadi. Aku harap arwah emak bisa hadir saat aku menikah suatu hari nanti, dan dia akan datang lagi saat aku mati. Aku memandang ke sekeliling liang lahat. Apa orang tua emak hadir di situ, apa kakek neneknya ada? Apa mereka terganggu dengan bunga-bunga yang kami tabur ke peti mati?
 Seorang lelaki yang dituakan di gereja kami memimpin doa, memohon agar dosa-dosa emak diampuni Tuhan, dan agar kami yang ditinggalkan diberi kekuatan untuk menerima takdir yang sudah digariskan. “Dia orang baik, Tuhan pasti mengampuninya,” katanya di akhir doa. Kemudian lelaki itu memberi isyarat pada penggali kubur untuk menuntaskan pekerjaan terakhir mereka. Bongkahan tanah bercampur butiran pasir mulai dijatuhkan. Pelan-pelan peti mati emak terkubur dalam tanah.
Apa mau dikata? Akhir hidupnya berujung di situ saja. Emak sedikit beruntung karena punya keluarga yang akan mengenangnya. Ya, kami akan mengenangnya sampai tiba giliran kami untuk dikenang oleh generasi berikutnya, begitu seterusnya sampai yang tersisa paling-paling beberapa lembar foto tua, dan akhirnya akan tiba suatu masa di mana tidak ada lagi orang yang sanggup menjelaskan siapa-siapa yang terekam dalam foto itu. (*)

Eka Maryono
Lahir di Jakarta, 2 Maret 1974. Pendidikan terakhirnya ditempuh di jurusan Sastra Jepang Universitas Nasional (1991-1997). Aktif sebagai penggiat dalam komunitas Studi Sastra Jakarta. Bukunya yang sudah terbit “Etalase Sunyi” (Kumpulan Puisi Kamar, Yayasan Pintar, 2002).


Minggu, 13 Februari 2011

HADIAH ULANG TAHUN


*Dimuat di Harian Serambi Indonesia (terbitan Aceh)
  Minggu, 13 Februari 2011

Sepanjang rel kereta itu adalah daerah paling kumuh di Jakarta. Rumah-rumahnya berimpitan dengan masing-masing penghuni berjejalan di setiap rumah, seperti ikan dalam kaleng sardin. Pantas saban hari, orang-orang malang yang mendelik bila disebut miskin itu lebih senang keluyuran. Mungkin mereka sengaja kabur dari pengapnya kamar atau sekadar menghibur diri, bermimpi jadi anak angin yang bebas pergi ke mana pun mereka suka. 

“Waktu kecil aku selalu ingin jadi angin.”

“Dan lihat nasibmu sekarang, kamu cuma jadi kentut!”

Lis tertawa kecil mendengar ejekan Mimin. Kemudian ia mencemplungkan baju terakhir yang baru disikatnya ke dalam ember bilasan. Kini giliran Mimin yang akan membilas dan menjemur pakaian-pakaian itu.

“Nih!” Lis memberikan Rp 10.000 kepada Mimin. Sesuai perjanjian, Mimin dapat bagian dari honor mencuci di rumah Mandor Katma. “Apa enaknya jadi angin?” tanya Mimin sambil memasukkan uang ke balik kutang. 

Lis tak menjawab. Ia mengangkat bahu lalu melengos pergi. Setiap hari Lis mencuci pakaian milik tetangga, yang malas dan kebetulan sedang kelebihan uang. Tapi penghasilan sebagai babu cuci hanya cukup untuk makan, bahkan tak pernah lebih meski sekadar buat jajan anak laki-lakinya yang sering mengigau punya sepeda. Barulah sejak mencuci di rumah Mandor Katma, ia bisa  bernafas lega. Duda tua itu selalu memberi upah berlipat ganda dibanding yang biasa ia terima dari para tetangga, sampai-sampai ia tak sayang berbagi upah dengan Mimin, asal temannya itu mau membantunya mencuci.

Kini Lis merebahkan tubuhnya di atas selembar kasur tipis berdebu. Bau apek merayapi hidungnya seperti hujan abu yang samar. Sejak pulang dari rumah Mandor Katma siang tadi, ia tidur-tiduran saja. Tak ada hal lain yang dikerjakannya. 

Sejak kemarin malam, punggungnya dijalari rasa pegal. Ia sadar tubuhnya perlahan dimakan usia. Ia tak lagi sekuat dulu. Ia melenguh pelan. Terbayang di benaknya masa-masa ketika suaminya masih hidup. Dulu, ia tak perlu susah payah mencucikan pakaian orang lain jika hanya untuk sekadar makan dan bayar kontrak rumah. 

Lis menggaruk punggungnya yang gatal karena bersentuhan dengan kain seprei kumal berlubang-lubang yang jarang dicuci. Ia malas mencuci seprei itu karena di seprei itulah dia dan suaminya terakhir bercumbu. Ia takut aroma suaminya akan hilang bila seprei itu dicuci. Menempelkan tubuh di seprei itu seolah mendekap suaminya.  Membuat dirinya tak merasa kesepian.

Bola mata Lis bergeser ke sebuah foto yang tergantung di dinding. Foto itu merekam banyak kenangan yang tak pernah pudar, meski laki-laki dalam foto itu sudah lama mati digilas mobil tinja. Sebenarnya ia tak ingin terus-terusan mengingat laki-laki itu, tapi semakin keras ia berusaha melupakan, malah semakin banyak kenangan menyergapnya. Ya, kenangan itu mengucur deras dalam pikirannya dan selalu punya cara untuk kembali meski berulangkali diusir pergi. Ia sadar dirinya terjebak di antara dua hal: ia ingin melupakan suaminya, tapi di sisi lain ia tak ingin ingatannya hilang pada  laki-laki itu. 

Lis memejamkan mata, membayangkan suaminya pulang sehabis berdagang buah lontar. Biasanya suaminya langsung berganti baju. Tubuh kekar suaminya tak pernah luput dari pandangannya. Dan ia akan merajuk manja. Dada Lis bergemuruh. Matahari di luar semakin panas.
 

Pintu kamar mendadak dibuka. Lis tersentak.

“Mak!”

“Apa?”

“Mana hadiah ulang tahunnya?”

“Ulang tahun? Ulang tahunnya kan minggu depan?”

“Uya mau sekarang!”

“Mak belum punya uang.”

“Uya pengen sepeda gunung! Temen-temen semua udah punya!”

“Nanti mak beli, kalau mak ada uang.”

“Ah! Paling-paling mak bo’ong lagi! Tahun kemaren mak janji mau beli kuda, mana?

“Sabar, mak cari uang dulu.”

“Mak pelit! Mak pasti bo’ong lagi!”

Pintu dibanting. Anaknya lari ke luar rumah.

Hati Lis sedih sekali. Setelah kematian suaminya tiga tahun silam, setiap tahun ia berjanji membelikan hadiah ulang tahun buat anaknya, tapi tak satu pun janji itu bisa ia penuhi. Baru belakangan ini ia memegang uang lumayan banyak setelah diberi oleh Mandor Katma. Tapi sebanyak-banyaknya uang dari Mandor Katma, tetap saja tidak cukup untuk membeli sepeda gunung, kecuali bila ia mau ditiduri.

Lis kembali memejamkan mata. Tapi bukan bayangan suaminya yang muncul, melainkan Mandor Katma. Dua bulan lalu, mandor proyek itu mulai merayunya.

“Jangan pulang dulu,” bisik Mandor Katma.

“Kenapa?”

Mandor Katma mengepalkan lembaran uang, lalu berusaha mencium pipi perempuan itu.

“Pak!”

“Ssst! Jangan berisik! Nanti didengar Mimin!”

“Saya mau pulang! Kerjaan saya sudah selesai!”

“Alaaah! Sini,  cium dulu!”

“Pak! Nanti saya teriak, nih?”

“Eh, ya sudah, kamu boleh pulang.”

Lis melihat lembaran uang dalam tangannya. Ia menyodorkan uang itu kembali pada Mandor Katma. “Nggak usah! Uang itu buat kamu!”

***

Lis beranjak dari kasur. Ia mengambil foto suaminya. Perasaannya bergemuruh saat membelai foto itu. Ia ingat masa-masa pacaran dengan suaminya. Mereka sering bercengkrama pada malam-malam senyap di sudut tergelap dari alun-alun utara kota. Saat langit sepi itulah, laki-laki kekasihnya akan membacakan sebuah sajak pendek yang miris. Dari bibirnya yang tebal bertumpahan kata-kata yang entah berarti apa. Tapi ia mengerti maksudnya, itu tentang sekerat cinta yang membuat lelaki itu mabuk dan memuntahkan kata tak berkesudahan. Lelaki itu mencintainya, dan berjanji akan setia selamanya, dan hanya meminta ia melakukan hal yang sama sebagai imbalannya.

“Benar kamu akan setia selamanya?” tanya Lis.

“Ya!” jawab laki-laki itu.

“Gombal!”

“Kamu sendiri apa bisa menjaga cinta?”

Laki-laki kekasihnya lantas mengisahkan dongeng tentang putri raja yang menunggu cinta di sebuah menara. Sebuah cerita yang pernah ditontonnya di layar kaca dan sekarang diceritakan lagi sekenanya demi menarik hati seorang perempuan.

Mengenang semua itu hati Lis menjadi bimbang. Sebesar apa pun cinta yang ia berikan pada suaminya, laki-laki itu tak akan pernah hidup lagi. Tapi anaknya akan sedih bila tahun ini gagal mendapatkan hadiah.

Lamunan Lis buyar saat mendengar pintu rumahnya diketuk. Lis bergegas keluar kamar dan membuka pintu. Mandor Katma menerobos masuk. Matanya seperti pisau berkarat, tajam menatap Lis dengan penuh birahi.   

“Saya cuma mampir, kebetulan lewat. Sudah makan?” tanya Mandor Katma.

“Belum! Kenapa?” balas Lis.

“Ini, saya belikan makanan.” 

Batin Lis gelisah. Lututnya gemetar. Lantai yang dia injak seolah bergetar karena gempa. “Pak,” seru Lis lirih. “Saya butuh uang untuk beli sepeda buat anak saya.”

Mandor Katma menangkap sinyal kekalahan dari bola mata Lis. Ia sudah memberi banyak uang. Ia merasa punya hak atas perempuan itu. Pinggul Lis dipeluknya. “Gampang, uang bukan masalah,” bisiknya.

Mandor Katma membiarkan dirinya dibimbing oleh Lis ke dalam kamar. 

Selanjutnya dia dan Lis saling berpacu. Mandor Katma tak ingat apa-apa lagi.

Pintu kamar mendadak dibuka. 

“Mak!” 

Mandor Katma dan Lis terkejut. Mereka lupa mengunci pintu. Anak Lis menangis lalu kabur seperti biasa.

“Maaf, pak! Saya nggak bisa lagi.”

“Nggak apa-apa!”

Mandor Katma buru-buru mengenakan pakaian.

“Untung yang datang anak kamu. Coba kalau orang kampung. Habis kita!”

Mandor Katma membuka dompet dan mengambil beberapa lembar ratusan ribu. “Nih! Cukup buat beli sepeda. Kamu berutang pada saya. Kapan-kapan kita lanjutkan di rumah saya, di sana lebih aman.”

Mandor Katma buru-buru pergi. Lis menghitung uang, selembar demi selembar.

Sorenya, sebuah sepeda gunung menghiasi ruang tamu yang sumpek itu. Ia tersenyum membayangkan kegembiraan anaknya. Demi melihat hadiah ulang tahun itu, anaknya pasti lupa dengan kejadian tadi siang. Tapi sampai malam anaknya belum juga muncul. Ia mulai gelisah.

Pintu rumah tiba-tiba dibuka dari luar. Ia gembira mengira anaknya tiba. Namun yang muncul malah tetangganya, laki-laki paruh baya berwajah dingin. Tanpa basa-basi, tetangganya itu berkata, “Anak kamu mati. Kepalanya pecah kelindas metro mini.” (*)

* Eka Maryono lahir di Jakarta, 2 Maret 1974.  Pendidikan terakhirnya ditempuh di jurusan Sastra Jepang, Universitas Nasional (1991-1997).