Selasa, 13 November 2012

NOSFERATU

*) Dimuat di Koran Tempo, 14 Oktober 2012

Berikan aku cahaya, katanya, sesuatu yang dapat membantuku melihat kebenaran.
SEJAK cahaya menghilang dari desa kami, dia selalu meminta cahaya. Jadi aku kisahkan padanya tentang Blind Snakes, ular yang menyerupai cacing tanah panjang. Mereka hidup di liang bawah tanah, dan tidak dapat menggunakan matanya yang sangat kecil untuk melihat, tapi mereka bisa merasa apa yang ada di sekelilingnya. “Kita harus seperti ular itu,” kataku. Dia membantah. Katanya, “Blind Snakes tidak dapat melihat karena memang buta. Sedang kita punya mata yang dapat melihat. Hanya saja tidak ada cahaya.”
Dulu desa kami selalu bercahaya. Matahari begitu benderang dan bintang-bintang sangat gemerlapan. Belum lagi kerlip kunang-kunang yang bahkan lebih bersinar ketimbang cahaya bulan. Ya, waktu itu desa kami bahkan sangat terang di malam hari. Cahaya ada di mana-mana, sampai ke sudut desa yang paling terpencil sekalipun. Cahaya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup kami.
Aku masih ingat masa kecil dulu. Kami menangkap dan menendang-nendang cahaya, melemparkannya ke udara, bahkan terkadang kami mengapung di dalamnya. Aku sendiri sering membawa cahaya pulang, menuangkannya ke dalam bak mandi, kemudian berendam berjam-jam di sana. Seringkali ibu memergoki kelakuanku. Kalau sudah begitu, ibu pasti menjewer telingaku. “Nanti kamu masuk angin,” hardiknya. Tapi ibu sendiri selalu membedaki wajahnya dengan cahaya tanpa takut angin menyusup ke dalam kulitnya.
Cahaya tak pernah pergi. Kami tumbuh bersama cahaya. Ketika kami remaja dan mulai mengenal cinta, kami menulis surat cinta di atas selembar cahaya. Semburat merah muda membayang ketika kami mengikat cahaya di kaki burung dara, dan ketika terang bulan mulai berpendar, burung dara akan menyampaikan cahaya itu kepada kekasih yang dituju. Cahaya memang sangat memesona, maka kami juga belajar merangkainya menjadi benda-benda indah, kemudian memberikannya sebagai hadiah pada orang yang paling kami sayangi.
Sampai suatu hari, datang orang-orang dari luar desa. Mereka menebangi pohon-pohon di hutan dan menanami ladang-ladang sesukanya. Sejak itu kami tak punya apa-apa kecuali cahaya. Semua telah mereka rampas. Kami bahkan tak bisa sembarangan mengambil biji yang jatuh dari pohon, karena jika melakukan itu, kami bisa dituduh mencuri.
Kami tak mampu melawan mereka. Kami hanya bisa menangis di setiap senja yang sendu tapi mereka membuang air mata kami ke sungai atau meniupnya hingga membumbung ke langit abu-abu. Maka kami memilih diam dan menjahit mulut dengan cahaya, tapi mereka biarkan mulut kami dipenuhi luka. Bahkan ketika kami membakar diri dengan cahaya, mata mereka tetap saja buta, tak mau melihat terang yang ada. Hingga suatu hari, kami mulai membuat tali dari cahaya dan menggantung diri dengannya. Setelah itu cahaya padam selamanya.
Sekarang kegelapan menyelimuti desa. Tidak ada cahaya. Tidak ada terang. Semua padam. Bahkan kunang-kunang ikut menghilang. Untuk pertama kali dalam hidup ini, kami takut pada gelap, melebihi takut pada mati.
“Raksasa memakan cahaya kita… raksasa memakan cahaya kita,” ratap ibu sambil menarik-narik rambutnya, “dia memakan cahaya supaya kita tidak bisa melihat kebenaran.”
Ibu kemudian menangis berjam-jam lamanya, sedangkan bapak yang semakin tua hanya termangu sambil bibirnya mengulum-ngulum rokok yang tidak mau menyala.
“Tidak. Aku rasa cahaya hanya sedang marah,” kata bapak lirih. “Dia marah karena kita pakai untuk bunuh diri.”
Itulah terakhir kali aku melihat mereka. Tidak ada lagi yang bisa dilihat sejak gelap benar-benar menguasai desa. Kami bahkan tidak bisa melihat jari-jari tangan sendiri. Tiba-tiba semua menjadi asing. Kami berjalan tanpa arah demi mencari cahaya sampai akhirnya terpisah. Jalanan dipenuhi jerit tangis anak-anak yang tersasar dan teriakan ibu-ibu yang kehilangan anaknya. Semua orang mencari-cari cahaya. Semua orang tercerai berai dalam gelap.

DIA adalah gadis yang ramping namun tegap berisi. Rambutnya panjang melebihi pinggang dan tebal bagaikan ladang gandum. Pipinya ranum dan selalu merah ketika tersipu, dengan sedikit lesung pipit yang akan bertambah cekung jika tersenyum. Leher jenjangnya terlihat indah jika dia menengadah, warnanya putih susu dan setiap saat memancarkan keharuman yang memaksa setiap lelaki untuk melirik. Laki-laki yang melihatnya akan berdesir dalam hati, “Ah, cantiknya.” Lalu laki-laki itu akan tersenyum padanya dan dia akan membalas senyuman itu hingga membuat laki-laki tersebut gelisah dan terjaga di malam hari. Aku tak pernah berhenti memikirkannya dan baru merasa tenang jika menatapnya dari kejauhan.
Dia jelas sangat berkelas. Itu tampak lewat suaranya yang nyaring dan anggun. Suaranya seperti burung bulbul sedang jatuh cinta yang nyanyiannya dapat menyembuhkan luka. Aku tak mengira bisa bertemu lagi dengannya. Suara dan aroma tubuhnya yang memanggilku. Adalah semacam ironi bila kami bisa sedekat ini. Dulu dia tak pernah membalas surat cinta yang setiap minggu kukirim di kaki burung dara, tapi sekarang dia membutuhkanku untuk menemaninya mencari cahaya. Memang ada kebahagiaan di balik penderitaan, demikian pula sebaliknya.
Tapi sayangnya dia terus meratap minta cahaya secepatnya ada. Rengekannya membuatku gusar. Bagaimana mungkin cahaya dapat cepat ditemukan, sementara untuk berjalan pun kami tertatih-tatih. Tanpa matahari lumut tumbuh di mana-mana, muncul rimbun di ranting pepohonan, melekat pada dahan-dahan, merambat di jalan beraspal dan pinggir selokan, bahkan mekar di telapak kaki kami. Lagipula tak seorang pun ingin terperosok dalam lubang di tengah kegelapan yang pekat ini.
Akhirnya aku jadi ingat ratapan ibu bahwa cahaya dimakan raksasa agar tidak ada lagi kebenaran yang dapat dilihat. Mungkin ibu benar. Maka setelah dongeng Blind Snakes tidak berguna untuk menenangkan hatinya, aku mulai bertutur tentang raksasa.
“Raksasa memakan cahaya kita,” kataku.
“Benarkah?” suaranya bernada sendu.
“Ya, dia memakan kebenaran yang seharusnya dapat kita lihat dengan mata telanjang.”
“Aku butuh cahaya agar kebenaran ada dan mereka memakannya?”
“Tenanglah, kau masih punya nurani. Biarkan raksasa memakan cahaya. Selama nuranimu masih menyala, maka masih ada sisa kebenaran yang bercahaya dalam hidupmu.”
“Aku tidak mengerti….”
Dia mulai menangis dan tak bisa berhenti.

KEGELAPAN lantas menyebar dengan cepat ke desa-desa lain. Kepanikan terjadi di mana-mana. Ribuan orang dievakuasi menuju kota. Namun gelap pun menyambar sampai ke kota-kota. Akhirnya seluruh tempat terseret pusaran malam yang sangat panjang. Jutaan orang terombang-ambing di tengah gelap yang berbisa, seolah mengapung dalam ruang hampa. Tak ada lagi tempat yang bisa dituju. Tak ada tempat yang tak kehilangan cahaya. Negeri kami benar-benar menjadi gelap, dingin dan mencekam. Mungkin seperti ini rasanya terjerembab dalam lubang kubur paling terdalam.
Kini cahaya menjadi sangat berharga di negeri kami, negeri yang kehilangan cahaya, dimana hanya ada kabut kelam sebagai gantinya. Di saat seperti ini orang rela menukar miliknya yang paling berharga demi sepotong cahaya. Hampir setiap hari ada saja suara-suara yang menawarkan cahaya, dan kami berbondong-bondong mengikuti suara itu, sampai suara tersebut mengembus pelan-pelan meninggalkan rasa kecewa. Hingga suatu hari, seseorang benar-benar muncul dengan sepotong cahaya di tangannya.
Hanya sepotong cahaya, tapi segera menjadi magnet yang memanggil-manggil. Suara-suara bermunculan dalam kesenyapan. Kami larut dalam keterpanaan. Di depan kami seolah terhampar laut yang begitu luas dan ombaknya menggulung tubuh kami ke tengah samudera yang dipenuhi rahasia. Darimana dia mendapat cahaya?
Di sepotong cahaya itu bayangan diri kami memantul. Bayangan yang juga memanggil-manggil dan memecah gulungan ombak di tubuh kami menjadi serpihan buih. Selalu pada akhirnya, ada pedih tertahan saat kita kembali ke masa lalu. Ingatan yang berulang-ulang dan memudar pelan-pelan seperti buih ombak yang menghilang.
Berikan aku cahaya, katanya, sesuatu yang dapat membantuku melihat kebenaran.
Keheningan lantas menghilang berganti keriuhan ala pasar malam. Orang-orang berlomba ingin memiliki cahaya. Mereka menawarkan uang, kalung emas, cincin berlian, jam tangan impor, bahkan baju dan celana yang sedang dipakai. Yang lainnya tidak memiliki apa-apa lagi kecuali tubuh mereka sendiri. Maka mereka pun mulai memotong-motongnya.
Ada yang memotong tangannya, kakinya, telinganya, hidungnya, bibirnya, bahkan mencungkil satu biji matanya. “Ambillah mata ini, aku masih punya setengah lagi untuk melihat cahaya darimu,” kata seorang lelaki. Suaranya serak. Mungkin udara lembab telah membuat paru-paru dan kerongkongannya rusak.
Bau amis luruh bersama kucuran darah. Aku terpaku dengan pemandangan ini. Setelah sekian lama hidup dalam gelap, cahaya tidak lagi membawa bahagia tapi ngeri yang ngilu dan miris. Lihatlah, mereka menjadi tidak sabar dan sekejap saja menjadi liar. Mereka berkelahi di atas genangan darah demi memperebutkan cahaya, hingga cahaya yang cuma sepotong itu pun jatuh terbenam dalam kubangan darah.
Padam.
Namun bau darah yang serupa aroma daging segar ternyata lebih menggairahkan ketimbang cahaya. Darah membangkitkan naluri yang sangat purba. Naluri kerakusan yang selama ribuan tahun membuat orang saling membunuh. Sejak itu mereka tidak lagi mencari cahaya tapi memburu sesama manusia. Negeri kami sekarang dikuasai makhluk-makhluk pengisap darah. Makhluk-makhluk yang selalu lapar dan dahaga.
Barangkali hanya aku dan dia yang tetap setia mencari cahaya dengan mengendap-endap dalam sunyi agar selamat dari tikaman taring mereka. Siapa yang dimangsa akan berubah jadi pemangsa. Kami tidak ingin jadi vampir yang mengisap darah sesama.
“Benarkah nurani tidak pernah jahat kepada makhluk hidup?”
“Ya, selama nuranimu masih menyala.”
“Sayangnya… nurani tersembunyi dalam hati, bagian tubuh yang paling gelap. Bagaimana dia bisa bercahaya sedang dia sendiri terbungkus dalam senyap?”
Aku tidak menjawab. Sejujurnya aku hanya ingin menenangkan hatinya dengan kata-kata, selebihnya aku tidak mengerti.
“Aku ingin terang yang menghangatkan, cahaya  yang dapat membantuku melihat kebenaran.”
“Kau akan dapatkan semua itu. Bersabarlah. Kebenaran ada dalam hatimu. Kau hanya perlu menunggu.”
Aku mendekapnya, membiarkan panas tubuhku menghangati hatinya. Tubuhku seolah bergetar, seperti ada lingkaran badai yang menyentak-nyentak dalam dada. Lantas dia mengangkat kepalanya dari dekapanku, mengusapi wajahku dengan nafasnya yang selembut beludru. “Aku ingin selamanya bersamamu mengarungi kegelapan ini,” katanya.
Ah, kami cuma sepasang manusia yang muram di antara gelap dan gemeretak ranting-ranting pepohonan. Kemudian dengan penuh gairah dia melumat bibirku. Antara mimpi dan malam, aku merasai taring kami bergesekan hingga memercikkan bunyi seperti suara sendok dan garpu di atas meja makan. Aku seperti mati. Selebihnya sunyi.
Gelap memburaikan nafsu purba yang selama ini kami hindari. Nafsu akan anyir darah. Darah yang mengalir dari leher harum yang berjenjang indah. Siapa yang dimangsa akan jadi pemangsa. Haruskah kami menjadi vampir yang mengisap darah sesama?
Ketika gelap dan hening mencapai puncaknya, gelombang laut pasang di dada melayarkan kami ke negeri teramat jauh. Sejauh itu pula taringnya berlayar dan menancap di urat nadi leherku. Sedikit perih tapi melegakan. Dan tiba-tiba aku merasa sangat lapar dan dahaga.
Di negeri kami, nurani memang sudah mati. (*)





Senin, 01 Oktober 2012

Problema Sastra Maya Kita (Esai)


*) Dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Minggu 30 September 2012 


Oleh: Eka Maryono

Saya tidak tahu kapan persisnya istilah Sastra Maya muncul dan siapa orang pertama  yang memperkenalkan istilah tersebut. Yang jelas belakangan ini, istilah tersebut sering saya lihat ‘bersliweran’ seiring dengan maraknya publikasi puisi dan cerpen di dunia maya. Dunia maya sendiri kiranya dapat diartikan sebagai sesuatu yang dapat dilihat sehingga terkesan ada, namun sebenarnya tidak benar-benar ada.

Bila dibandingkan dengan media cetak seperti koran, tabloid dan majalah yang dapat dilihat sekaligus bisa dipegang bentuk fisiknya, maka media maya bersifat gaib. Kita hanya dapat melihatnya (berupa tulisan, gambar mati/bergerak), mendengarnya (berupa suara) tapi kita tidak pernah bisa merabanya. Yang dapat kita sentuh hanyalah layar monitor komputer atau ponsel sebagai tempat di mana dunia maya itu divisualisasikan.

Seperti halnya dunia maya yang teramat luas, demikian pula tidak ada batasan tempat untuk sastra maya. Memang ada orang yang berpendapat bahwa sastra maya adalah karya fiksi yang belum terpublikasikan di media massa lain dan dibuat hanya untuk dunia maya. Namun sebenarnya semua tulisan sastra yang dipublikasikan di dunia maya dapat disebut sebagai sastra maya. Hal ini tak ubahnya dengan orang-orang yang bermukim di suatu kota, mereka dapat dikatakan sebagai penduduk atau warga, tak peduli apakah mereka punya KTP kota tersebut atau tidak.

Sastra maya dapat dipublikasikan di website berita ternama atau situs berita kecil-kecilan, jejaring sosial, maupun blog pribadi. Hal ini termasuk karya yang sudah pernah dimuat di media massa, kemudian dipublikasikan ulang di dunia maya, atau sebaliknya. Soal mutu, tentu berpulang pada kemampuan pengarangnya masing-masing, serta perbedaan selera dan standar pembaca dalam menentukan  tinggi  rendahnya mutu sebuah karya.

Dibanding sastra koran, sastra maya memiliki kelebihan dalam kecepatan publikasi dan daya jangkau pembaca. Seorang penulis tidak perlu menunggu waktu lama jika ingin mempublikasikan karyanya. Cukup menyelesaikan sebuah atau lebih tulisan, dan dia bisa memamerkan tulisannya itu kapan pun dia mau, dan pembaca dari seluruh penjuru bumi yang sudah terhubung jaringan internet dengannya dapat langsung melihat karya tersebut. Keleluasaan semacam ini tidak diberikan oleh media cetak. Pengarang  yang mengirimkan karyanya ke media cetak harus melalui proses seleksi oleh redaktur, kemudian menunggu giliran pemuatan yang tak jarang memakan waktu berbulan-bulan. Belum lagi distribusi media cetak yang terbatas, hingga tidak mungkin sanggup menjangkau pembaca dari seluruh dunia, kecuali  jika  media  cetak itu memiliki website dan mempublikasikan ulang karya tersebut dalam website mereka.

Kemajuan teknologi internet pada akhirnya memang dapat meniadakan batasan-batasan geografis, ras, budaya dan agama, juga menghapus peran redaktur dalam menentukan lolos tidaknya suatu karya sastra. Perlahan namun pasti, ruang publikasi karya sastra bergeser dari media cetak menuju dunia maya. Yang semula teks tercetak beralih ke dalam format digital. Bukan mustahil kelak sastra koran akan mati dan bereinkarnasi sepenuhnya sebagai sastra maya.

Mutu Sastra Maya
Namun suka atau tidak, sampai detik ini kesuperioritasan media cetak dalam menjadikan seseorang sebagai pengarang tetap diakui banyak kalangan. Di masa depan, media cetak bisa kehilangan pembaca, tapi tidak di masa kini. Tak heran jika banyak orang mengaku tak memerlukan koran untuk mengekpresikan karya, namun pada saat bersamaan tetap mengirimkan tulisannya ke koran sambil diam-diam berharap karyanya dapat tampil di koran tersebut. Hal ini terjadi karena karya sastra yang dimuat di dunia maya masih dianggap sebagai karya kacangan, sementara karya sastra yang dimuat di koran dipandang lebih tinggi mutunya karena sudah melalui proses seleksi oleh redaktur koran bersangkutan. Kenyataannya, mutu sastra maya memang sering berada di bawah mutu sastra koran, kecuali karya-karya yang sebelumnya sudah terbukti menembus koran-koran besar dan kemudian dipublikasikan ulang di dunia maya.

Tak heran jika akhirnya karya sastra maya dituding sebagai penyebab merosotnya estetika sastra di tanah air karena begitu banyak puisi dan cerpen minim kualitas bertebaran di dunia maya. Sudah begitu, karena orang bisa menulis dan mempublikasikan apa saja dengan estetika yang dia buat sendiri, maka tak banyak kritik yang terbangun karena karya sastra menjadi terlalu liar. Orang bebas memposting puisi dan cerpen apa saja sesuka hatinya, tanpa harus pusing mempertimbangkan aspek-aspek kesusastraan yang sejak lama memiliki aturan sendiri.

Persoalannya, seperti sudah disinggung di awal tulisan, dunia maya memang bukan media cetak. Dunia maya adalah wadah yang tepat bagi penulis pemula untuk memperkenalkan karyanya kepada khalayak pembaca. Di saat sebuah karya dipublikasikan di  facebook misalnya, biasanya akan muncul beragam komentar, baik komentar yang menyukai maupun yang tidak menyukai. Komentar yang menyukai umumnya berisi puji-pujian yang entah asli atau palsu, sementara komentar yang tidak menyukai dapat berupa kritik (bahkan hinaan) yang tentu saja dapat dijadikan masukan penting bagi si pengarang untuk memperbaiki karyanya di kemudian hari.

Dengan adanya sastra maya, produktifitas penulis pemula dapat berkembang. Mereka dapat menulis dan langsung mempublikasikan hasilnya setiap saat, tidak perlu lagi menunggu ruang sastra koran yang biasanya hanya ada sekali dalam seminggu, atau majalah sastra yang umumnya terbit sebulan sekali.

Di tengah cercaan sebagian kalangan mengenai minimnya mutu sastra maya kita, ada baiknya jika para pelaku sastra maya berusaha keras untuk meningkatkan mutu tulisan mereka. Produktiflah menulis sebanyak-banyaknya di awal karir sebagai pengarang. Setelah itu, perlahan-lahan produktifitas justru harus dikurangi. Kecenderungan untuk menulis dengan sangat produktif, lambat laun harus diganti dengan kecenderungan merevisi berulangkali sebuah puisi atau cerpen sampai benar-benar berhasil menjadi karya sastra.

Kiranya bukan pada tempatnya memandang sastra maya sebagai ‘sampah’ yang baunya dapat meracuni atmosfer kesusastraan Indonesia, malah sebaliknya harus diterima sebagai sebuah ‘pembebasan’ yang untuk sejenak dapat melepaskan pengarang dari belenggu media cetak. Sastra maya tak ubahnya pelabuhan sementara bagi para penulis pemula sebelum menemukan pelabuhan terakhirnya. Ibarat sekolah tempat mereka saling belajar dan mengajar untuk meningkatkan mutu tulisan masing-masing. Seperti kawah candradimuka yang pada akhirnya akan melahirkan penulis-penulis tangguh, bukan cuma tangguh dalam teknik menulis, namun juga tahan terhadap siraman pujian maupun cercaan. (*)

*) esai ini juga dimuat di Harian Haluan, Edisi Minggu, 30 September 2012

Jumat, 17 Agustus 2012

Kakek dan Peti Mati


*) Dimuat di Koran Tempo, Edisi Minggu, 12 Agustus 2012

“Kakek, saya bantuin, ya?”
“Ya, ya, bersihkan yang di ujung sana.”
Kakek tertawa dan mengelus-elus rambut saya. Saya berlari ke ujung yang lain, lalu mulai mengelap peti mati buatan kakek.
Begitulah, kakek adalah pembuat peti mati satu-satunya di desa kami, tapi kakek hanya membuatnya setelah musim tani usai. Dalam satu tahun hanya satu peti mati yang ia hasilkan. Ya, satu tahun untuk satu peti mati.
Soal angka satu ini sepertinya sudah jadi angka keramat bagi keluarga kami. Lihatlah, saya adalah anak satu-satunya dari bapak, sementara bapak adalah anak kakek satu-satunya, dan kakek tentu saja anak tunggal.
Bisa dikatakan hanya bapak dan kakek keluarga saya. Ibu pergi meninggalkan rumah saat saya masih menyusu di dadanya. Saya tidak pernah tahu ke mana ibu pergi. Tidak seorang pun memberitahu alasan mengapa ibu pergi. Tapi dulu ada tetangga yang sering mengejek saya, katanya ibu perempuan nakal karena lari dengan mandor perkebunan.
Saya tidak pernah mencari tahu apakah ibu benar-benar lari dengan lelaki lain. Barangkali saya sadar bahwa saya masih kecil atau mungkin sekedar takut untuk mengetahui sebuah kebenaran. Cerita macam itu terlalu sedih untuk dikenang. Sebelum bapak meninggal satu tahun lalu, saya sering melihat bapak menangis malam-malam bila kangen pada ibu.
Dulu, setiap malam bapak selalu duduk di teras rumah. Suatu kali saya pernah bertanya, kenapa bapak selalu duduk di sana. “Sebentar lagi ibumu pulang,” katanya. Suaranya terdengar datar. “Malam ini atau besok, dia akan datang.” Kalau sudah begitu, bapak akan menitikkan air mata.
Kebiasaan bapak ini sering membuat kakek marah. Katanya bapak laki-laki cengeng. Bapak akan marah jika kakek sudah berkata seperti itu dan ganti mengejek kakek sebagai laki-laki berhati batu. Jika sudah begitu, saya akan menjauhi pertengkaran mereka lalu mengurung diri dalam kamar sambil mengutuki malam karena membuat duka bapak semakin suram seperti kata-kata yang sulit dieja di atas selembar kertas kusam.
Saya tidak mau seperti bapak, menangisi sesuatu yang tidak ada.
Namun ada satu kenangan tentang diri bapak yang saya sangat senang untuk mengingatnya. Begini, ketika bapak masih hidup, ia rajin mengajak saya ke gereja. Ya, gereja, dengan dentang loncengnya yang sendu dan menjauh itu. Saya senang mendengar lonceng gereja karena serupa suara bapak saat memanggil-manggil saya agar cepat bangun di Minggu pagi yang mendung.
Saya senang melihat bapak berdoa di gereja. Saya merasa gereja menjadi satu-satunya tempat bagi bapak untuk menyinggahkan hidupnya yang pahit. Saat bapak berdoa di sana, kegetiran merayap dari sudut mata pucatnya, menjelma jadi butiran air mata yang meluruhkan kata-kata.  
Sejak bapak meninggal, saya tidak pernah lagi menginjakkan kaki di gereja. Kakek tidak pernah mau mengantar saya. Ketimbang pergi ke gereja, kakek lebih senang merawat peti mati buatannya yang diletakkan berjejer di lorong samping rumah. Hanya  ada dua peti mati di sana. Satu ukuran besar, satunya lagi kecil. Karena kakek hanya membuat satu peti mati setiap tahunnya, maka itu artinya sudah dua tahun tak ada orang yang membeli peti mati buatan kakek. Tapi kakek tak peduli. Tiap hari kedua peti mati itu ia bersihkan sampai licin hingga lalat pun pasti jatuh terpeleset bila berani hinggap di atasnya.
“Peti ini membuatku ingat akan mati,” kata kakek suatu ketika sambil mengelap sebuah peti mati yang ukurannya kecil dan penutupnya menggelombang seperti ombak. Warnanya cokelat kemerahan dan mengilap seperti cermin yang memantulkan wajah kami apa adanya.
“Ingat bapak dan nenek juga?” tanyaku.
Kakek diam sejenak, lalu kembali mengelap.
“Suatu hari nanti, kita akan masuk ke dalam peti mati,” katanya.
“Ah, kakek saja, saya nggak mau.”
“Kau harus mau, peti ini kan ukurannya sesuai badanmu.”
Hah? Biar saya masih kecil, saya tahu canda semacam itu tidak boleh diucapkan. Bagaimana kalau ada setan lewat? Bisa-bisa jadi kenyataan! Keterlaluan! Saya masih terlalu kecil untuk mati. Lulus sekolah saja belum. Rupanya kakek memahami ketidaksenangan saya.
“Kau seperti nenekmu.”
“Nenek seperti apa?”
“Ya seperti dirimu. Sama-sama takut mati.”
“Memangnya kakek nggak takut mati?”
Kakek tak menjawab. Dia mengibaskan kain lap di tangannya. Tidak ada debu terlontar dari kain lap itu. Hanya hawa panas sedikit menerpa wajah saya. Akhir-akhir ini udara terasa agak lembap. Sudah lebih sebulan matahari kurang bersinar, namun udara malah lebih panas dari bulan-bulan sebelumnya. Kiranya sebentar lagi musim kemarau akan tiba.
Desa kami memang kerap dilanda kemarau panjang. Kalau sudah begitu, sawah-sawah akan kering kerontang karena sungai dan irigasi lebih dulu mengering. Padi-padi akan layu dan tak bisa dipanen. Dulu, kata kakek, untuk mengganti padi yang layu, orang-orang menanami sawah dengan palawija. Tapi ternyata hasilnya tidak memuaskan. Tetap saja tanaman mereka mati akibat kurang disiram. Hingga suatu hari kakek mengajari orang-orang untuk membuat batu bata. Sejak saat itu, orang-orang membuat batu bata setiap kemarau tiba. Sejak itu pula, desa kami dikenal sebagai desa penghasil batu bata. Namun lucunya setiap musim kemarau, kakek malah membuat peti mati, dan bukan batu bata.
Sepertinya kakek memang memiliki ketertarikan yang aneh pada peti mati. Bukan hanya untuk mengingat kematian seperti yang sering dia katakan, tapi seolah ada kepedihan yang tertawan dalam hati kakek yang selalu mendorongnya untuk membuat peti mati. Menurut cerita bapak, saat nenek meninggal, nenek dimakamkan dengan peti mati buatan kakek. Anehnya, sebelum nenek meninggal, kakek sudah membuat sebuah peti mati yang ukurannya pas dengan tubuh nenek.
“Kakek kamu punya bakat jadi dukun. Sejak dulu kakekmu itu memang memuja setan! Apa kamu pernah melihat kakekmu berdoa?” seru bapak suatu ketika, sehabis dia bertengkar dengan kakek.
 Saya menggeleng. Saya memang tidak pernah melihat kakek pergi ke gereja. Saya juga tidak pernah melihat kakek berdoa di rumah.
“Begitulah kalau orang tidak mau menyalahkan dirinya sendiri, ketika sengsara mereka menyalahkan Tuhan. Sekarang kakekmu membuat peti mati yang ukurannya pas dengan badan bapak. Lihat! Lihat saja! Sebentar lagi bapak juga akan menyusul nenekmu.” 
Dan satu bulan kemudian, bapak benar-benar menyusul nenek.
Tiba-tiba saya tersadar, bukankah sekarang tersisa dua peti mati, satu ukuran besar dan satunya kecil. Saya kira yang besar itu memang pas dengan ukuran tubuh kakek, dan yang kecil pas dengan badan saya. Apakah kebetulan saja jika kakek membuat dua ukuran yang berbeda? Atau jangan-jangan memang disengaja? Apakah kedua peti itu belum laku terjual atau jangan-jangan kakek memang tidak mau menjualnya?
Saya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Kakek pasti mendapat firasat tentang kematian kami. Saya tak mau masuk ke dalam peti mati itu. Saya juga tak mau kakek masuk ke dalamnya. Saya takut kehilangan dia. Cuma dia milik saya satu-satunya. Dalam hati saya berdoa agar kami dijauhkan dari kematian. Tapi apa kematian bisa diubah dengan doa? Firasat kakek pasti jadi kenyataan. Seperti firasatnya dulu sewaktu nenek dan bapak akan dijemput maut. Sebentar lagi kakek akan mati, dan saya pasti ikut menemani.
“Kakek, kalau kita mati apa kita akan masuk surga?”
“Yang pasti masuk ke peti mati.”
“Setelah itu ke surga?”
“Dikubur dalam tanah.”
“Baru ke surga?”
Kakek diam saja. Dia melipat kain lap yang ada di tangannya.
“Kata Romo Pastur dulu, kalau tidak ke gereja, kita masuk neraka.”
“Tahu apa dia soal neraka, memangnya dia pernah ke sana?”
“Saya belum pernah pergi ke neraka, Bapak.”
Saya dan kakek sangat terkejut. Romo Pastur tahu-tahu sudah berdiri di dekat kami, padahal kami tidak mendengar pintu pagar dibuka, juga tidak mendengar langkah kakinya.
“Bagaimana kabar Bapak? Maaf kalau saya mengagetkan Bapak.”
 Kakek tidak menjawab. Wajahnya saja yang pucat. Mungkin belum hilang rasa kagetnya. Kaget bercampur malu. Romo Pastur yang tinggi besar itu kemudian membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke wajah saya.
“Hampir satu tahun kamu tidak ke gereja,” kata Romo Pastur dengan lembut sambil menyentuh bahu saya.
Sama seperti kakek. Saya juga diam. Saya bingung mencari jawaban.
“Dia harus membantu saya membuat peti mati,” kata kakek.
“Membantu Bapak membuat peti mati? Setiap hari? Tapi kenapa peti matinya cuma ada dua?” tanya Romo Pastur heran. Janggutnya yang lebat bergerak-gerak, mungkin bulu-bulu itu ikut merasa heran.
“Oh, ya, ya, akhir-akhir ini dia memang malas ke gereja,” kata kakek menjadikan saya sebagai kambing hitam. “Saya tidak mau memaksa dia. Saya pikir berdoa di rumah sama dengan berdoa di gereja. Gereja toh bukan bangunan, gereja adalah hati kita. Kita bisa berjumpa Tuhan di mana pun kita berada,” kata kakek.
“Oh, bapak benar sekali. Kalau begitu mari kita berdoa bersama,” kata Romo Pastur.  
“Apa?!”
“Mari berdoa, Bapak.”
“Berdoa? Di sini?”
“Ya, kita bisa berjumpa Tuhan di mana pun kita berada, bukankah begitu? Atau Bapak ingin kita berdoa di dalam rumah? Saya tidak keberatan jika diundang masuk ke dalam rumah Bapak.”
Romo Pastur membetulkan letak kecamatanya. Kelihatannya dia sedikit memaksakan kehendak. Sebenarnya saya sudah sering melihat Romo Pastur yang asli Belanda itu datang untuk mengajak kakek ke gereja sejak saya masih belajar melafalkan huruf dan angka. Tapi ada saja alasan kakek untuk menolaknya.
“Saya sudah berdoa pagi ini, malam tadi, kemarin pagi, saya sudah berdoa berkali-kali,” kata kakek.
“Tidak apa-apa, mari kita berdoa sekali lagi untuk menyenangkan hati Tuhan seperti Dia menyenangkan hati kita.”
Kakek kelihatan gusar. Dia memijat-mijat keningnya.
“Bapak kelihatan kurang sehat?”
“Ya, betul sekali, saya sedang tidak enak badan.”
“Kalau begitu mari berdoa, Tuhan Maha Menyembuhkan sakit manusia.”
Kakek kelihatan makin gelisah. Tiba-tiba saja dia roboh ke tanah. Romo Pastur kaget sekali. Buru-buru dia membopong kakek ke atas kursi. Kakek dikipas-kipasi sampai sadar kembali. Romo Pastur kelihatan merasa bersalah.
“Maafkan saya, Bapak sudah tua dan lemah, seharusnya saya tidak memaksa Bapak untuk berdoa bersama.”
“Tidak apa-apa. Nanti saya berdoa sendiri.”
“Ya, begitu lebih baik.”
Tak lama kemudian Romo Pastur pamit pulang. Saya mengantarnya sampai halaman depan. “Jaga kakek kamu, dia sungguh orang baik,” pesannya. Saya pun kembali ke dalam rumah, kakek sedang mengelap peti mati ukuran besar dengan kain yang tadi sudah dilipatnya.
“Kakek pura-pura pingsan ya?” tanya saya.  Seperti biasa, kakek tak menjawab jika dia tak suka dengan pertanyaan yang dilontarkan kepadanya. Hanya saja, saya merasa, hari itu dosa kakek bertambah satu lagi. Benar-benar bertambah satu lagi.
Sebuah suara tiba-tiba membuyarkan lamunan saya.
“Kakek, saya bantuin ya?” 
“Ya, ya, ambil kain lap itu lalu bersihkan yang di ujung sana .”
Saya mengelus-elus rambutnya sebelum dia berlari riang ke ujung peti mati yang sedang saya bersihkan.
“Kakek, sekarang kan hari Minggu? Kakek tidak ke gereja?” tanyanya.
“Kakek sudah tua, berdoa di gereja terasa berat bagi orang tua sepertiku,” jawab saya.
“Di rumah kakek juga tidak pernah berdoa.”
“Kata siapa? Tiap hari kakek berdoa, toh Tuhan Maha Pemurah.” 
Dia tersenyum penuh arti. Hari ini dosa saya bertambah satu lagi. (*)





  

Jumat, 13 Juli 2012

OTAK YANG HILANG


*) Dimuat di Harian Republika dan Sumut Pos, Minggu 8 Juli 2012

Seorang laki-laki tiba-tiba masuk ke kantor polisi.
“Lapor Pak, otak saya hilang.”
“Hah? Jangan bercanda, Saudara!”
“Sungguh pak, otak saya hilang!”
Kok bisa-bisanya otak Saudara hilang? Saudara jangan main-main ah!”
“Sumpah, Pak! Pasti dicuri maling sewaktu saya tidur. Lihat nih kalau bapak nggak percaya.” Lelaki itu menunjukkan kawat yang mencuat di ubun-ubun kepala.
“Apa itu?”
“Tadi saya menyuruh sopir mengebor kepala saya. Bapak lihat sendiri kan, kalau otak saya ada, mana mungkin kawat ini bisa begini nih.” Lelaki itu mengaduk-aduk lubang bekas bor di kepalanya dengan kawat.
Begitulah, ketika bangun tidur di suatu pagi, tokoh kita ini -seorang anggota dewan yang terhormat- terkejut saat menyadari otaknya hilang. Padahal sudah 42 tahun otak itu tersimpan rapi dalam batok kepalanya, dan selama ini aman-aman saja. Entah bagaimana dia bisa hidup tanpa otaknya. Yang jelas, beberapa jam kemudian, tokoh kita sudah berada di ruang praktek dokter spesialis bedah otak di sebuah rumah sakit terkenal.
“Aneh ya, aneh, benar-benar aneh.” Dokter sibuk membolak-balik hasil foto rontgen. “Hilang ke mana ya otak Anda?”
“Aduh, Pak Dokter kok malah nanya ke saya?”
“Oh ya, ya, maaf. Ini kasus aneh. Baru pertama kali terjadi di dunia medis ada otak manusia bisa hilang ketika tidur.” Dokter kembali membolak-balik foto rontgen di tangannya, entah sedang mencari apa, mungkin dia berharap otak pasiennya jatuh dari dalam foto rontgen itu.
“Begini, saya akan konsultasi dulu dengan rekan-rekan yang lain. Kebetulan sore ini ada arisan dokter ahli bedah otak. Saya akan diskusikan masalah ini di sana. Pasti ada jawaban logis untuk penyakit Anda, itu pasti, saya janji.“
Hanya begitu saja, lagi-lagi tokoh kita merasa kecewa. Bahkan dokter pun tak sanggup menjelaskan kenapa otaknya bisa hilang. Tokoh kita benar-benar bingung. Kalau benar otaknya dicuri maling, kenapa bukan barang-barang berharga saja yang dicuri? Memangnya otaknya laku dijual? Atau jangan-jangan mau dijadikan campuran gulai kambing? Hiii! Dia merinding membayangkan otaknya direbus dalam kuah berbumbu.  
Sepanjang yang bisa diingatnya -karena sebagian ingatannya ikut hilang bersama otaknya- otak yang hilang itu memang jarang digunakan. Setiap pagi ketika bangun tidur, sarapan sudah terhidang di atas meja. Mau mandi, handuk sudah disiapkan. Habis mandi, jas, dasi dan sepatu pun tersedia. Mau masuk dan keluar mobil saja, pintu dibukakan sopir. Di kantor pun dia lebih banyak duduk santai di ruang kerja karena semua tugas sudah dikerjakan oleh sekretaris dan staf ahli. Dia tak perlu memikirkan apa-apa lagi karena orang lain sudah memikirkannya lebih dulu.
“Saya yakin, otak saya tersinggung karena jarang saya pakai. Akibatnya dia marah dan kabur ketika saya tidur,” katanya kepada seorang psikiater yang kebetulan lokasi prakteknya berseberangan dengan rumah sakit tadi.
Ahli kedokteran jiwa itu, seorang wanita muda berparas cantik, membenahi kacamatanya. Sejujurnya dia gusar dengan pernyataan tokoh kita. Soal analisa penyebab larinya si otak adalah pekerjaannya, bukan tugas pasien untuk mencari tahu. Namun sang psikiater agak malu juga untuk menunjukkan ketidaksenangannya. Dia baru beberapa bulan membuka praktek, dan dirinya yang masih hijau memang harus sedikit bersabar menghadapi pasien yang datang dengan keluhan luar biasa ini.   
“Pada otak manusia terdapat lapisan tipis berwarna abu-abu yang disebut cerebral cortex,” sang psikiater menunjuk lembaran kertas berisi gambar otak manusia yang tertempel di dinding ruang praktek, ”Nah, di lapisan korteks ini terdapat berbagai macam pusat saraf yang mengendalikan ingatan, perhatian, persepsi, pertimbangan, bahasa dan kesadaran.”
Tokoh kita yang terhormat bersemangat mendengar penjelasan tersebut. Sepertinya si psikiater tahu banyak tentang seluk beluk otak manusia.
“Kerusakan pada area cortex berhubungan dengan kurangnya empati, respon yang buruk pada ketakutan dan penderitaan, atau kurangnya emosi kesadaran diri seperti rasa bersalah dan rasa malu. Apa akhir-akhir ini Bapak sering merasa bersalah atau merasa malu?”
Tokoh kita tersentak. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, sejak lama otaknya hanya dipakai untuk memikirkan hal-hal yang menyenangkan. Studi banding ke luar negeri, makan siang dengan sekretaris cantik, tatap muka dengan tokoh-tokoh kelas atas, fitness, main golf, berenang, berkuda di puncak, pokoknya apa sajalah asal jangan disuruh mikir yang berat-berat. Dan jika ada keluhan ini itu dari masyarakat, tokoh kita langsung mengistirahatkan otaknya. Tapi sebagai manusia yang masih memiliki nurani, terkadang dia malu juga pada diri sendiri.
“Ya, saya memang sering merasa bersalah, juga malu kalau tidak sungguh-sungguh memperjuangkan aspirasi masyarakat. Tapi saya yakin bukan itu masalahnya. Otak saya marah karena jarang saya pakai, makanya dia pergi. Sayang sekali. Seharusnya dia bicara dulu baik-baik, bilang apa maunya, pasti saya turuti. Kalau tiba-tiba ngambek dan langsung pergi, saya juga akhirnya yang susah.”
Psikiater itu mencermati tiap perubahan ekspresi di wajah tokoh kita sembari menafsirkan kata demi kata yang didengarnya. Setelah hampir satu jam mengerahkan segenap kemampuan yang dia dapat di bangku kuliah dan hasil membaca ratusan buku-buku ilmu jiwa, akhirnya sampailah sang psikiater muda pada sebuah kesimpulan. Begini hasil analisanya:
“Saya rasa Anda mengalami skizofrenia, sebuah gangguan pada perilaku, pikiran, emosi dan persepsi. Skizofrenia merupakan sindrom klinis yang paling membingungkan. Penderitanya bisa merasa ketakutan, rendah diri, atau sebaliknya berada dalam posisi superior yang mengancam orang lain.”
“Maksud Anda saya gila? Keterlaluan! Saya tidak gila!” Tokoh kita tiba-tiba berdiri, membuat gugup psikiater yang belum berpengalaman itu.
“Benar-benar menyebalkan! Seharian ini saya menghabiskan waktu meminta bantuan pada orang-orang yang tidak memahami akar persoalan. Otak saya hilang! Sekarang saya ingin tahu kenapa dan ke mana otak saya pergi! Saya ingin otak saya kembali! Titik!”.
***
Didera rasa kesal dan putus asa, tokoh kita akhirnya membuat sayembara. Hadiah besar akan diberikan bagi siapa saja yang dapat mengembalikan otaknya. Maka berduyun-duyunlah orang datang ke rumahnya.
“Ini pak otaknya, kebetulan barusan nemu di jalan.”
“Kecil banget, ada-ada saja, ini sih otak ayam. Pergi sana!”
“Ini pak, otak yang besar, pas sama ukuran kepala bapak.”
Hmmm, kok ada lengket-lengketnya? Warna kuning ini apa? Bau gulai kambing? Ini otak embek ya? Kurang ajar!”
“Yang ini asli otak manusia lho pak. Boleh dicoba dulu, kalau cocok baru bayar.”
Hiii, otak siapa ini? Kok baunya busuk? Ada belatungnya! Baru digali dari kuburan ya? Hiii!”
***
Sampai berbulan-bulan kemudian, ribuan orang datang silih berganti, dari dalam maupun luar kota, bahkan ada yang datang dari luar negeri. Tapi keberadaan otak tokoh kita tetap misterius. Akibatnya tokoh kita benar-benar putus asa. Akhirnya dia memasang iklan di berbagai surat kabar. Isinya permohonan maaf. Dia mengaku khilaf karena tidak maksimal menggunakan otaknya. Dia memohon, benar-benar memohon, jika otaknya membaca iklan tersebut, sudilah kiranya sang otak mau kembali masuk ke dalam kepalanya.
Tentu saja kelakuan tokoh kita mengundang beragam reaksi dari masyarakat. Banyak orang merasa prihatin, namun lebih banyak lagi yang menganggap musibah tersebut sebagai hukum karma. Tak ketinggalan rekan-rekan sejawat tokoh kita ikut pula memberi komentar. Nyinyir-nyinyir komentarnya.
“Itu kan salahnya sendiri karena dia jarang memakai otaknya. Kalau saya sih selalu mencurahkan pikiran dan tenaga demi menyalurkan aspirasi masyarakat,” kilah seorang anggota dewan dengan mimik bangga dalam sebuah tayangan televisi.
“Saya rasa kejadian ini cuma rekayasa, biasalah … buat pengalihan isu,” kata seorang anggota dewan yang lain. “Mana mungkin sih otak bisa hilang begitu saja, kecuali kalau sejak lahirnya dia memang tidak punya otak. Atau jangan-jangan dia korban cuci otak aliran sesat?”  
Sungguh kasihan … tokoh kita jadi frustasi mendengar semua komentar itu. Politik memang jahat. Politik tak mengenal sahabat. Politik hanya mengenal peluang dan tak punya belas kasihan. Tidak ada penghargaan bagi manusia tak berotak seperti dirinya. Tanpa otak, derajatnya sebagai manusia turun sampai ke titik nol.
Tokoh kita terpaksa menjalani sisa hidup dengan rasa malu, juga rasa takut. Kepergian otak tersayang bisa menginspirasi bagian-bagian tubuhnya yang lain untuk ikut pergi. Jadi tokoh kita mulai mewaspadai mata, telinga, dan lidahnya sendiri, Ketiga pancaindra itu juga tak pernah optimal dia gunakan, maka bukan mustahil ketiganya akan ikut kabur atau hilang dicuri orang.
Selama ini, matanya memang senang menyaksikan keindahan dunia, tapi enggan melihat rakyat yang sedang menderita. Telinganya suka mendengar musik-musik indah, obrolan segar, cekikikan perempuan di atas ranjang, tapi malas mendengar jerit tangis manusia. Lidahnya sering mengucapkan segudang janji indah pada masyarakat, tapi janji-janji itu jarang dia tepati.
Tokoh kita juga menjadi sangat berhati-hati pada semua orang. Dia curiga mereka ingin mencuri mata, telinga dan lidahnya. Mungkin mereka ingin membalas dendam dengan cara seperti itu. Maka ketika dia merasa orang-orang mulai melirik mata, telinga dan lidahnya, dia langsung menjerit seperti orang kerasukan.
***
Seorang anggota dewan yang hendak masuk ke mobil dicegat oleh puluhan wartawan di pelataran gedung parlemen.
“Kemarin rekan Anda dibawa ke rumah sakit jiwa, komentar Anda bagaimana?”
Ah, itu cuma rekayasa, seperti pernah saya bilang … buat pengalihan isu.”
”Anda masih tidak percaya kalau otak rekan Anda benar-benar hilang?”
Ah, ini kan konspirasi intelijen tingkat tinggi.”
“Tapi faktanya otak itu benar-benar hilang. Menurut Anda, hilang dicuri atau kabur sendiri?”
Wah, itu saya nggak tahu, tanya sendiri dong ke otaknya.”
“Katanya siang ini Anda hendak mengunjungi masyarakat miskin di luar kota?
“Ya, ya, betul itu. Sudah ya, jadwal kerja saya padat sekali nih.”
Si anggota dewan buru-buru masuk ke dalam mobil. Beberapa ratus meter mobil berjalan, sang senator sudah asyik bertelepon ria dengan seseorang.
“Iya sayang, tunggu sebentar ya, abang sedang dalam perjalanan ke sana. Daaah sayaaaang. Kebut dikit Mat. Dah terlambat nih.”
“Ke tempat biasa, Pak?”
“Ya iyalah, pake nanya segala.”
Anggota dewan kita melirik arloji emasnya, kemudian dengan nyaman menyandarkan kepala di jok mobil. Lagu instrumentalia yang dipasang Mamat ditambah sejuk AC mobil membuat suasana makin terasa nyaman. Reda sudah cenat-cenut yang tadi sempat dia rasa gara-gara harus memutar otak untuk menjawab pertanyaan wartawan. Sekarang kepalanya terasa ringan, benar-benar ringan, seperti ada sesuatu yang hilang dari dalam sana. (*)

Kamis, 03 Mei 2012

PUSAKA (versi lebih ringkas)


*) Dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Minggu 29 April 2012 
Kampung di tengah rimba itu seperti menawarkan kengerian: gelap dan senyap. Hanya sebuah obor yang disangkutkan ke pohon belian di mulut kampung yang menjadikannya sedikit bercahaya. Namun gerimis baru saja mematikan obor tersebut dan kepulan asap dari obor yang mati itu kelihatan seperti kabut pekat yang menjadi pintu masuk ke dimensi lain. Di saat seperti itulah lelaki itu tiba di sana, ketika malam sudah larut dan tak ada tempat lagi yang bisa dia tuju.
Ada rasa ragu menjalar di hatinya, namun deras gerimis memaksa dia terus melangkah. Dan semakin jauh langkah kakinya, semakin dia menyadari jika kampung itu benar-benar sunyi. Hanya ada beberapa rumah panggung dengan penghuni yang mungkin sedang bermimpi. Dia tidak ingin mencari perkara dengan membangunkan orang tidur. Tidak semua orang senang dibangunkan dari mimpi.
Namun ketika hujan akhirnya benar-benar turun, dia tidak punya pilihan lain. Dia terpaksa mengetuk pintu sebuah rumah. Selang beberapa lama, dalam keremangan lampu minyak, seorang perempuan tua muncul dari balik pintu. Matanya menatap tajam seperti memancarkan hawa dingin yang membuat bulu kuduk berdiri.
“Bisakah saya menumpang malam ini?” Bibir lelaki itu bergetar. Nafasnya terhenti. Tapi hanya ini kesempatan terbaiknya. Barangkali tidak ada lagi rumah yang lampu minyaknya masih menyala, kecuali rumah perempuan tua ini.
“Tolonglah saya. Malam ini saja. Besok pagi-pagi sekali saya pergi.”
***
Lelaki itu duduk bersandar pada dinding bambu. Perutnya kenyang. Setelah seharian kelaparan, makanan yang baru selesai dia santap bagaikan hidangan dari surga. Sementara di luar sana hujan belum juga reda. Suara daun-daun bambu bergesekan mengembuskan hawa kengerian. Angin dingin yang masuk lewat celah-celah bambu, membuat rumah itu seperti membeku.
Lelaki itu diam-diam memerhatikan si perempuan tua. Jarak di antara mereka mungkin tiga kali panjang lengan orang dewasa. Usia perempuan itu kira-kira 70 tahun, atau mungkin lebih muda. Tapi keriput yang memakan wajahnya menjadikan dia benar-benar kelihatan tua.  
“Apa yang ingin kau tahu tentang diriku?” Perempuan tua membuka percakapan. Suaranya pelan, tapi nyaring seperti orang tercekik. Si lelaki merasa tidak enak hati. Perempuan tua itu jelas tahu dirinya diam-diam diamati.
“Ah, tidak, saya … saya hanya ingin berterima kasih sudah dibolehkan menginap di sini.”
“Kau pengelana yang tersesat. Aku harus menolongmu. Kenapa kau bisa sampai kemari?”
“Entahlah, saya hanya mengikuti langkah kaki.”
“Kau lari dari masalah?”
Lelaki itu diam. Dia ingat istrinya yang baru dia bunuh beberapa hari lalu. Bersama istrinya, mati pula laki-laki yang telah merusak kebahagiaan rumah tangganya.
“Ya, bisa dibilang begitu.” Suara lelaki itu bergetar.
“Suaramu memancarkan kesedihan. Siapa namamu?”
“A Ghu.”
“Aku Pa’inkg. Orang-orang memanggilku Nek Macan Pa’inkg.”
“Nek Pa’inkg … Nek sendiri di rumah ini?”
“Ya, suamiku mati sepuluh tahun lalu. Kami tidak punya anak.”
Lelaki itu termenung. Matanya menyapu lantai kayu yang gelap. Dia ingat anaknya yang menangis sambil mengoyang-goyang jasad ibunya yang berlumur darah. Entah apa yang ada dalam benak seorang bocah yang bahkan belum bisa mengeja kata-kata.
“Kenapa diam? Kau ingat seseorang? Anakmu?”
Lelaki itu mengangguk. Sebagai pedagang antar pulau, dia biasa pergi jauh sampai berbulan-bulan. Selama itu dia percaya pada kesetiaan istrinya, sampai suatu hari, setelah dia kembali, seseorang mengadu kepadanya. “Ada lelaki sering masuk ke rumahmu saat kau pergi.”
Lelaki itu tak mau begitu saja percaya. Dia harus membuktikannya sendiri. Maka setelah satu bulan dia bersikap biasa-biasa saja, dia pamit pada istrinya. “Aku mau pergi. Mungkin dua atau tiga bulan,” katanya. “Pergilah, hati-hati selalu. Kami akan merindukanmu.” Tapi beberapa hari kemudian dia sudah kembali, tepat ketika istrinya sedang bersama laki-laki lain. Maka terjadilah peristiwa itu.
“Darimana asalmu?”
“Apa itu penting?”
“Tidak juga. Tapi kau harus selalu ingat asalmu. Ke sanalah kau akan kembali.”
Lelaki itu menggeleng. Dia tidak mungkin kembali. Terlalu banyak kenangan di kotanya yang tidak ingin dia ingat lagi. Kenangan manis maupun pahit, kini mengejarnya, mengikutinya, menghakiminya, menjadikan dia seperti pesakitan di kursi terdakwa. Satu-satunya yang dia tidak mungkin lupa adalah anaknya yang tidak sempat dia bawa.
“Apa yang kau inginkan sekarang?”
“Tidak ada. Saya hanya ingin pergi jauh.”
“Pergi ke mana?”
Laki-laki itu tidak menjawab. Matanya menyapu wuwungan rumah. Tidak terlihat apa-apa di sana kecuali gelap. Sejenak dia merasa, seperti itulah masa depannya.
“Kalau kau tidak punya tujuan lagi, maka hidupmu akan berakhir.”
“Maksud Nek?”
“Maksudku, sampai kapan kau akan hidup seperti ini?”
Lelaki itu menunduk. Gemuruh hujan makin deras. Suara gesekan daun dan ranting pepohonan terdengar makin kencang. Tapi di tengah keriuhan hujan, dia merasa sepi. Dia merasa terasing dari dirinya sendiri. Butiran air menggenangi matanya ketika bayang-bayang dirinya yang terpantul di dinding bambu perlahan sirna. Ke mana lagi dia hendak melangkah? Dia tidak mempunyai saudara lain yang bisa dituju. Semua saudara dan teman baiknya menutup pintu ketika tahu dirinya diburu polisi.
“Apa kau ingin kehidupan baru? Tempat tinggal baru? Kau ingin lepas dari masalahmu?”
Mata lelaki itu berbinar. Mungkin perempuan tua ini punya jalan keluar untuknya. Mungkin perempuan tua ini akan menawarinya pekerjaan. Ya, dia bisa membantu perempuan itu. Apa saja akan dia kerjakan asal diberi makan dan tempat tinggal untuk sembunyi dari masa lalu.
“Ya, saya ingin kehidupan baru, tempat tinggal baru, saya ingin melupakan masa lalu,” kata lelaki itu. “Apa ada pekerjaan untuk saya? Nenek tidak perlu membayar saya, cukuplah jika saya diberi makan. Oh, jika ada kandang ternak, saya bersedia tidur di sana. Tak perlu kiranya saya tinggal dalam rumah ini.”
“Benarkah? Aku memang punya pekerjaan untukmu.”
“Apa yang harus saya kerjakan?” 
“Aku ingin kau menjadi pusaka!”
“Pusaka?” Lelaki itu tiba-tiba merasa takut. Raut mukanya menegang. Instingnya mulai berkata lain. “Saya tidak mengerti, menjadi pusaka?”
“Begini,” perempuan tua itu merubah posisi duduknya, sedikit bergeser ke depan. “Sudah lima tahun terakhir kami mendapat musibah. Hutan tak lagi ramah. Buah-buahan menghilang. Hewan sulit diburu. Ternak-ternak mati. Manusia di kampung ini pun banyak yang mati. Lama-lama kami akan musnah.” 
“Lantas, apa hubungannya dengan pusaka?”
“Kami perlu pusaka untuk melindungi kampung ini dari bala.”
“Ya, tapi bagaimana saya bisa menjadi pusaka?”
“Kami perlu pusaka dari tengkorak orang yang dipenggal kepalanya.”
“Apa?” Lelaki itu mendelik. Dia bergidik membayangkan kepalanya lepas dari badan.
“Maukah kau menjadi pusaka? Kau akan menjaga kampung kami dari bencana. Kau tidak perlu ke mana-mana lagi. Kau akan abadi bersama kampung ini. Kebaikan dan pengorbananmu akan selalu kami kenang.”
Mulut laki-laki itu menganga. tak bisa berkata apa-apa. Sementara hujan di luar makin deras saja. Suara daun dan ranting menghilang, diganti dentuman halilintar. Hawa dingin yang menyelusup lewat celah bambu mengunci tubuhnya. Bermenit-menit kemudian, lelaki itu mulai bisa menguasai diri. Dia merasa perempuan tua itu tidak serius dengan ucapannya, atau mungkin dia sudah gila.
“Saya tidak mengerti,” suara lelaki terdengar lirih. “Kenapa nenek memberitahu saya?”
“Buat apa aku bohong padamu?”  
“Tapi saya bisa lari!”
“Supaya masa lalu bisa mengejarmu? Kau senang ditangkap masa lalu?”
Lelaki itu tidak menjawab. Dia berusaha berpikir jernih. Di luar gelap dan hujan, dia bisa bertemu harimau atau ular. Tidak ada harapan baginya di luar sana. Tapi jika dia bisa melewati malam ini, besok pagi-pagi sekali dia akan menyelinap pergi untuk selama-lamanya. Dia tahu sudah saatnya mengakhiri percakapan. Dia harus mengumpulkan tenaga untuk perjalanan esok hari. Maka disenangkannya hati perempuan tua itu.
“Baiklah, saya bersedia menjadi pusaka. Besok siang, silahkan penggal kepala saya.”
 “Benarkah?” Suara perempuan tua terdengar gembira. “Apa benar kau merelakan kepalamu?”
“Ya, saya rela. Tapi biarkan saya istirahat sekarang. Saya ingin tidur untuk terakhir kali.”
“Kami akan memberimu sesaji sepanjang tahun untuk kau makan. Kau tidak akan kelaparan lagi. Kau akan tinggal bersama kami selamanya. Di sinilah asalmu. Tempat kau akhirnya kembali.”
Lelaki itu hanya mengangguk. Dia sudah terlalu lelah untuk menanggapi omongan macam itu. Sesaat setelah perempuan tua meninggalkannya, lelaki itu pun membaringkan diri. Perasaan nyaman menjalari punggungnya yang pegal. Dia teringat malam-malam di mana dia merebahkan diri di samping istri dan anaknya.
Sekilas muncul penyesalan dalam hatinya. Andaikan waktu itu dia bisa menahan diri, tentu dia tidak perlu berada di tempat ini. Namun kemudian dia berpikir istrinya memang layak mati. Lelaki itu tersenyum membayangkan betapa mudah dia menipu istrinya dengan berpura-pura pergi jauh, sama mudahnya seperti sekarang dia menipu perempuan tua itu.
Setelah lama berpikir, lelaki itu akhirnya memutuskan untuk menatap masa depan. Dia akan mencari kerja. Dia akan menabung. Suatu hari nanti, dia akan berdagang lagi. Dan dia akan kembali untuk mencari anaknya. Belum pernah dia merasakan semangat seperti yang dia rasakan sekarang. Suara burung hantu sayup-sayup terdengar di kejauhan. Tak lama kemudian, dia tidur dengan nyenyaknya.
Malam makin larut. Hujan sudah reda. Lidah api dari lampu minyak meredup, namun bayangan tubuh lelaki yang terlelap masih jelas terpantul di dinding bambu. Bayangan itu kemudian berpadu dengan bayangan dari tubuh perempuan tua yang membawa sebilah parang di tangannya. (*)
Eka Maryono
Lahir di Jakarta, 2 Maret 1974. Pendidikan terakhirnya ditempuh di jurusan Sastra Jepang Universitas Nasional (1991-1997). Kini aktif sebagai penggiat komunitas Studi Sastra Jakarta. Bukunya yang sudah terbit “Etalase Sunyi” (Kumpulan Puisi Kamar, Yayasan Pintar, 2002).