Minggu, 13 Februari 2011

HADIAH ULANG TAHUN


*Dimuat di Harian Serambi Indonesia (terbitan Aceh)
  Minggu, 13 Februari 2011

Sepanjang rel kereta itu adalah daerah paling kumuh di Jakarta. Rumah-rumahnya berimpitan dengan masing-masing penghuni berjejalan di setiap rumah, seperti ikan dalam kaleng sardin. Pantas saban hari, orang-orang malang yang mendelik bila disebut miskin itu lebih senang keluyuran. Mungkin mereka sengaja kabur dari pengapnya kamar atau sekadar menghibur diri, bermimpi jadi anak angin yang bebas pergi ke mana pun mereka suka. 

“Waktu kecil aku selalu ingin jadi angin.”

“Dan lihat nasibmu sekarang, kamu cuma jadi kentut!”

Lis tertawa kecil mendengar ejekan Mimin. Kemudian ia mencemplungkan baju terakhir yang baru disikatnya ke dalam ember bilasan. Kini giliran Mimin yang akan membilas dan menjemur pakaian-pakaian itu.

“Nih!” Lis memberikan Rp 10.000 kepada Mimin. Sesuai perjanjian, Mimin dapat bagian dari honor mencuci di rumah Mandor Katma. “Apa enaknya jadi angin?” tanya Mimin sambil memasukkan uang ke balik kutang. 

Lis tak menjawab. Ia mengangkat bahu lalu melengos pergi. Setiap hari Lis mencuci pakaian milik tetangga, yang malas dan kebetulan sedang kelebihan uang. Tapi penghasilan sebagai babu cuci hanya cukup untuk makan, bahkan tak pernah lebih meski sekadar buat jajan anak laki-lakinya yang sering mengigau punya sepeda. Barulah sejak mencuci di rumah Mandor Katma, ia bisa  bernafas lega. Duda tua itu selalu memberi upah berlipat ganda dibanding yang biasa ia terima dari para tetangga, sampai-sampai ia tak sayang berbagi upah dengan Mimin, asal temannya itu mau membantunya mencuci.

Kini Lis merebahkan tubuhnya di atas selembar kasur tipis berdebu. Bau apek merayapi hidungnya seperti hujan abu yang samar. Sejak pulang dari rumah Mandor Katma siang tadi, ia tidur-tiduran saja. Tak ada hal lain yang dikerjakannya. 

Sejak kemarin malam, punggungnya dijalari rasa pegal. Ia sadar tubuhnya perlahan dimakan usia. Ia tak lagi sekuat dulu. Ia melenguh pelan. Terbayang di benaknya masa-masa ketika suaminya masih hidup. Dulu, ia tak perlu susah payah mencucikan pakaian orang lain jika hanya untuk sekadar makan dan bayar kontrak rumah. 

Lis menggaruk punggungnya yang gatal karena bersentuhan dengan kain seprei kumal berlubang-lubang yang jarang dicuci. Ia malas mencuci seprei itu karena di seprei itulah dia dan suaminya terakhir bercumbu. Ia takut aroma suaminya akan hilang bila seprei itu dicuci. Menempelkan tubuh di seprei itu seolah mendekap suaminya.  Membuat dirinya tak merasa kesepian.

Bola mata Lis bergeser ke sebuah foto yang tergantung di dinding. Foto itu merekam banyak kenangan yang tak pernah pudar, meski laki-laki dalam foto itu sudah lama mati digilas mobil tinja. Sebenarnya ia tak ingin terus-terusan mengingat laki-laki itu, tapi semakin keras ia berusaha melupakan, malah semakin banyak kenangan menyergapnya. Ya, kenangan itu mengucur deras dalam pikirannya dan selalu punya cara untuk kembali meski berulangkali diusir pergi. Ia sadar dirinya terjebak di antara dua hal: ia ingin melupakan suaminya, tapi di sisi lain ia tak ingin ingatannya hilang pada  laki-laki itu. 

Lis memejamkan mata, membayangkan suaminya pulang sehabis berdagang buah lontar. Biasanya suaminya langsung berganti baju. Tubuh kekar suaminya tak pernah luput dari pandangannya. Dan ia akan merajuk manja. Dada Lis bergemuruh. Matahari di luar semakin panas.
 

Pintu kamar mendadak dibuka. Lis tersentak.

“Mak!”

“Apa?”

“Mana hadiah ulang tahunnya?”

“Ulang tahun? Ulang tahunnya kan minggu depan?”

“Uya mau sekarang!”

“Mak belum punya uang.”

“Uya pengen sepeda gunung! Temen-temen semua udah punya!”

“Nanti mak beli, kalau mak ada uang.”

“Ah! Paling-paling mak bo’ong lagi! Tahun kemaren mak janji mau beli kuda, mana?

“Sabar, mak cari uang dulu.”

“Mak pelit! Mak pasti bo’ong lagi!”

Pintu dibanting. Anaknya lari ke luar rumah.

Hati Lis sedih sekali. Setelah kematian suaminya tiga tahun silam, setiap tahun ia berjanji membelikan hadiah ulang tahun buat anaknya, tapi tak satu pun janji itu bisa ia penuhi. Baru belakangan ini ia memegang uang lumayan banyak setelah diberi oleh Mandor Katma. Tapi sebanyak-banyaknya uang dari Mandor Katma, tetap saja tidak cukup untuk membeli sepeda gunung, kecuali bila ia mau ditiduri.

Lis kembali memejamkan mata. Tapi bukan bayangan suaminya yang muncul, melainkan Mandor Katma. Dua bulan lalu, mandor proyek itu mulai merayunya.

“Jangan pulang dulu,” bisik Mandor Katma.

“Kenapa?”

Mandor Katma mengepalkan lembaran uang, lalu berusaha mencium pipi perempuan itu.

“Pak!”

“Ssst! Jangan berisik! Nanti didengar Mimin!”

“Saya mau pulang! Kerjaan saya sudah selesai!”

“Alaaah! Sini,  cium dulu!”

“Pak! Nanti saya teriak, nih?”

“Eh, ya sudah, kamu boleh pulang.”

Lis melihat lembaran uang dalam tangannya. Ia menyodorkan uang itu kembali pada Mandor Katma. “Nggak usah! Uang itu buat kamu!”

***

Lis beranjak dari kasur. Ia mengambil foto suaminya. Perasaannya bergemuruh saat membelai foto itu. Ia ingat masa-masa pacaran dengan suaminya. Mereka sering bercengkrama pada malam-malam senyap di sudut tergelap dari alun-alun utara kota. Saat langit sepi itulah, laki-laki kekasihnya akan membacakan sebuah sajak pendek yang miris. Dari bibirnya yang tebal bertumpahan kata-kata yang entah berarti apa. Tapi ia mengerti maksudnya, itu tentang sekerat cinta yang membuat lelaki itu mabuk dan memuntahkan kata tak berkesudahan. Lelaki itu mencintainya, dan berjanji akan setia selamanya, dan hanya meminta ia melakukan hal yang sama sebagai imbalannya.

“Benar kamu akan setia selamanya?” tanya Lis.

“Ya!” jawab laki-laki itu.

“Gombal!”

“Kamu sendiri apa bisa menjaga cinta?”

Laki-laki kekasihnya lantas mengisahkan dongeng tentang putri raja yang menunggu cinta di sebuah menara. Sebuah cerita yang pernah ditontonnya di layar kaca dan sekarang diceritakan lagi sekenanya demi menarik hati seorang perempuan.

Mengenang semua itu hati Lis menjadi bimbang. Sebesar apa pun cinta yang ia berikan pada suaminya, laki-laki itu tak akan pernah hidup lagi. Tapi anaknya akan sedih bila tahun ini gagal mendapatkan hadiah.

Lamunan Lis buyar saat mendengar pintu rumahnya diketuk. Lis bergegas keluar kamar dan membuka pintu. Mandor Katma menerobos masuk. Matanya seperti pisau berkarat, tajam menatap Lis dengan penuh birahi.   

“Saya cuma mampir, kebetulan lewat. Sudah makan?” tanya Mandor Katma.

“Belum! Kenapa?” balas Lis.

“Ini, saya belikan makanan.” 

Batin Lis gelisah. Lututnya gemetar. Lantai yang dia injak seolah bergetar karena gempa. “Pak,” seru Lis lirih. “Saya butuh uang untuk beli sepeda buat anak saya.”

Mandor Katma menangkap sinyal kekalahan dari bola mata Lis. Ia sudah memberi banyak uang. Ia merasa punya hak atas perempuan itu. Pinggul Lis dipeluknya. “Gampang, uang bukan masalah,” bisiknya.

Mandor Katma membiarkan dirinya dibimbing oleh Lis ke dalam kamar. 

Selanjutnya dia dan Lis saling berpacu. Mandor Katma tak ingat apa-apa lagi.

Pintu kamar mendadak dibuka. 

“Mak!” 

Mandor Katma dan Lis terkejut. Mereka lupa mengunci pintu. Anak Lis menangis lalu kabur seperti biasa.

“Maaf, pak! Saya nggak bisa lagi.”

“Nggak apa-apa!”

Mandor Katma buru-buru mengenakan pakaian.

“Untung yang datang anak kamu. Coba kalau orang kampung. Habis kita!”

Mandor Katma membuka dompet dan mengambil beberapa lembar ratusan ribu. “Nih! Cukup buat beli sepeda. Kamu berutang pada saya. Kapan-kapan kita lanjutkan di rumah saya, di sana lebih aman.”

Mandor Katma buru-buru pergi. Lis menghitung uang, selembar demi selembar.

Sorenya, sebuah sepeda gunung menghiasi ruang tamu yang sumpek itu. Ia tersenyum membayangkan kegembiraan anaknya. Demi melihat hadiah ulang tahun itu, anaknya pasti lupa dengan kejadian tadi siang. Tapi sampai malam anaknya belum juga muncul. Ia mulai gelisah.

Pintu rumah tiba-tiba dibuka dari luar. Ia gembira mengira anaknya tiba. Namun yang muncul malah tetangganya, laki-laki paruh baya berwajah dingin. Tanpa basa-basi, tetangganya itu berkata, “Anak kamu mati. Kepalanya pecah kelindas metro mini.” (*)

* Eka Maryono lahir di Jakarta, 2 Maret 1974.  Pendidikan terakhirnya ditempuh di jurusan Sastra Jepang, Universitas Nasional (1991-1997). 

Rabu, 02 Februari 2011

RUMAH TERAKHIR


*) Dimuat di Harian Seputar Indonesia 2 Januari 2011
  
DIA bangun dengan firasat akan mati. Entah bagaimana perasaan itu muncul. Beberapa jam lalu dia masih berselimut gemuruh lantai diskotek sambil memeluk perempuan di sampingnya, yang selalu tertawa dalam kepura-puraan. Lewat tengah malam, sepanjang yang bisa diingatnya, mereka naik ke lantai tiga sebuah hotel bintang lima.
Pagi itu dia memandang jalan raya lewat jendela. Di bawah sana, mobil, motor, truk, bus kota, sepeda, orang-orang, semuanya bergerak dalam keheningan masing-masing. Lalu gerimis turun dengan ujung-ujung airnya menari-nari di jendela, persis lidah anak kecil menjilati kaca. Batinnya mendadak sunyi. Kemarin usianya genap tiga puluh delapan dan istrinya ingin membuat pesta. “Cuma kue tart dengan tiga puluh delapan batang lilin menyala di atasnya. Kau bisa menyebut keinginanmu sebelum meniup lilin-lilin itu,” bujuk istrinya.
Percakapan semacam itu selalu terulang setiap tahun dan pasti berlanjut di tahun-tahun mendatang sampai dia menyerah dan mengizinkan istrinya mengadakan pesta. Baginya, ulang tahun tidak seharusnya diperingati. Ulang tahun pertanda umur bertambah tua dan itu artinya ajal kian mendekat. Dia menarik nafas panjang hingga bergalon-galon udara berebutan masuk ke dalam paru-paru yang sejak tadi menciut seperti balon kempes.
Dia anak tunggal. Lima belas tahun silam dia dijodohkan dengan istrinya sekarang. Mereka menikah selang tiga bulan berkenalan. Ketika orang tuanya meninggal karena kecelakaan, keberadaan istrinya jadi begitu berarti. Tanpa istri dia sendirian di dunia ini. Tapi waktu berlalu tanpa meninggalkan jejak, kecuali secuil debu dalam ingatannya. Saat dia mulai mengenal dunia malam, dia kehilangan sebagian besar rasa cinta pada istrinya. Tapi kebenciannya pada pesta ulang tahun tidak pernah memudar sampai pagi itu, ketika dia teringat perkataan istrinya, “Dengan tiga puluh delapan batang lilin menyala di atasnya. Kau bisa menyebut keinginanmu sebelum meniup lilin-lilin itu.”
Malamnya dia meniup ketiga puluh delapan lilin itu.
“Apa harapanmu?”
 “Aku ingin panjang umur.”
“Cuma itu?”
“Ya!”
Istrinya diam. Dia pun diam. Setelah beberapa kalimat basa-basi yang membosankan, mereka memutuskan untuk tidur, meski malam belum terlalu larut.
Malam itu dia bermimpi. Tubuhnya melayang ke angkasa. Di bawahnya orang-orang berkerumun di tanah lapang sambil memanggil-manggil namanya. Dia ingin kembali mengikuti panggilan orang-orang itu, tapi tubuhnya semakin melayang tinggi. Dia sempat diombang-ambingkan angin sebelum tersedot dalam lingkaran cahaya.
Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah persawahan hijau. Dia melayang melewati petak- petak tegalan sawah. Dia memejamkan mata saat angin sejuk menerpa wajahnya. Sore itu langit begitu cerah. Sekumpulan burung terbang ke arah utara. Matanya memandang ke kejauhan, ke batas pandang sejauh ia bisa memandang. Dia benar-benar menikmati keheningan yang ada. Apa yang dilihat sesudahnya lebih menakjubkan lagi.
Selepas persawahan adalah hamparan rumpun bambu. Sebuah rumah mungil bercat putih berdiri di situ. Samar-samar didengarnya tawa anak-anak dari dalam rumah. Perlahan dia melayang turun mendekati jendela. Seorang lelaki setengah tua, dengan bayangan bilah-bilah bambu terpantul di keningnya seolah cermin yang memantulkan sisa-sisa cahaya senja, sedang mengisahkan sebuah cerita lucu. Anak-anak duduk bersila mengelilingi lelaki itu. Ia teringat akan dirinya semasa kecil, saat bapak ibunya masih ada. Bapaknya selalu meninabobokan dia dengan cerita-cerita indah. Kadang ada satu dua cerita terdengar lucu hingga membuatnya tertawa, seperti anak-anak di dalam rumah kecil di antara rumpun bambu itu. Setelah sekian waktu lewat, dia rindu menjadi anak-anak.
Setelah puas mendengarkan cerita, dia kembali naik ke angkasa. Sehabis perjalanan berkali-kali lipat panjang lapangan bola, dia melihat sebuah kolam yang airnya jernih seperti lapisan kaca. Dia juga melihat bidadari-bidadari turun menyusuri pelangi yang muncul dari balik kecipak air terjun. Dia ternganga melihat para bidadari satu per satu mulai melepas pakaian dan bersenda gurau saat kaki mereka menyentuh dasar kolam. Dia betah melihat mereka mandi, bahkan dia ingin memercikkan air ke punggung mereka yang serupa sayap kupu-kupu. Dan nanti seusai mereka mandi, dia ingin mengantar mereka pulang menaiki pelangi.
Dia terbangun dengan perasaan akan mati, tapi dia tidak merasa sepi. Kematian tidak seseram yang dibayangkannya. Alam kematian ternyata indah dan damai. Samar-samar dilihatnya jam dinding masih menunjukkan pukul 2 malam. Istrinya masih tidur lelap, seolah tak peduli apakah bumi akan berhenti berputar.
***
Paginya dia membaca koran. Matanya tertuju pada iklan, “Taman Memorial: Kami menawarkan tempat peristirahatan terakhir sesuai selera anda.” Tanpa membuang waktu dia bergegas ke sana. Seorang staf pemasaran menyambut kedatangannya.
“Selamat siang! Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya ingin minta penjelasan mengenai Taman Memorial.”
“O, dengan senang hati akan saya jelaskan.
Taman Memorial adalah area pemakaman yang ditata secara modern. Pemandangannya sangat indah, jauh dari kesan seram. Kami membangun tempat ini sesuai standar mutu yang ditetapkan kantor pusat di Amerika, tapi tentunya sudah kami sesuaikan dengan selera lokal.”
“Berapa biayanya?”
“Harganya bervariasi, mulai Rp6,5 juta sampai Rp150 juta, tergantung tipe yang Bapak pilih, apakah single, double, atau family? Single berukuran 5 x 2 meter, double berukuran 11 x 5 meter, dan family berukuran 36 x 24 meter. Masing-masing dibagi lagi dalam kelas ekonomi, deluxe dan super deluxe. Bahkan kami menyediakan kaveling dinasti yang luasnya antara 5 sampai 10 hektar. Cukup untuk anak cucu sampai puluhan generasi.”
“Apa kelebihan lainnya?”
“Pertama, lahan kuburan bisa menjadi hak milik. Bapak cukup membayar sekali untuk dana perawatan dan prasarana, selebihnya kami jamin tidak akan pernah ada biaya lagi. Kedua, penziarah tak perlu takut diganggu pengemis yang suka meminta uang. Ketiga, penziarah bisa sekaligus berwisata karena kami melengkapi tempat ini dengan taman bunga, danau buatan, kolam renang, kolam pemancingan, lapangan golf, restoran, hipermarket, arena permainan anak, dan tentu saja tempat-tempat ibadah. O ya, khusus muslim, arah makam menghadap kiblat.”
“Begitu ya? Bila saya jadi memesan, apa saya boleh menikmati seluruh fasilitas atau mungkin semua itu hanya untuk penziarah?”
“Bapak boleh menggunakan seluruh fasilitas yang ada. Jujur saja, kami malah menganjurkan pada setiap calon penghuni untuk sering-sering datang kemari, supaya akrab dengan lingkungan yang akan menjadi rumah terakhir mereka. Bagaimana jadi memesan tempat?
“Saya ingin lihat-lihat dulu.”
“Silakan, petugas kami siap mengantar Bapak.”
***
Suasana Taman Memorial benar-benar mirip tempat wisata. Setiap hari ratusan orang bercengkerama di tempat ini. Mereka adalah calon penghuni yang namanya terdaftar sebagai pemilik lahan kubur. Ada yang datang sendiri, ada yang datang bersama keluarga atau teman. Pada Sabtu dan Minggu serta pada hari-hari libur nasional pengunjung bisa berkali-kali lipat jumlahnya. Sejak dia dan istrinya terdaftar sebagai calon penghuni, mereka sudah berkali-kali datang kemari. Mereka senang berada di tempat ini. Di sini udaranya masih sejuk karena pohon-pohonnya rindang dan menjulang tinggi. Rumput dan bebungaan terawat dengan baik hingga aroma wewangian tercium sepanjang waktu. Jalan-jalannya lebar dan terjulur di mana-mana, mulus seperti kaki perempuan yang baru dicukur.
Senja itu, sambil mendayung  perahu di pinggiran danau, dia bercerita tentang mimpinya. Istrinya tersenyum geli membayangkan cerita itu. Katanya, dia pernah mimpi serupa kala remaja. Bedanya dia juga melihat burung-burung melayah dari balik gunung sebelum menghilang di ranting-ranting pohon dekat ladang jagung. “Mimpiku lebih lengkap,” kata istrinya.
Dia belum sempat membalas ucapan istrinya ketika terdengar nyanyian sendu dari dalam kapel di tepi danau. Para pelayat tampak memenuhi bangunan kecil yang diterangi lampu dan puluhan batang lilin yang menyala seperti kunang-kunang. Besok atau lusa, seseorang akan pindah ke rumah terakhirnya.
“Kau ingat harapanmu saat meniup lilin waktu itu? Kau tak mau mati cepat-cepat, mungkin nanti saat tubuhmu bungkuk, kulitmu keriput dan rambutmu putih. Kenapa sekarang kau kelihatan tenang? Kematian tak lagi menyeramkan atau mungkin kau merasa semua mimpimu sudah jadi kenyataan?”
“Aku tenang karena tak lagi menganggap kematian sebagai beban atau hukuman. Kematian adalah sesuatu yang harus ditunggu. Itu kewajiban kita sebagai manusia, menunggu.”
“Aku tidak mengerti. Kau bicara seolah mengerti filsafat saja. Dasar filsuf keranjang sampah.”
Dia menghapus keringat yang mengalir ke dagunya. Tangannya menunjuk burung-burung yang melintasi cakrawala.
“Kau lihat! Ke mana pun mereka pergi, pasti pulang ke sarang,” katanya.
“Hei, sekarang kau jadi penyair pula, atau mungkin pencipta lagu? Kata-kata seperti itu seharusnya ada dalam lagu picisan. Dengar ya, aku tahu yang hidup pasti akan mati, tapi burung terbang belum tentu balik ke sarang, siapa tahu ada pemburu menembak mereka.”
Dia tertawa. Istrinya tertawa. Saat bulan muncul selepas senja, mereka dikuasai gairah pengantin remaja. Air danau seolah samudra tanpa batas. Gema lagu sendu yang dilantunkan pelayat dari dalam kapel terdengar seperti desiran ombak, dan cahaya lilin bukan lagi seperti kunang-kunang, tapi menjelma bintang-bintang yang jaraknya jutaan kecepatan cahaya. Dia menciumi istrinya dengan dengus nafas seperti angin laut di musim kemarau. Telah lama dia menutup telinga pada gema cinta yang dilontarkan istrinya. Dan malam ini ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak beres. Dia kembali mencintai perempuan itu.
“Jangan di sini,” bisik istrinya.
Dia buru-buru mendayung perahu ke tepi. Perjalanan pulang kali ini adalah perjalanan terlamanya. Dia menyetir mobil dengan dada bergemuruh, seperti debaran yang dirasakan saat melewati malam pertama dengan perempuan itu. Sepanjang jalan sepi melewati jalur berliku, istrinya tak henti menebar senyum. Parasnya sangat cantik. Senyumnya membuat giginya yang putih menjadi lebih bercahaya. Tapi sebuah jip mendadak muncul dari belakang dan berhenti tepat di depan mobil mereka.Senyum istrinya tercekik. Dia menekan pedal rem sekencang-kencangnya.
Mobil berhenti setelah menabrak belakang jip. Dia belum sempat berpikir ketika empat lelaki turun dari jip, lalu menyeretnya keluar. Dia berusaha melawan, tapi pukulan keras melayang ke hidungnya. Ketika tubuhnya dinaikkan ke dalam jip, dia masih sempat mendengar istrinya menjerit minta tolong. Di dalam jip matanya terbelalak ketika menatap wajah seorang perempuan.
“Apa kabar? Maaf bila kita harus bertemu dalam keadaan seperti ini.”
Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi jari perempuan itu terlanjur menekan bibirnya.
“Ah, tenanglah sedikit. Aku hanya ingin kau mengembalikan mimpi-mimpi indahku. Bukankah kau yang memberiku mimpi-mimpi itu?”
Bertahun-tahun kemudian kerangka manusia ditemukan berserakan di tengah hutan. Tulang-tulang itu kemudian dikuburkan, tanpa nama, hanya sebongkah batu sebagai nisannya.***
Eka Maryono lahir di Jakarta, 2 Maret 1974.  Pendidikan terakhirnya ditempuh di jurusan Sastra Jepang, Universitas Nasional (1991–1997).  Pernah aktif sebagai peneliti dalam komunitas Studi Sastra Jakarta. Bukunya yang sudah terbit Etalase Sunyi (Kumpulan Puisi Kamar, Yayasan Pintar, 2002).