*) Dimuat
di Harian Pikiran Rakyat, Minggu 30 September 2012
Oleh:
Eka Maryono
Saya tidak tahu kapan
persisnya istilah Sastra Maya muncul dan siapa orang pertama yang memperkenalkan istilah tersebut. Yang
jelas belakangan ini, istilah tersebut sering saya lihat ‘bersliweran’ seiring
dengan maraknya publikasi puisi dan cerpen di dunia maya. Dunia maya sendiri
kiranya dapat diartikan sebagai sesuatu yang dapat dilihat sehingga terkesan
ada, namun sebenarnya tidak benar-benar ada.
Bila dibandingkan
dengan media cetak seperti koran, tabloid dan majalah yang dapat dilihat
sekaligus bisa dipegang bentuk fisiknya, maka media maya bersifat gaib. Kita
hanya dapat melihatnya (berupa tulisan, gambar mati/bergerak), mendengarnya
(berupa suara) tapi kita tidak pernah bisa merabanya. Yang dapat kita sentuh
hanyalah layar monitor komputer atau ponsel sebagai tempat di mana dunia maya
itu divisualisasikan.
Seperti halnya dunia
maya yang teramat luas, demikian pula tidak ada batasan tempat untuk sastra
maya. Memang ada orang yang berpendapat bahwa sastra maya adalah karya fiksi yang belum
terpublikasikan di media massa lain dan dibuat hanya untuk dunia maya. Namun sebenarnya
semua
tulisan sastra yang dipublikasikan di dunia maya dapat disebut sebagai sastra
maya. Hal ini tak ubahnya dengan orang-orang yang bermukim di suatu kota,
mereka dapat dikatakan sebagai penduduk atau warga, tak peduli apakah mereka
punya KTP kota tersebut atau tidak.
Sastra maya dapat
dipublikasikan di website berita ternama atau situs berita kecil-kecilan,
jejaring sosial, maupun blog pribadi. Hal ini termasuk karya yang sudah pernah
dimuat di media massa, kemudian dipublikasikan ulang di dunia maya, atau
sebaliknya. Soal mutu, tentu berpulang pada kemampuan pengarangnya
masing-masing, serta perbedaan selera dan standar pembaca dalam menentukan tinggi
rendahnya mutu sebuah karya.
Dibanding sastra koran,
sastra maya memiliki kelebihan dalam kecepatan publikasi dan daya jangkau
pembaca. Seorang penulis tidak perlu menunggu waktu lama jika ingin
mempublikasikan karyanya. Cukup menyelesaikan sebuah atau lebih tulisan, dan
dia bisa memamerkan tulisannya itu kapan pun dia mau, dan pembaca dari seluruh
penjuru bumi yang sudah terhubung jaringan internet dengannya dapat langsung
melihat karya tersebut. Keleluasaan semacam ini tidak diberikan oleh media
cetak. Pengarang yang mengirimkan
karyanya ke media cetak harus melalui proses seleksi oleh redaktur, kemudian
menunggu giliran pemuatan yang tak jarang memakan waktu berbulan-bulan. Belum
lagi distribusi media cetak yang terbatas, hingga tidak mungkin sanggup
menjangkau pembaca dari seluruh dunia, kecuali
jika media cetak itu memiliki website dan
mempublikasikan ulang karya tersebut dalam website mereka.
Kemajuan teknologi
internet pada akhirnya memang dapat meniadakan batasan-batasan geografis, ras,
budaya dan agama, juga menghapus peran redaktur dalam menentukan lolos tidaknya
suatu karya sastra. Perlahan namun pasti, ruang publikasi karya sastra bergeser
dari media cetak menuju dunia maya. Yang semula teks tercetak beralih ke dalam
format digital. Bukan mustahil kelak sastra koran akan mati dan bereinkarnasi sepenuhnya
sebagai sastra maya.
Mutu
Sastra Maya
Namun suka atau tidak, sampai detik ini kesuperioritasan
media cetak dalam menjadikan seseorang sebagai pengarang tetap diakui banyak
kalangan. Di masa depan, media cetak bisa kehilangan pembaca, tapi tidak di
masa kini. Tak heran jika banyak orang mengaku tak memerlukan koran untuk
mengekpresikan karya, namun pada saat bersamaan tetap mengirimkan tulisannya ke
koran sambil diam-diam berharap karyanya dapat tampil di koran tersebut. Hal
ini terjadi karena karya sastra yang dimuat di dunia maya masih dianggap
sebagai karya kacangan, sementara karya sastra yang dimuat di koran dipandang
lebih tinggi mutunya karena sudah melalui proses seleksi oleh redaktur koran
bersangkutan. Kenyataannya, mutu sastra maya memang sering berada di bawah mutu
sastra koran, kecuali karya-karya yang sebelumnya sudah terbukti menembus
koran-koran besar dan kemudian dipublikasikan ulang di dunia maya.
Tak heran jika akhirnya
karya sastra maya dituding sebagai penyebab merosotnya estetika sastra di tanah
air karena begitu banyak puisi dan cerpen minim kualitas bertebaran di dunia
maya. Sudah
begitu, karena orang bisa menulis dan mempublikasikan apa saja dengan estetika
yang dia buat sendiri, maka tak banyak kritik yang terbangun karena karya
sastra menjadi terlalu liar. Orang bebas memposting puisi dan cerpen apa saja
sesuka hatinya, tanpa harus pusing mempertimbangkan aspek-aspek kesusastraan
yang sejak lama memiliki aturan sendiri.
Persoalannya, seperti
sudah disinggung di awal tulisan, dunia maya memang bukan media cetak. Dunia
maya adalah wadah yang tepat bagi penulis pemula untuk memperkenalkan karyanya
kepada khalayak pembaca. Di saat sebuah karya dipublikasikan di facebook misalnya, biasanya akan muncul
beragam komentar, baik komentar yang menyukai maupun yang tidak menyukai.
Komentar yang menyukai umumnya berisi puji-pujian yang entah asli atau palsu,
sementara komentar yang tidak menyukai dapat berupa kritik (bahkan hinaan) yang
tentu saja dapat dijadikan masukan penting bagi si pengarang untuk memperbaiki
karyanya di kemudian hari.
Dengan adanya sastra maya, produktifitas
penulis pemula dapat berkembang. Mereka dapat menulis dan langsung
mempublikasikan hasilnya setiap saat, tidak perlu lagi menunggu ruang sastra
koran yang biasanya hanya ada sekali dalam seminggu, atau majalah sastra yang
umumnya terbit sebulan sekali.
Di tengah cercaan sebagian kalangan mengenai minimnya mutu
sastra maya kita, ada baiknya jika para pelaku sastra maya berusaha keras untuk
meningkatkan mutu tulisan mereka. Produktiflah menulis sebanyak-banyaknya di
awal karir sebagai pengarang. Setelah itu, perlahan-lahan produktifitas justru
harus dikurangi. Kecenderungan untuk menulis dengan sangat produktif, lambat
laun harus diganti dengan kecenderungan merevisi berulangkali sebuah puisi atau
cerpen sampai benar-benar berhasil menjadi karya sastra.
Kiranya bukan pada
tempatnya memandang sastra maya sebagai ‘sampah’ yang baunya dapat meracuni
atmosfer kesusastraan Indonesia, malah sebaliknya harus diterima sebagai sebuah
‘pembebasan’ yang untuk sejenak dapat melepaskan pengarang dari belenggu media
cetak. Sastra maya tak ubahnya pelabuhan sementara bagi para penulis pemula
sebelum menemukan pelabuhan terakhirnya. Ibarat sekolah tempat mereka saling
belajar dan mengajar untuk meningkatkan mutu tulisan masing-masing. Seperti
kawah candradimuka yang pada akhirnya akan melahirkan penulis-penulis tangguh,
bukan cuma tangguh dalam teknik menulis, namun juga tahan terhadap siraman
pujian maupun cercaan. (*)
*) esai ini juga dimuat di Harian Haluan, Edisi Minggu, 30 September 2012