Rabu, 18 Mei 2011

CAP GO MEH


*) Dimuat di Harian Jurnal Nasional, Minggu 8 Mei 2011

Menenteng sepoci anggur di antara bunga
sendirian bersulang tiada yang menyapa
Cawan diangkat mengajak bulan purnama
Menghadap bayang-bayang jadilah bertiga1)

Lima belas hari setelah imlek adalah Cap Go Meh, tetapi Po Sun Khi masih belum tahu apa yang akan dia lakukan pada puncak perayaan imlek itu, saat purnama bersinar penuh. Dulu dia pasti menjadi Tatung2) yang diarak keliling kota menuju vihara. Tapi kini dia sudah renta, seperti awan sore yang makin temaram di ujung senja. Bibir kerempengnya hanya bisa komat-kamit mengunyah Thiam Pan3) sambil mata kosongnya menyusuri setiap jengkal langit gelap, seolah sedang mencari penggalan-penggalan cerita tentang dirinya yang tercecer di atas sana. 
Sore tadi dia membakar kertas-kertas doa dan persembahan di seberang meja altar, di depan foto-foto dan papan nama leluhur yang belakangan makin jarang dibersihkan. Belum lagi persembahan lima piring penuh buah dan kue manis aneka rupa yang dia beli dengan uang hasil menabung selama dua bulan. Sepasang ikan bandeng bahkan ikut terhidang di atas meja altar. Po Sun Khi merasa sudah habis-habisan menyenangkan hati para leluhur dan sekarang dia berharap karma baiknya itu akan cepat berbuah.
Sehabis sembahyang tadi, perutnya lapar, dan dia langsung mengunyah Thiam Pan. Tapi karena kebanyakan makan Thiam Pan, mulutnya jadi lengket dan hampir-hampir tidak bisa dibuka, seperti mulut orang yang habis makan lem tikus saja. Untung tiga botol arak simpanannya masih ada, dan malam imlek sehabis sembahyang adalah waktu paling tepat untuk menghabiskan ketiga botol arak itu.
Po Sun Khi mulai  menenggak minumannya. Tak lama kemudian, dia pun mulai mabuk dan memanggil-manggil Cai Shen. “Oh Cai Shen … Cai Shen … oh Cai Shen … Cai Shen ….” begitulah ia, lirih menyebut-nyebut nama dewa rezeki berulangkali. 
Setiap mabuk di malam imlek, dia selalu menggumamkan Cai Shen, tapi nasibnya tak pernah berubah. Keberuntungannya jauh tertinggal di masa silam. Sekarang dia sakit-sakitan dan hidup sendirian dalam rumah reyot di sebuah gang kumuh yang selalu becek meski tidak hujan. Dia mengeluh. Dia bosan jadi kuli pasar. Encoknya kumat kalau memanggul beban kelewat berat. Hujan rintik-rintik menyergap saat dia mengorek-ngorek hidungnya yang gatal karena asap lima batang hio dari atas meja altar.  
“Ada kehilangan, baru Memperoleh. Tanpa kehilangan, tidak akan memperoleh.” Begitu kata pepatah. Hanya saja Po Sun Khi merasa telah mengalami banyak kehilangan, tapi tidak pernah mendapat ganti apa-apa.
***
Empat puluh enam tahun silam, Po Sun Khi sedang giat-giatnya bekerja di pabrik pengasapan karet ketika G30S meletus di Jakarta. Jarak Jakarta - Singkawang terlalu jauh, lagipula Po muda tidak tahu apa-apa soal politik, jadi dia tidak tahu jika sebentar lagi garis nasibnya berkata lain.
Beberapa bulan setelahnya, puluhan tentara mendatangi kampung dimana dia tinggal. Tentara-tentara itu masuk ke rumah-rumah penduduk dan bertanya macam-macam. Setelah mereka pergi, dia hanya bisa menangis memikirkan nasib bapaknya yang dibawa tentara gara-gara menyimpan selebaran komunis di kantung celana. Bapaknya pergi dan tak pernah kembali lagi.
Sejak kejadian itu, hidupnya berubah. Pabrik pengasapan karet ditutup. Pemiliknya kabur ke luar negeri. Kampungnya kemudian diserbu orang-orang yang terlanjur menganggap seisi kampung sebagai PKI. Tubuh-tubuh pun bergelimpangan, pada suatu malam, menggemparkan kampung yang seharusnya lengang. Bersama istri dan kedua anaknya serta ratusan pengungsi lain, dia terbirit-birit masuk ke pusat kota. Datang hanya dengan pakaian melekat di badan.
Hingga bertahun-tahun. Suasana masih saja mencekam bagi orang-orang macam dirinya. Di jalanan berseliweran orang-orang yang kerap memandang mereka dengan pandangan mata tajam seperti mata gagak yang setiap saat siap menjalakan kematian. Tidak ada harapan baginya. Tanpa kartu identitas, dia tidak bisa mencari pekerjaan, kecuali menjadi buruh kasar. Diberi upah berapa pun dia mau. Dia tidak berani protes karena takut. Tapi dia tidak pernah benar-benar merasa kehilangan sampai suatu ketika, puluhan tahun silam, pada suatu pagi yang basah, istrinya yang tidak tahan hidup miskin, memilih kabur membawa kedua anaknya.
Seperti orang gila, dia mencari anak istrinya ke setiap sudut kota. Setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, bertahun-tahun, hingga akhirnya dia menyerah. Pasrah. Kemudian dia memilih kembali menjalani hidup seperti biasa. Menjalani pekerjaan sebagai kuli pasar sambil terus berharap anak istrinya akan pulang.
Sampai sekarang dia masih meratapi anak istrinya. Itu sebabnya dia sering berlama-lama menatap langit, berharap mereka turun dari angkasa, kemudian mencari dirinya di perempatan pasar atau gang-gang kumuh di pinggiran kota. Ribuan doa sudah dia panjatkan agar waktu dapat diputar kembali. Dia sedih dan lelah.
***
Lima belas hari setelah imlek adalah Cap Go Meh, dan Po Sun Khi sudah tahu apa yang akan dia lakukan pada puncak perayaan imlek itu, saat purnama bersinar penuh. Pagi-pagi sekali ketika embun masih membeku, dia bangun dan langsung mengasah pisau. Tekadnya sudah bulat. Tengah malam nanti, dia akan bunuh diri!
Sejak beberapa hari belakangan ini, dia telah memikirkan bermacam cara untuk mati. Awalnya dia ingin gantung diri. Tapi segera dia menyadari balok-balok kayu di rumahnya telah rapuh dan pasti akan patah jika dipaksa untuk menyangga tubuhnya, meski beratnya tak lebih dari empat puluh lima kilo saja. Kemudian dia berpikir untuk minum racun serangga. Dia yakin rasanya tidak jauh berbeda dengan arak kesukaannya. Namun dia ragu apakah racun serangga dapat membunuhnya dengan cepat. Bagaimanapun juga, dia tidak mau mati lama-lama dalam keadaan tersiksa. Akhirnya setelah berpikir keras, dia menjatuhkan pilihan pada sebilah pisau.
Pisau yang akan digunakan untuk bunuh diri itu dia temukan beberapa bulan lalu. Mungkin baru dibeli seseorang, dan tidak sengaja terjatuh di sekitar pasar. Panjangnya sekitar 25 cm. Bentuknya biasa saja, seperti pisau pada umumnya. Hanya saja ketajamannya berkilat-kilat. Semakin ke ujungnya yang meruncing, semakin kelihatan tajam. Ukurannya pun cukup besar dan panjangnya melebihi pisau biasa, sehingga rasanya lebih pantas disebut sebagai pisau jagal ketimbang menamainya pisau dapur.  
Dia menatap pisau itu seperti melihat nasibnya sendiri. Dingin dan sepi. Suatu hari nanti pisau itu akan berkarat, terasing dan terpinggirkan. Seperti dirinya yang tak lagi mengenali wajahnya yang dipenuhi kerut, dan rambut putihnya yang terus memanjang itu seakan diciptakan untuk mengejek seorang lelaki tua karatan.
Sambil terus mengasah pisau yang sebenarnya tidak perlu diasah lagi, dia bergidik membayangkan urat nadinya putus diiris pisau itu. Dia akan mati pelan-pelan karena kehabisan darah. Atau bagaimana jika dia merobek perutnya dengan pisau itu? Ah, amis darah pasti akan mengundang kucing atau anjing untuk masuk ke dalam rumah. Binatang-binatang itu akan menemukan dirinya sedang sekarat sambil memegangi isi perutnya yang berceceran keluar. Dia tidak rela jika jeroannya dimakan kucing atau anjing. Sungguh sebuah kematian yang tidak agung.  
Dia kemudian membayangkan lehernya dicabik-cabik pisau itu. Darah segar akan mengalir dari lehernya yang terkoyak-koyak. Tubuhnya akan menggelepar dan matanya pasti melotot menahan sakit yang teramat sangat. Kiranya menggorok leher sendiri sama seperti mengiris urat nadi. Nyawanya akan lepas perlahan. Sungguh proses kematian yang teramat panjang. 
Dia menginginkan kematian yang cepat. Dia sudah terlalu lama menahan derita hingga tidak mau lagi sengsara di ujung ajalnya. Tapi jika pisau itu menikam jantungnya … ya dia akan segera mati. Rasanya pasti sangat sakit, tapi tidak akan lama. Dia akan mati bahkan sebelum darahnya berhenti mengalir. Kemudian dia akan terbangun di sebuah langit yang jauh, sebuah langit luas dimana dia bisa berlari sepuasnya menembus awan. Mungkin di sana dia akan bertemu anak istrinya. Mereka akan berlari-larian bersama. Tertawa riang. Bergandengan tangan. Atau mungkin dia bisa bertemu ibu bapaknya yang suka cita menerima kedatangannya seperti menyambut anak yang telah lama hilang. Dia bahkan bisa mendengar bapaknya berkata, “Lihatlah, anak kesayanganku telah tiba.”        
Lamunan Po Sun Khi mendadak buyar oleh suara gaduh yang tiba-tiba dari ujung jalan. Dia tahu arak-arakan Tatung dan barongsay sedang beriringan menuju vihara. Di waktu mudanya, saat anak istrinya masih ada, dia selalu merelakan dirinya menjadi Tatung. Masih jelas terbayang dalam ingatannya, pada setiap pagi di hari kelima belas setelah imlek, para Tatung akan berkumpul untuk melakukan sembahyang kepada Langit di depan meja altar. Seorang dukun lantas membuat mereka dirasuki roh leluhur. Mereka akan menjadi kebal, lalu diarak keliling kota untuk mengusir kesialan. Sungguh sebuah ironi jika kesialan akhirnya menimpa dirinya, yang setiap tahun telah merelakan diri menjadi Tatung.
Po Sun Khi menyesali masa-masa jayanya yang telah lewat. Dia juga menyesali kepasrahannya untuk menghabiskan hidup dalam kemiskinan seraya menunggu anak istrinya pulang. Dia benar-benar menyesal. Tidak seharusnya dia melewati tahun-tahun terakhir dengan penderitaan. Harusnya dari dulu dia memilih mati. Seharian itu dia mengurung diri dalam rumah. Tak sepatah kata pun terucap dari mulutnya.
Saat langit akhirnya menjadi muram, Po Sun Khi menyalakan tiga batang hio dan berdoa lama sekali hingga tiga batang hio itu habis terbakar. Beberapa jam lagi tepat tengah malam. Bagaimana pun juga dia masih menyimpan sedikit harapan. Mungkin anak istrinya akan datang. Atau mungkin ada sekarung emas jatuh dari langit-langit rumahnya. Bukankah selalu ada keajaiban dalam kehidupan? Tapi sampai tengah malam dia mendapati dirinya masih dibelit kemiskinan. Tidak ada emas yang jatuh dari atas rumah. Tidak ada keajaiban. Keajaiban hanya ada dalam dongeng-dongeng belaka.
Po Sun Khi berjalan gontai ke depan rumah. Dia menengadahkan wajah ke langit. Mata kosongnya menyusuri setiap jengkal langit gelap, berharap anak istrinya turun dari angkasa, kemudian mencari dirinya di perempatan pasar atau gang-gang kumuh di pinggiran kota, seperti biasa. Tapi tidak ada lagi bayangan mereka di atas sana. Yang ada malah wajah ibu bapaknya. Mereka mengulurkan tangan dan tersenyum saat Po Sun Khi berusaha menggapai wajah mereka.
“Hidup adalah jalan di waktu tidur, kematian adalah pulang ke rumah.” Begitu bapaknya dulu sering berkata. Hidup miskin dan sendirian adalah mimpi buruk yang telah Po Sun Khi jalani sejak lama. Sekarang saatnya mimpi buruk itu diakhiri.  
Pada hari kelima belas setelah imlek, di tengah malam yang pancaran cahaya bulannya terang dan bulat, Po Sun Khi menatap erat mata pisau yang berkilat tajam dan memantul di bola matanya. Dia tahu hidupnya akan segera berakhir. (*)
Keterangan:
1)      Bait pertama dari puisi berjudul Yue xia du zhuo karya Li Tai Po (Abad 8 M), diterjemahkan oleh Zhou Fuyuan dengan judul Sendiri Minum di Bawah Purnama. (Purnama di Bukit Langit: Antologi Puisi Tiongkok Klasik, GPU, April 2007).
2)      Tatung dalam dialek Hakka artinya “orang yang dirasuki roh dewa atau leluhur”.
3)      Thiam Pan dalam dialek Hakka artinya “kue manis”, dalam bahasa Mandarin disebut Nian Kao (kue tahunan). Di Indonesia, Thiam Pan lebih dikenal dengan sebutan “Kue Keranjang”.

Eka Maryono lahir di Jakarta, 2 Maret 1974.  Pendidikan terakhirnya ditempuh di jurusan Sastra Jepang, Universitas Nasional (1991–1997). Aktif sebagai penggiat komunitas Studi Sastra Jakarta. Bukunya yang sudah terbit Etalase Sunyi (Kumpulan Puisi Kamar, Yayasan Pintar, 2002).
 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar