Rabu, 18 Mei 2011

CAP GO MEH


*) Dimuat di Harian Jurnal Nasional, Minggu 8 Mei 2011

Menenteng sepoci anggur di antara bunga
sendirian bersulang tiada yang menyapa
Cawan diangkat mengajak bulan purnama
Menghadap bayang-bayang jadilah bertiga1)

Lima belas hari setelah imlek adalah Cap Go Meh, tetapi Po Sun Khi masih belum tahu apa yang akan dia lakukan pada puncak perayaan imlek itu, saat purnama bersinar penuh. Dulu dia pasti menjadi Tatung2) yang diarak keliling kota menuju vihara. Tapi kini dia sudah renta, seperti awan sore yang makin temaram di ujung senja. Bibir kerempengnya hanya bisa komat-kamit mengunyah Thiam Pan3) sambil mata kosongnya menyusuri setiap jengkal langit gelap, seolah sedang mencari penggalan-penggalan cerita tentang dirinya yang tercecer di atas sana. 
Sore tadi dia membakar kertas-kertas doa dan persembahan di seberang meja altar, di depan foto-foto dan papan nama leluhur yang belakangan makin jarang dibersihkan. Belum lagi persembahan lima piring penuh buah dan kue manis aneka rupa yang dia beli dengan uang hasil menabung selama dua bulan. Sepasang ikan bandeng bahkan ikut terhidang di atas meja altar. Po Sun Khi merasa sudah habis-habisan menyenangkan hati para leluhur dan sekarang dia berharap karma baiknya itu akan cepat berbuah.
Sehabis sembahyang tadi, perutnya lapar, dan dia langsung mengunyah Thiam Pan. Tapi karena kebanyakan makan Thiam Pan, mulutnya jadi lengket dan hampir-hampir tidak bisa dibuka, seperti mulut orang yang habis makan lem tikus saja. Untung tiga botol arak simpanannya masih ada, dan malam imlek sehabis sembahyang adalah waktu paling tepat untuk menghabiskan ketiga botol arak itu.
Po Sun Khi mulai  menenggak minumannya. Tak lama kemudian, dia pun mulai mabuk dan memanggil-manggil Cai Shen. “Oh Cai Shen … Cai Shen … oh Cai Shen … Cai Shen ….” begitulah ia, lirih menyebut-nyebut nama dewa rezeki berulangkali. 
Setiap mabuk di malam imlek, dia selalu menggumamkan Cai Shen, tapi nasibnya tak pernah berubah. Keberuntungannya jauh tertinggal di masa silam. Sekarang dia sakit-sakitan dan hidup sendirian dalam rumah reyot di sebuah gang kumuh yang selalu becek meski tidak hujan. Dia mengeluh. Dia bosan jadi kuli pasar. Encoknya kumat kalau memanggul beban kelewat berat. Hujan rintik-rintik menyergap saat dia mengorek-ngorek hidungnya yang gatal karena asap lima batang hio dari atas meja altar.  
“Ada kehilangan, baru Memperoleh. Tanpa kehilangan, tidak akan memperoleh.” Begitu kata pepatah. Hanya saja Po Sun Khi merasa telah mengalami banyak kehilangan, tapi tidak pernah mendapat ganti apa-apa.
***
Empat puluh enam tahun silam, Po Sun Khi sedang giat-giatnya bekerja di pabrik pengasapan karet ketika G30S meletus di Jakarta. Jarak Jakarta - Singkawang terlalu jauh, lagipula Po muda tidak tahu apa-apa soal politik, jadi dia tidak tahu jika sebentar lagi garis nasibnya berkata lain.
Beberapa bulan setelahnya, puluhan tentara mendatangi kampung dimana dia tinggal. Tentara-tentara itu masuk ke rumah-rumah penduduk dan bertanya macam-macam. Setelah mereka pergi, dia hanya bisa menangis memikirkan nasib bapaknya yang dibawa tentara gara-gara menyimpan selebaran komunis di kantung celana. Bapaknya pergi dan tak pernah kembali lagi.
Sejak kejadian itu, hidupnya berubah. Pabrik pengasapan karet ditutup. Pemiliknya kabur ke luar negeri. Kampungnya kemudian diserbu orang-orang yang terlanjur menganggap seisi kampung sebagai PKI. Tubuh-tubuh pun bergelimpangan, pada suatu malam, menggemparkan kampung yang seharusnya lengang. Bersama istri dan kedua anaknya serta ratusan pengungsi lain, dia terbirit-birit masuk ke pusat kota. Datang hanya dengan pakaian melekat di badan.
Hingga bertahun-tahun. Suasana masih saja mencekam bagi orang-orang macam dirinya. Di jalanan berseliweran orang-orang yang kerap memandang mereka dengan pandangan mata tajam seperti mata gagak yang setiap saat siap menjalakan kematian. Tidak ada harapan baginya. Tanpa kartu identitas, dia tidak bisa mencari pekerjaan, kecuali menjadi buruh kasar. Diberi upah berapa pun dia mau. Dia tidak berani protes karena takut. Tapi dia tidak pernah benar-benar merasa kehilangan sampai suatu ketika, puluhan tahun silam, pada suatu pagi yang basah, istrinya yang tidak tahan hidup miskin, memilih kabur membawa kedua anaknya.
Seperti orang gila, dia mencari anak istrinya ke setiap sudut kota. Setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, bertahun-tahun, hingga akhirnya dia menyerah. Pasrah. Kemudian dia memilih kembali menjalani hidup seperti biasa. Menjalani pekerjaan sebagai kuli pasar sambil terus berharap anak istrinya akan pulang.
Sampai sekarang dia masih meratapi anak istrinya. Itu sebabnya dia sering berlama-lama menatap langit, berharap mereka turun dari angkasa, kemudian mencari dirinya di perempatan pasar atau gang-gang kumuh di pinggiran kota. Ribuan doa sudah dia panjatkan agar waktu dapat diputar kembali. Dia sedih dan lelah.
***
Lima belas hari setelah imlek adalah Cap Go Meh, dan Po Sun Khi sudah tahu apa yang akan dia lakukan pada puncak perayaan imlek itu, saat purnama bersinar penuh. Pagi-pagi sekali ketika embun masih membeku, dia bangun dan langsung mengasah pisau. Tekadnya sudah bulat. Tengah malam nanti, dia akan bunuh diri!
Sejak beberapa hari belakangan ini, dia telah memikirkan bermacam cara untuk mati. Awalnya dia ingin gantung diri. Tapi segera dia menyadari balok-balok kayu di rumahnya telah rapuh dan pasti akan patah jika dipaksa untuk menyangga tubuhnya, meski beratnya tak lebih dari empat puluh lima kilo saja. Kemudian dia berpikir untuk minum racun serangga. Dia yakin rasanya tidak jauh berbeda dengan arak kesukaannya. Namun dia ragu apakah racun serangga dapat membunuhnya dengan cepat. Bagaimanapun juga, dia tidak mau mati lama-lama dalam keadaan tersiksa. Akhirnya setelah berpikir keras, dia menjatuhkan pilihan pada sebilah pisau.
Pisau yang akan digunakan untuk bunuh diri itu dia temukan beberapa bulan lalu. Mungkin baru dibeli seseorang, dan tidak sengaja terjatuh di sekitar pasar. Panjangnya sekitar 25 cm. Bentuknya biasa saja, seperti pisau pada umumnya. Hanya saja ketajamannya berkilat-kilat. Semakin ke ujungnya yang meruncing, semakin kelihatan tajam. Ukurannya pun cukup besar dan panjangnya melebihi pisau biasa, sehingga rasanya lebih pantas disebut sebagai pisau jagal ketimbang menamainya pisau dapur.  
Dia menatap pisau itu seperti melihat nasibnya sendiri. Dingin dan sepi. Suatu hari nanti pisau itu akan berkarat, terasing dan terpinggirkan. Seperti dirinya yang tak lagi mengenali wajahnya yang dipenuhi kerut, dan rambut putihnya yang terus memanjang itu seakan diciptakan untuk mengejek seorang lelaki tua karatan.
Sambil terus mengasah pisau yang sebenarnya tidak perlu diasah lagi, dia bergidik membayangkan urat nadinya putus diiris pisau itu. Dia akan mati pelan-pelan karena kehabisan darah. Atau bagaimana jika dia merobek perutnya dengan pisau itu? Ah, amis darah pasti akan mengundang kucing atau anjing untuk masuk ke dalam rumah. Binatang-binatang itu akan menemukan dirinya sedang sekarat sambil memegangi isi perutnya yang berceceran keluar. Dia tidak rela jika jeroannya dimakan kucing atau anjing. Sungguh sebuah kematian yang tidak agung.  
Dia kemudian membayangkan lehernya dicabik-cabik pisau itu. Darah segar akan mengalir dari lehernya yang terkoyak-koyak. Tubuhnya akan menggelepar dan matanya pasti melotot menahan sakit yang teramat sangat. Kiranya menggorok leher sendiri sama seperti mengiris urat nadi. Nyawanya akan lepas perlahan. Sungguh proses kematian yang teramat panjang. 
Dia menginginkan kematian yang cepat. Dia sudah terlalu lama menahan derita hingga tidak mau lagi sengsara di ujung ajalnya. Tapi jika pisau itu menikam jantungnya … ya dia akan segera mati. Rasanya pasti sangat sakit, tapi tidak akan lama. Dia akan mati bahkan sebelum darahnya berhenti mengalir. Kemudian dia akan terbangun di sebuah langit yang jauh, sebuah langit luas dimana dia bisa berlari sepuasnya menembus awan. Mungkin di sana dia akan bertemu anak istrinya. Mereka akan berlari-larian bersama. Tertawa riang. Bergandengan tangan. Atau mungkin dia bisa bertemu ibu bapaknya yang suka cita menerima kedatangannya seperti menyambut anak yang telah lama hilang. Dia bahkan bisa mendengar bapaknya berkata, “Lihatlah, anak kesayanganku telah tiba.”        
Lamunan Po Sun Khi mendadak buyar oleh suara gaduh yang tiba-tiba dari ujung jalan. Dia tahu arak-arakan Tatung dan barongsay sedang beriringan menuju vihara. Di waktu mudanya, saat anak istrinya masih ada, dia selalu merelakan dirinya menjadi Tatung. Masih jelas terbayang dalam ingatannya, pada setiap pagi di hari kelima belas setelah imlek, para Tatung akan berkumpul untuk melakukan sembahyang kepada Langit di depan meja altar. Seorang dukun lantas membuat mereka dirasuki roh leluhur. Mereka akan menjadi kebal, lalu diarak keliling kota untuk mengusir kesialan. Sungguh sebuah ironi jika kesialan akhirnya menimpa dirinya, yang setiap tahun telah merelakan diri menjadi Tatung.
Po Sun Khi menyesali masa-masa jayanya yang telah lewat. Dia juga menyesali kepasrahannya untuk menghabiskan hidup dalam kemiskinan seraya menunggu anak istrinya pulang. Dia benar-benar menyesal. Tidak seharusnya dia melewati tahun-tahun terakhir dengan penderitaan. Harusnya dari dulu dia memilih mati. Seharian itu dia mengurung diri dalam rumah. Tak sepatah kata pun terucap dari mulutnya.
Saat langit akhirnya menjadi muram, Po Sun Khi menyalakan tiga batang hio dan berdoa lama sekali hingga tiga batang hio itu habis terbakar. Beberapa jam lagi tepat tengah malam. Bagaimana pun juga dia masih menyimpan sedikit harapan. Mungkin anak istrinya akan datang. Atau mungkin ada sekarung emas jatuh dari langit-langit rumahnya. Bukankah selalu ada keajaiban dalam kehidupan? Tapi sampai tengah malam dia mendapati dirinya masih dibelit kemiskinan. Tidak ada emas yang jatuh dari atas rumah. Tidak ada keajaiban. Keajaiban hanya ada dalam dongeng-dongeng belaka.
Po Sun Khi berjalan gontai ke depan rumah. Dia menengadahkan wajah ke langit. Mata kosongnya menyusuri setiap jengkal langit gelap, berharap anak istrinya turun dari angkasa, kemudian mencari dirinya di perempatan pasar atau gang-gang kumuh di pinggiran kota, seperti biasa. Tapi tidak ada lagi bayangan mereka di atas sana. Yang ada malah wajah ibu bapaknya. Mereka mengulurkan tangan dan tersenyum saat Po Sun Khi berusaha menggapai wajah mereka.
“Hidup adalah jalan di waktu tidur, kematian adalah pulang ke rumah.” Begitu bapaknya dulu sering berkata. Hidup miskin dan sendirian adalah mimpi buruk yang telah Po Sun Khi jalani sejak lama. Sekarang saatnya mimpi buruk itu diakhiri.  
Pada hari kelima belas setelah imlek, di tengah malam yang pancaran cahaya bulannya terang dan bulat, Po Sun Khi menatap erat mata pisau yang berkilat tajam dan memantul di bola matanya. Dia tahu hidupnya akan segera berakhir. (*)
Keterangan:
1)      Bait pertama dari puisi berjudul Yue xia du zhuo karya Li Tai Po (Abad 8 M), diterjemahkan oleh Zhou Fuyuan dengan judul Sendiri Minum di Bawah Purnama. (Purnama di Bukit Langit: Antologi Puisi Tiongkok Klasik, GPU, April 2007).
2)      Tatung dalam dialek Hakka artinya “orang yang dirasuki roh dewa atau leluhur”.
3)      Thiam Pan dalam dialek Hakka artinya “kue manis”, dalam bahasa Mandarin disebut Nian Kao (kue tahunan). Di Indonesia, Thiam Pan lebih dikenal dengan sebutan “Kue Keranjang”.

Eka Maryono lahir di Jakarta, 2 Maret 1974.  Pendidikan terakhirnya ditempuh di jurusan Sastra Jepang, Universitas Nasional (1991–1997). Aktif sebagai penggiat komunitas Studi Sastra Jakarta. Bukunya yang sudah terbit Etalase Sunyi (Kumpulan Puisi Kamar, Yayasan Pintar, 2002).
 




EMAK


*) Dimuat di Harian Jawa Pos, Minggu 1 Mei 2011

DIA nenek saya. Tubuhnya kurus hingga ada cekungan di pipi keriputnya. Sifatnya sangat tertutup. Dia senang mengurung diri dalam kamarnya yang pengap. Sejak kecil saya memanggilnya emak. Sekarang emak terbaring dalam peti mati murah yang dihias sedemikian rupa agar terkesan bagus, ditonton puluhan pelayat yang beberapa di antaranya memaksakan diri agar terlihat sedih, dan sebentar lagi emak bakal dikurung dalam sebuah kotak yang bahkan lebih pengap ketimbang kamarnya. 
Apa mau dikata? Akhir hidupnya berujung di situ saja. Emak sedikit beruntung karena punya keluarga yang akan mengenangnya. Ya, kami akan mengenangnya sampai tiba giliran kami untuk dikenang oleh generasi berikutnya, begitu seterusnya sampai yang tersisa paling-paling beberapa lembar foto tua, dan akhirnya akan tiba suatu masa di mana tidak ada lagi orang yang sanggup menjelaskan siapa-siapa yang terekam dalam foto itu.
Saya menatap jasad emak lama sekali. Akankah dia masuk surga? Dia tidak pernah minta dilahirkan, tiba-tiba dilempar begitu saja ke dunia. Kini apa yang akan terjadi padanya? Saya harap dia tidak lagi menderita. Sejak menumpang di rumah kami, badan emak jadi kurus. Ibu selalu memarahinya. Ada saja perbuatan emak yang tidak menyenangkan hati ibu. Kadang bila ibu sudah kelewatan, saya membela emak. Tapi ibu marah dan akhirnya bertengkar dengan saya. Sejak itu hidup saya jadi susah. Melawan orang tua durhaka hukumnya. Apalagi melawan ibu, surga saja ada di telapak kakinya. Dan hukuman bagi anak durhaka tentu penderitaan sejak masih hidup di dunia.
Susah sekali bagi saya untuk dapat kerja. Padahal saya tidak pilih-pilih pekerjaan. Kerja apa saja saya mau asal dapat uang. Bahkan sebuah kelompok pencopet, di mana teman saya menjadi anggotanya, berani-beraninya menolak saya. Kata mereka muka saya terlalu manis, sayang kalau nanti bonyok digebukin massa.
Padahal sejak hidup saya susah, siapa orang di rumah ini yang memperhatikan emak? Semua sibuk dengan mimpi masing-masing. Tak ada orang peduli saat emak seperti anak kecil menatap gerobak jajanan yang lewat depan rumah kami. Apa daya saya? Seratus perak pun saya tidak punya! Kadang saya merasa seperti orang baik-baik yang terpaksa mencuri karena tidak menemukan makanan. Polisi akan menangkap si pencuri, itu pun kalau si pencuri beruntung tidak keburu mati diinjak-injak warga.
Pada malam-malam menjelang akhir hidupnya, emak sering berdoa dalam kamarnya, sebuah doa yang bagi saya lebih mirip kegiatan untuk mengisi waktu luang karena tidak ada doa emak yang dikabulkan Tuhan. Emak sendiri yang mengatakannya.
“Mungkin di akhirat nanti baru doaku jadi kenyataan,” katanya menghibur diri.
“Buat apa? Kita butuh sekarang, bukan nanti!”
“Jangan begitu, nanti Tuhan marah padamu.”
Saat badan emak mendadak dingin beberapa hari lalu, saya mengiba pada ibu dan adik perempuan saya untuk membawa emak ke rumah sakit. Tapi mereka menolak. Kata mereka, paling dia masuk angin. Kasih balsam dan dikerok saja biar anginnya hilang. Eh, malah nyawa emak yang melayang. Saya menyesal sekali. Andai Tuhan memberi saya uang, setidaknya emak bisa mengembuskan nafas terakhirnya di kamar rumah sakit, bukan dalam sebuah kamar pengap bau kencing.
Orang-orang berdiri ketika pastur datang untuk memimpin misa. Pastur ini dikenal sangat ramah dan sering dipanggil bila ada umat yang meninggal. “Selamat siang,” katanya ceria seakan-akan mengunjungi sebuah pesta. “Bisa kita mulai sekarang? Sebentar lagi saya harus ke jemaat Santa Maria, di sana juga ada yang meninggal,” katanya.
Pastur pun memimpin misa dengan kecekatan seorang tukang. Dia menguasai bidangnya dengan sempurna. Setelah beberapa nyanyian dan doa, pastur berkata, “Silahkan pihak keluarga memberi kata perpisahan.” Ibu menunjuk adik ipar saya untuk mengucapkan rasa terima kasih pada pastur dan tamu-tamu yang sudi datang untuk melayat. Selanjutnya adik ipar saya membumbui kalimatnya dengan kata-kata bunga dan tentu saja sedikit linangan air mata waktu mengobral kebaikan emak semasa hidup.
Seseorang di antara pelayat memberi usulan. Saya di-minta untuk turut memberi kata perpisahan. Saya menolak! Untuk apa? Apa emak bisa hidup lagi kalau saya ucapkan kata mutiara? Pastur kemudian meminta kami bergantian memercikkan minyak wangi mengitari pinggiran peti mati. “Jangan sampai kena mayatnya,” bisik adik saya. Saya pandangi sepuasnya wajah emak. Saya tahu sebentar lagi peti akan ditutup dan saya tidak akan pernah melihatnya lagi.
Seorang perempuan setengah baya dengan pipi gembul dan bola mata besar menyentuh bahu saya. “Yang tabah ya, saya tahu kamu sayang sekali pada nenekmu.” Hah! Dia menyuruh saya tabah? Dia sendiri meratap-ratap waktu suaminya mati tiga tahun lalu.
Peti mati akhirnya ditutup. Keluarga saya meraung sedih persis seperti lolongan srigala didera sepi. Ayo menangis! Ini lomba untuk menunjukkan kepada pelayat siapa di antara kami yang paling sedih. Yang tidak sedih akan dieliminasi. Para pelayat membelalakkan mata memperhatikan kami. Saya memandang para pelayat seolah mereka sedang memegang telepon genggam di tangan masing-masing, dan sebentar lagi mereka akan mengirim pilihan, ketik reg spasi A untuk ibu, ketik reg spasi B untuk adik saya, ketik reg spasi C untuk saya dan seterusnya.
Peti emak diusung masuk ke dalam mobil jenazah. Emak sudah terkurung dalam peti mati yang gelap. Dan nanti saat peti mati itu dibenamkan ke dalam tanah, suasana pasti tambah senyap. Saya sedih saat ingat kaca mata emak lupa kami masukkan ke dalam peti mati.
***
Akulah kegelapan. Aku yang membawa manusia dari terang menuju gelap. Saat atma manusia aku ambil, aku membawanya melintasi dimensi di mana hanya ada kesunyian tanpa ruang dan waktu. Dalam tempat yang baru ini, ruang jadi tanpa batas dan waktu tak akan pernah bertepi. Tentu saja sebelum sampai ke tempat ini, atma kubawa menyeberangi sungai menuju pelangi. Aku bukan makhluk berhati dingin, maka kubiarkan atma melihat keindahan untuk terakhir kali.
Di tempat barunya yang beku, gelap, sunyi, lebar tak bertepi, atma kuintrograsi. Dia harus menjawab pertanyaanku. Akulah penjaga yang sangar, cepat naik darah dan suka membentak. Tak ada ampun bagi atma yang jahat. Tapi aku bisa selembut beludru. Atma yang baik akan kuninabobokan biar mengantuk dan terlelap. Kelak di hari penghabisan, aku meniup sangkakala. Atma-atma yang baik akan bangun dari tidur panjang dan ramai-ramai akan kuterbangkan menuju surga.
Aku membuka daftar panjang berisi catatan mengenai perempuan tua ini.
“Pekerjaan terakhir tidak ada, tempat tinggal terakhir ikut anak paling tua, hobi makan bakso tapi jarang bisa beli, cita-cita masa muda jadi istri orang kaya, mati karena stroke komplikasi kencing manis … heem … bla bla bla … bla bla bla … pernah nikah tiga kali, jarang berbuat dosa tapi pernah selingkuh.”
“Saya tidak pernah ….”
“Ini … tertulis di sini.”
““Ooh …”
“Ingat?”
“Samar-samar.”
Aku mencabut cambuk, lidah api berkobar sepanjang cambuk itu. Dia ketakutan. “Oke, oke, Kamu sudah tahu semua, untuk apa lagi bertanya,” katanya.
Seperti biasa, cukup satu dua pertanyaan saja. Aku dilarang bicara terlalu banyak dengan atma-atma yang kubawa kemari. Nasib sudah digariskan saat kucabut atma mereka. Sebenarnya formalitas belaka untuk mengingatkan mereka akan satu dua dosa atau kebaikan yang pernah mereka perbuat.
“Baik … begini … saya perempuan … kamu harus tahu perasaan perempuan,”  katanya mengiba. “Saya tidak semata-mata butuh cinta, saya harus memberi makan anak-anak, menyekolahkan mereka, menikahkan mereka, semua itu memerlukan uang.”
Aku kembali membuka catatan mengenai perempuan tua yang ternyata pandai bicara ini. Sesekali kulihat dia. Wajahnya tegang dan sepertinya mengharapkan belas kasihan.
“Setidaknya masih ada kebaikan. Saya memenuhi kewajiban membesarkan anak-anak,” katanya. “Lihatlah catatanmu. Masih banyak kebaikan tertulis di situ.”
Aku memeriksa catatanku lembar demi lembar. Dia pernah dua kali menolong tetangganya sampai mengorbankan diri sendiri. Tapi semua itu tidak cukup untuk menutupi dosa-dosanya. Aku merasa cukup bicara dengan perempuan ini. sekarang saatnya menjalankan tugas. Cambuk api kuacungkan tinggi-tinggi. Dia menjerit ketakutan. Aku menghampirinya.
“Saya mohon … beri saya kesempatan … biarkan saya hidup lagi atau barangkali saya bisa reinkarnasi. Saya janji akan jadi istri yang setia …”
Aku berhenti. Aku menatap tajam matanya.
“Tidakkah kamu percaya bahwa hukum pasti mengenai sasarannya?”.
“Tolong … ampuni saya ….”
“Maaf ... itu bukan wewenangku. Kamu pernah melakukan beberapa kebaikan. Percayalah, setelah hukuman ini selesai, kamu masih punya peluang untuk mencicipi surga.”
Aku kembali berjalan mendekatinya. Kali ini dia kelihatan pasrah.
***
Sejak kecil aku hidup dalam kesusahan. Bertahun-tahun bapak pergi meninggalkan keluarga untuk bekerja sebagai buruh di luar daerah. Hanya sesekali dia mengirimi kami uang. Ibu harus bekerja demi menafkahi anak-anaknya. Aku tidak pernah merasakan kasih sayang bapak. Ketika bapak akhirnya pulang, dia membawa anak dan istri baru. Ibu kecewa lalu bunuh diri. Sejak itu aku tidak percaya cinta.
Kematian ibu sepertinya malah meringankan beban bapak. Dia mengajak anak dan istri barunya pindah ke rumah kami. Semudah itu bapak melupakan ibu. Namun kejadian itu mengajarkan satu hal padaku: Ibu setia mencintai bapak dan mendapat maut sebagai balasannya.
Saat makhluk di depanku ini datang beberapa hari lalu, dia kelihatan sopan dan ramah sekali. “Pemuda yang baik,” bisikku. Aku merasa teduh melihat senyum mengembang di bibir tipisnya. Hidungnya mancung, Matanya bulat dengan bulu mata lentik dan alis tebal. Rambutnya hitam berminyak dan bergelombang seperti ombak. Bicaranya mantap serta bergema seperti lonceng gereja.
“Ada perlu apa?” tanyaku ketika itu.
“Aku datang untuk menjemputmu,” jawabnya.
“Bisakah lain kali saja, saya masih punya banyak harapan semu. Saya ingin buka usaha, mungkin warung makan atau sejenisnya..”
“Bukan aku yang mengatur jadwal penjemputan. Aku cuma menjalankan perintah.”
“Tidak bisakah ada keringanan, dispensasi, peninjauan ulang, oh sekarang kan akhir tahun, seharusnya ada diskon besar-besaran?”
“Benar-benar hal itu di luar wewenangku.”
“Tapi … terlalu cepat kamu datang ….”
“Lihatlah dirimu sekarang. Kamu tergolek tanpa daya. Terbaring koma tanpa bantuan alat medis sama sekali. Tidak ada perhatian dari keluargamu. Mereka mengharapkan kamu mati. Marilah … ikut aku.”
Dia menjulurkan tangannya. Aku menyambutnya. Jemarinya lembut dan dingin seperti bunga es.
Dia menarikku pelan, untuk sesaat aku terpesona.
“Saya mohon, beri sedikit waktu lagi,” kataku.
 “Sudahlah … mari kita akhiri omong kosong ini.” Dia menjulurkan tangannya kembali. “Tidakkah kamu ingin melihat surga?”
Surga? Aku memandang ke sekeliling kamar. Tidak ada apa-apa di kamar kecil ini selain keputusasaan dan keruwetan hidup. Apa aku layak menghuni surga? Sepertinya dia tahu pikiranku.
“Setiap manusia akan ditimbang kebaikannya. Bila kebaikannya lebih banyak dibanding kejahatan, maka dia pantas menikmati surga,” katanya.
Aku berusaha keras mengingat seluruh kebaikanku lalu kubandingkan dengan kejahatan yang kulakukan. Bila kebaikanku lebih banyak, kupikir tak ada salahnya mengikuti ajakannya. Bila sebaliknya, mungkin aku bisa bernegosiasi dengannya untuk memberiku sedikit keringanan.
“Bagaimana?” Dia bertanya lembut.
“Saya ragu … apa saya layak menghuni surga?”
“Kamu tidak akan pernah tahu … kamu harus ditimbang dulu.”
“Menurutmu apa kebaikan saya lebih banyak dari kejahatan yang saya lakukan? Sepertinya kamu makhluk cerdas, kamu pasti tahu jawabannya.”
“Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Itu di luar wewenangku. Tugasku saat ini hanya menjemputmu. Lagipula aku tidak tahu latar belakangmu sebelum kubuka catatan mengenai dirimu.”
“Mana catatan itu, bisakah kita baca bersama? Saya tidak ingin salah mengambil keputusan.”
“Maaf! Itu menyalahi prosedur!”
Aku benar-benar bingung. Aku sudah tua … kalau pun masih ada mimpiku yang jadi kenyataan, kupikir tak akan lama waktu tersisa bagiku untuk menikmati impian itu. Hhm!
“Marilah … mungkin kamu punya harapan untuk menghuni surga.” Dia menyentuh jemariku. Kupandang wajahnya. Dia tersenyum. Jemarinya yang dingin perlahan berubah hangat. “Jangan takut, aku akan menjagamu.”
Dia menarikku pergi. Samar-samar aku sempat melihat jasadku ditangisi oleh anak dan cucu. Kasihan … mereka bisa sedih juga rupanya… tapi aku ingin masuk surga. Setelah bertahun-tahun menderita, aku pantas mendapat kebahagiaan.
Ah, saudara … begitu banyak kisah ingin kuceritakan pada anda, tapi apa yang bisa kukatakan lagi? Dia sudah mengangkat tinggi cambuk apinya.
***
 Pernah seorang teman berkata, “Kalau jenazah sedang dimandikan, ambil air bekas memandikan jenazah itu, kemudian balurkan ke seluruh tubuh, dari rambut hingga kaki, makin basah tentu makin baik. Lalu gosokkan tanganmu ke pantat penggorengan bekas yang belum dicuci. Lihatlah, dengan segera kamu dapat melihat begitu banyak arwah mengelilingi jenazah itu.”
Seorang teman yang lain juga pernah bercerita, katanya saat seseorang menikah, arwah para leluhur dari orang yang menikah itu akan datang untuk mengucapkan selamat. Demikian juga ketika seseorang meninggal dan dikuburkan, para leluhur akan datang kembali seolah ingin mengucapkan selamat datang pada keturunan mereka yang baru meninggal itu. Tentunya arwah-arwah itu tidak bisa dilihat dengan kasat mata. Tapi pada beberapa orang yang peka perasaannya, kehadiran mereka samar-samar bisa dirasa.
Saat peti mati emak dimasukkan ke liang lahat, aku teringat akan cerita-cerita tadi. Aku harap arwah emak bisa hadir saat aku menikah suatu hari nanti, dan dia akan datang lagi saat aku mati. Aku memandang ke sekeliling liang lahat. Apa orang tua emak hadir di situ, apa kakek neneknya ada? Apa mereka terganggu dengan bunga-bunga yang kami tabur ke peti mati?
 Seorang lelaki yang dituakan di gereja kami memimpin doa, memohon agar dosa-dosa emak diampuni Tuhan, dan agar kami yang ditinggalkan diberi kekuatan untuk menerima takdir yang sudah digariskan. “Dia orang baik, Tuhan pasti mengampuninya,” katanya di akhir doa. Kemudian lelaki itu memberi isyarat pada penggali kubur untuk menuntaskan pekerjaan terakhir mereka. Bongkahan tanah bercampur butiran pasir mulai dijatuhkan. Pelan-pelan peti mati emak terkubur dalam tanah.
Apa mau dikata? Akhir hidupnya berujung di situ saja. Emak sedikit beruntung karena punya keluarga yang akan mengenangnya. Ya, kami akan mengenangnya sampai tiba giliran kami untuk dikenang oleh generasi berikutnya, begitu seterusnya sampai yang tersisa paling-paling beberapa lembar foto tua, dan akhirnya akan tiba suatu masa di mana tidak ada lagi orang yang sanggup menjelaskan siapa-siapa yang terekam dalam foto itu. (*)

Eka Maryono
Lahir di Jakarta, 2 Maret 1974. Pendidikan terakhirnya ditempuh di jurusan Sastra Jepang Universitas Nasional (1991-1997). Aktif sebagai penggiat dalam komunitas Studi Sastra Jakarta. Bukunya yang sudah terbit “Etalase Sunyi” (Kumpulan Puisi Kamar, Yayasan Pintar, 2002).