Sabtu, 17 Maret 2012

GATUTKACA GUGAT

*) Dimuat di Harian Radar Surabaya, Minggu, 18 Maret 2012

Dunia pewayangan gempar. Gatutkaca keranjingan naik pesawat terbang. Akibatnya  para dewa murka. Mereka menuduh Gatutkaca merusak pakem kahyangan. Demonstrasi pun berlangsung di mana-mana. Dewa-dewa menuntut Gatutkaca secepatnya diadili. Berbagai spanduk berisi hujatan digelar. Isinya macam-macam. Ada yang menuduh Gatutkaca ingin merongrong kewibawaan dewa-dewa, ada yang berisi sindiran Gatutkaca lupa diri setelah menjadi raja, malah ada spanduk berisi tudingan Gatutkaca antek negara asing.
Sementara itu, di Kahyangan Jonggring Saloka, Batara Guru yang bijaksana duduk di singgasana sambil memijat-mijat keningnya. Migrainnya kambuh mendengar teriakan dewa-dewa di halaman istana. Batara Guru memahami benar karmapala Gatutkaca. Saat Perang Baratayuda di Kurusetra nanti, si urat kawat tulang besi itu ditakdirkan mati terpanah senjata Konta milik Adipati Karna. Tapi bagaimana hal itu bisa terjadi, jika Gatutkaca lebih senang naik pesawat terbang?
Batara Guru menarik nafas panjang. Wajahnya kemerahan. Migrainnya tambah parah. Darah tingginya pasti sedang kumat. 
***
Di Kerajaan Pringgandani, sebuah negeri berkabut, Gatutkaca meremas hancur surat panggilan dari Batara Guru yang memintanya datang ke pengadilan para dewa. Gatutkaca merasa gusar dan benar-benar marah. Matanya mendelik. Giginya gemeretak. Dia tahu lambat laun dirinya pasti akan ditumbalkan demi menggenapi skenario dewata.
Dia merasa diperlakukan tidak adil. Tokoh-tokoh wayang seperti dirinya dipaksa hidup di masa lalu dan tidak boleh menikmati kesenangan masa kini. Semua yang serba modern dilarang. Dia hanya bisa menonton sendratari di pendopo istana, padahal ingin sekali dia menyaksikan konser-konser musik kelas dunia. Dia dilarang keras menonton televisi, mendengar radio, diharamkan pergi ke bioskop, naik mobil, motor, bahkan naik sepeda pun tidak boleh. Ke mana-mana dia harus jalan kaki atau terbang.
Padahal sejak lama Gatutkaca ingin menanggalkan kotang Antrakusuma dan caping Basunanda yang dapat membuatnya terbang tanpa sayap dan tak akan kebasahan bila hujan. Barang-barang itu dirasanya sudah ketinggalan zaman. Lagipula terbang dengan kotang membuat dia pegal dan masuk angin. Dia bosan minum jamu pegal linu  setiap kali turun dari angkasa. Punggungnya saja sampai lecet-lecet akibat keseringan kerokan.
Lalu apa urusan dirinya dengan Kurawa? Tiba-tiba saja dia disuruh membunuhi Kurawa di Kurusetra. Dan yang lebih tidak mengenakkan, sudah capek-capek perang, dirinya harus mati pula karena senjata Konta. Kalau boleh memilih, Gatutkaca ingin berdamai saja dengan Kurawa, toh mereka bersaudara. Maka Gatutkaca bertekad akan melawan takdir. Keran kebebasan akan dibuka. Rakyat boleh memiliki apa saja yang mereka suka. Mau punya motor atau mobil ya silahkan saja, mau bisnis apa saja juga boleh. Mau jadi dokter, insinyur, polisi, tukang palak, debt collector, terserahlah yang penting jangan ngusilin sang raja.
Besoknya, Gatutkaca juga muncul dengan penampilan baru: Setelan jas, lengkap dengan dasi. Sebuah tas koper menemani kemana pun dia pergi. Gatutkaca tak lagi terlihat seperti seorang kesatria, dia lebih mirip eksekutif perkantoran, dan memang dia berencana untuk terjun dalam bisnis penerbangan. Pengalaman ribuan tahun sebagai penerbang andalan Pandawa, membuatnya yakin dapat sukses di bisnis tersebut.
Dalam beberapa tahun saja, Gatutkaca menjelma jadi pengusaha sukses. Penghasilan sebagai pengusaha melebihi pendapatannya sebagai raja. Sekarang dia hidup mewah bergelimangan harta. Namun di tengah kesuksesannya, Gatutkaca selalu merasa hampa dan gelisah. Nalurinya sebagai penerbang ternyata tidak bisa hilang. Dia ingin membeli pesawat terbang pribadi dan menerbangkannya dengan tangannya sendiri. Maka dia pun membeli sebuah pesawat berukuran tambun.
“Wajar dong seorang raja memiliki pesawat pribadi? Apalagi ukuran pesawat itu sesuai dengan besar badan beliau. Lagipula punya pesawat sendiri lebih hemat lho ketimbang menyewa,” ujar juru bicara keistanaan ketika ditanya wartawan.
Ketika pesawat itu akhirnya tiba, Gatutkaca segera menggelar acara selamatan. Body pesawat  disiram air kembang, tak lupa puja mantra pun dirapalkan. Keluarga Pandawa berbondong-bondong menghadiri selamatan tersebut. Mereka bangga karena Gatutkaca adalah Pandawa pertama yang sukses sebagai raja, makmur sebagai pengusaha, dan sekarang jadi raja pertama yang punya pesawat keistanaan.
“Selamat ya,” kata Yudhistira.
“Selamat, selamat!” seru Arjuna.
“Wah, njenengan hebat betul, hehehe,” ujar Nakula dan Sadewa berbarengan.
Tak ketinggalan istri-istri dan anak-anak Gatutkaca memberi selamat, disusul oleh Bimasena dan Dewi Arimbi yang datang agak terlambat. Belum terhitung ucapan-ucapan selamat dari bala Pandawa lainnya.
Malamnya pendopo istana Pringgandani dipenuhi karangan bunga dari berbagai kalangan. Bunga-bunga tersebut menambah sesak pendopo yang telah dipenuhi tamu-tamu undangan. Sekelompok anak muda yang sedang naik daun dan disebut-sebut sebagai boy band idola remaja tampak berjingkrak-jingkrak di atas panggung. Berbagai hidangan ala manca negara terhidang. Benar-benar pesta syukuran yang luar biasa meriahnya. 
“Bagaimana anda menutupi biaya operasional pesawat ini?” tanya seorang wartawan.
“Ah, gampang itu, kita bisa mencabut beberapa subsidi untuk rakyat, misalnya kita naikkan tarif listrik atau harga  BBM,” jawab Gatutkaca mantap. 
“Wah, luar biasa, hebat, sungguh anda seorang visioner.”
“Oh, tidak juga, saya cuma berusaha mewujudkan mimpi.” 
Tamu-tamu yang lain bertepuk tangan. Mereka kagum dengan keberanian Gatutkaca menentang takdir yang sudah digariskan dewata. “Hebat betul, seharusnya kita juga seperti dia,” bisik pentolan Kurawa, Duryodana, kepada adik-adiknya yang langsung manggut-manggut tanda setuju.
Nggih kakangmas, mungkin ada baiknya jika kita sama-sama menentang takdir Baratayuda,” ujar Dursasana.
“Benar, lebih menguntungkan jika kita bersahabat dengan Pandawa,” jawab Duryodana.
***
Kesuksesan Gatutkaca membuat penghuni kahyangan terpecah belah. Sebagian kembali menyuarakan tuntutan agar Gatutkaca diadili, tapi sebagian lagi malah ikut-ikutan meniru Gatutkaca. Ramai-ramai mereka hijrah ke bumi. Sebagian pergi menemui Gatutkaca dan hidup di alam yang samar-samar di Pringgandani. Sebagian lagi terang-terangan menetap di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Bali.
Mereka pun belajar menjadi manusia, makan makanan yang dimakan manusia, berpakaian seperti manusia, berjalan seperti manusia, dan berpikir seperti manusia. Ada yang buka usaha perhotelan, restoran, warung makan, panti pijat, ketok magic, bengkel motor hingga bengkel las. Ada yang meniti karir menjadi pegawai negeri atau karyawan swasta. Ada pula yang bekerja sebagai wartawan, guru, dosen, tentara, tukang becak, tukang ojek, sopir mikrolet, sales, cerpenis, malah ada yang jadi copet.
Sementara itu, Batara Guru bukannya tidak memahami persoalan yang terjadi. Sejak Gatutkaca mengingkari panggilan untuk datang ke pengadilan para dewa, Batara Guru tahu wibawa kahyangan sudah jatuh. Hanya saja dia merasa harus ekstra hati-hati dalam menangani masalah ini. Bagaimanapun juga Gatutkaca bukan orang biasa, dia dianugerahi kekuatan yang dewa-dewa pun belum tentu sanggup menandingi. Tapi sekarang kelakuan Gatutkaca sudah kelewatan. Tatanan yang ada diporak-porandakan. Takdir diinjak-injak. Dan yang lebih parah, dewa-dewa banyak yang desersi gara-gara mengikuti jejaknya.   
Batara Guru gelisah. Seperti biasa kepalanya cenat-cenut.  Dia sadar sudah saatnya kekisruhan ini diakhiri. Sebagai pemimpin dia tidak boleh loyo lagi. Hanya ketegasan pemimpin yang dapat membuat sebuah negara berjalan di atas rel yang sudah ditentukan. Maka Batara Guru memutuskan untuk mempercepat Baratayuda. Sekejap kemudian langit berubah menjadi gelap. Padang Kurusetra tiba-tiba terhampar. Udara dingin. Sunyi seperti dalam ruang hampa.
Sebentar lagi takdir akan datang dan dengan tepat akan mengenai sasarannya. Tapi Pandawa dan Kurawa yang seharusnya berperang malah berada dalam satu barisan. Dewa-dewa yang desersi pun berada di tengah mereka. Gerombolan pemberontak ini kelihatan seram dalam balutan pakaian loreng hijau. Senapan M-16 dipegang erat. Pisau komando terselip di pinggang. Beberapa buah granat terjuntai di dada. Ratusan meriam anti serangan udara sengaja diarahkan ke langit luas, siap menghajar dewa mana saja yang berani turun ke dunia. 
Batara Guru sangat murka! Dikirimnya ribuan dewa yang masih setia padanya untuk menggempur tokoh-tokoh wayang yang tingkah lakunya sudah melampaui batas itu. Perang Baratayuda versi milenium pun meletus dengan dahsyat. Tanpa aturan. Tanpa tata krama. Tanpa pakem sebagaimana yang sudah digariskan ribuan tahun silam. Banyak pemberontak yang mati terkena hujan panah dari angkasa, sementara dewa-dewa pun banyak yang tewas terkena siraman peluru kaliber 88 mm dari meriam anti serangan udara, sebagian lagi mati terkena peluru kendali jarak jauh. 
Pada malam ke-13, kesedihan dan kemarahan bercampur dengan darah dan bangkai yang berserakan di padang Kurusetra. Kedua belah pihak sudah sama-sama lelah. Maka Gatutkaca memutuskan untuk menggunakan senjata pamungkas demi mempercepat berakhirnya perang. Keesokan paginya, di hari ke-14, Gatutkaca menerbangkan pesawat tempur F-35 Lightning II yang terkenal tangguh untuk pertempuran jarak dekat. Gatutkaca seperti kesetanan, menembaki siapa saja yang ada di depannya. Ratusan dewa mati dalam sekejap, dan ratusan lagi seolah sedang menunggu giliran untuk menemui ajal mereka.
Batara Guru merinding melihat pemandangan itu. Batara Guru terpaksa turun tangan. Dengan menunggang Lembu Andini, Batara Guru berjumpalitan menghindari kejaran hujan peluru sebelum akhirnya berhasil mencapai bumi. Pada sebuah kesempatan, dilihatnya Adipati Karna sedang sibuk mengangkat roda panser yang amblas ke dalam tanah. Di saat Karna sedang lengah itulah, Batara Guru merampas senjata Konta dan buru-buru melesat ke udara sebelum Karna sempat meneriakinya jambret.
Tanpa menyia-nyiakan waktu, Batara Guru melemparkan Konta ke arah Gatutkaca. Senjata Konta mengejar buruannya secepat rudal pencari panas. Hanya dalam hitungan detik, suara menggelegar terdengar ketika pesawat Gatutkaca meledak dihantam Konta. Untungnya Gatutkaca sempat menekan tombol kursi pelontar. Tapi parasut di kursi itu gagal mengembang. Tubuh Gatutkaca pun meluncur deras ke bumi. Gatutkaca menjerit. Dia ingat kotang Antrakusuma yang dapat membuatnya terbang tanpa sayap. Bertahun-tahun lalu, ketika dia mulai belajar menerbangkan pesawat, kotang itu dibuangnya ke tempat sampah.
Perang Baratayuda berakhir tiga hari kemudian. Masing-masing pihak mendapatkan karmapalanya. Batara Guru bersyukur kekacauan sudah berakhir di dunia.
Bertahun-tahun kemudian, dalam penjara Kahyangan, Gatutkaca sibuk bekerja. Jemari tangan kanannya memencet-mencet tombol notebook, sementara tangan kirinya mendekatkan ponsel ke telinga. Berkat kelihaian dan lobi-lobi tingkat atasnya, dia masih bisa mengendalikan roda bisnis dan kerajaan dari balik jeruji penjara. (*)

2 komentar:

  1. wah, hebat tulisannya bisa masuk koran.. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. halo bung tama, saya masih biasa2 aja kok, tapi makasih ya atas kehadirannya :)

      Hapus