Senin, 27 Juni 2011

SENJA MAKIN PEKAT DI KAIRO



*) Dimuat di Harian Suara Pembaruan, Minggu, 26 Juni 2011

Suara merdu Ummi Kulsum lewat lagu Alf Leila We Leila mengiringi ratusan turis menuruni tangga kapal The Pharaoh setelah berjam-jam menghabiskan malam dengan berlayar membelah Sungai Nil. Aku menengok Bonang. Wajahnya kuyu. Sejak dulu dia tidak pernah kuat menahan kantuk.
     “He, cari sarapan dulu,” kataku.
     Mukanya mendadak ceria.
     “Di Pasar Kan El Khalili, ada gulai kambing yang enak,” katanya.
     Kami masuk ke dalam taksi. Sejurus kemudian kami tiba di Pasar Kan El Khalili. Pasar ini sangat dikenal di Kairo. Biasanya turis dibawa kemari untuk belanja guci, ukiran, gantungan kunci, sampai perhiasan emas dan perak. Letak pasar ini berdampingan dengan Masjid El Hussein dan Masjid Al Azhar yang berada di lingkungan kampus Al Azhar, tempat Bonang meneruskan kuliah S2-nya.
     Kami masuk ke sebuah restauran. Seorang pelayan berwajah Asia menghampiri kami. “Menu biasa,” kata Bonang. Pelayan itu senyum kemudian pergi.
     Bonang manggut-manggut sambil menyelipkan tusuk gigi ke sela bibirnya. Tusuk gigi itu kemudian digerak-gerakkan ke berbagai arah, sebuah kebiasaan yang dia lakukan sejak dulu saat menunggu pesanan tiba.
     Aku mengenalnya sejak sama-sama kuliah. Aku mengambil jurusan Filsafat Agama, sementara ia menempuh Studi Dakwah. Setelah lulus aku langsung menikah dan bekerja sebagai wartawan di sebuah majalah wanita. Adapun Bonang sempat kerja serabutan selama lima tahun sebelum akhirnya kuliah S2 atas bantuan kakaknya.
     Al Azhar cukup favorit bagi mahasiswa asal Indonesia. Di sini biaya kuliah relatif terjangkau dan biaya hidup sehari-hari masih tergolong murah. Cukup uang setara delapan ratus ribu rupiah untuk bertahan hidup selama sebulan. Biaya itu sudah termasuk sewa kamar.
     Pelayan datang membawa dua mangkuk gulai, dua potong roti ukuran besar, serta dua gelas kopi susu. Bonang langsung menyantap makanannya. Ia merobek roti lalu mencelupkannya ke kuah gulai. Sekejab keringat membasahi keningnya.
     Rasa gulai kambing ini mirip gulai kambing khas Indonesia, hanya saja sedikit lebih pedas, seperti kebanyakan merica, dan memakannya memang dengan roti, bukan nasi.
     Kulihat Bonang semangat sekali mengunyah sobekan roti terakhir. Keringat mengalir ke ujung hidungnya lalu masuk ke dalam mangkuk. Tapi ia tidak peduli. Kuah gulai bercampur keringat itu dihabiskannya tanpa sisa. Harus kuakui, nafsu makan laki-laki ini memang sebesar tubuhnya.
     “Kira-kira kapan istrimu melahirkan?” katanya sambil menyandarkan punggung ke kursi. Nafasnya agak terengah. Perang melawan kuah gulai membuatnya lelah. Sebatang rokok diselipkan ke bibirnya yang tebal.
     “Mungkin tiga minggu lagi,” kataku.
     “Anak pertama setelah bertahun berumah tangga … sebentar lagi kau jadi bapak. Lucu ya, rasanya baru kemarin kulihat kau menggoda cewek, tiba-tiba kau kawin dan sebentar lagi punya anak.” Dia tertawa, keras sekali. Entah apa yang lucu.
     “He, pelankan suaramu.”
     “Alaah! Santai sedikitlah, di sini bukan Jogja Bung.”
     Begitulah dia, kadang terkesan kurang punya perasaan, meski sebenarnya tidak begitu.
     “Kau sendiri kapan menikah?” tanyaku.
     Dia batuk-batuk. Wajahnya mendadak sendu. Aku menyesal melontarkan pertanyaan itu. Dulu kekasihnya pergi begitu saja demi menikahi laki-laki lain.
                                                                                             ***
     Tiga hari selanjutnya dia mengantarku ke mana-mana. Kebetulan dia sedang libur semester, dan aku diburu waktu untuk menyelesaikan tulisan tentang tempat-tempat wisata di Mesir. Aku harus buat tulisan sebanyak mungkin. Aku tak bisa bayangkan bagaimana raut redakturku bila aku pulang dengan satu dua tulisan saja.
     Hari ini kami mengunjungi Luxor untuk melihat pertunjukkan Sound & Light di depan kaki patung Sphinx. Kisah peninggalan masa lalu pada zaman Firaun diceritakan dengan indah melalui permainan sinar lampu dan suara narator.   Untuk menginjakkan kaki ke tempat ini kami menumpang pesawat terbang 50 menit dari Kairo.
     “Apa benar kau sering kemari?” bisikku di sela pertunjukkan.
     “Aku bohong, mana aku punya uang buat ongkosnya. Dari dulu aku ingin melihatnya. Untung kau datang.”
     Dia menyikut lenganku, kemudian dia menggaruk-garuk celana di sekitar selangkangannya.
     “He, jangan garuk-garuk begitu, malu dilihat orang.”
     “Ah! Peduli apa sama orang? Kalau gatal ya digaruk! Lagipula semua orang asyik nonton pertunjukkan ini. Kau boleh buang air di sini kalau mau, tak ada orang peduli.”
     Dia benar! Dengan harga tiket lumayan mahal, pengunjung pasti lebih senang memelototi pertunjukkan ketimbang memperhatikan orang lain. Tapi dia mungkin tak menyadari kalau sejak bertemu dengannya tiga hari lalu, aku perhatikan dia sering menggaruk selangkangannya. Mungkin dia sakit kurap atau sejenisnya.
     Usai pertunjukkan kami mencari hotel. Kami harus menginap di Luxor  karena jadwal penerbangan ke Kairo baru ada besok pagi. Malam itu, aku tidur nyenyak sekali.
     Paginya aku bangun dengan perasaan segar. Bonang masih meringkuk di balik selimut. Aku minum segelas air, menghabiskan sebatang rokok, kemudian masuk kamar mandi. Sungguh pagi yang indah, meski pandangan hanya sebatas tembok kamar.
     Sudah banyak bahan tulisan kukumpulkan, cukup untuk membuat beberapa artikel yang akan menyenangkan hati redakturku. Rencananya hari ini aku akan kembali ke Kairo, dan besok terbang ke Jakarta. Selamat tinggal Kairo, kota di mana setiap jengkal tanahnya mengisahkan sejarah, dan tentu saja selamat tinggal sahabatku Bonang. Tapi saat aku keluar kamar mandi, Bonang duduk lesu di tepi ranjang.
     “Habis mandi, kita langsung ke bandara,” kataku.
     Dia menatapku. Wajahnya pucat.
     “Kau kenapa? Sakit? ” tanyaku.
     Dia diam saja. Aku mendekat dan menyentuh keningnya.
     “Badanmu panas sekali, sebaiknya kita ke dokter.”
     “Nggak usah … paling-paling masuk angin.”
     “Terserahlah, tapi mandilah sana, pakai air hangatnya.”
     Dia melangkah lemah ke kamar mandi, dan di pagi itu juga, kami kembali ke Kairo. Tapi malamnya kondisi Bonang makin parah. Panasnya tambah tinggi dan dia menggigil hebat. Aku memapahnya ke dalam taksi. Sepanjang perjalanan tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dia terlalu lemah untuk bicara, bahkan untuk membuka mata. Badannya bergetar menahan dingin. Bertahun-tahun kenal, baru kali ini aku melihatnya sakit. Belum apa-apa, aku sudah merasa kehilangan.
     Setibanya di rumah sakit, aku langsung membawanya ke Emergency Room. Dokter memeriksa kondisinya dan mengatakan dia harus segera dirawat. Aku membayar uang muka pengobatan dengan uang yang seharusnya kupakai untuk pulang ke Jakarta. Malam itu aku sama sekali tak bisa memejamkan mata. Sakit apa temanku ini, kelihatannya serius sekali. Tapi besok paginya kondisi Bonang membaik dengan cepat. Panasnya turun dan dia tidak menggigil lagi.
Seorang dokter kemudian datang. Dokter ini bukan dokter yang kemarin kulihat. Dia membawa hasil tes. Dia bicara dalam bahasa Arab. Aku kurang mengerti apa yang dia katakan, tapi sesuatu mengenai celana.
     Dokter berusaha melepas celana Bonang, namun Bonang kelihatan malu. Dia menahan tangan dokter itu.
     “Jangan malu. Lepas saja kalau memang perlu. Mungkin dia mau periksa apa kau sudah disunat,” kataku bercanda.     Aku berharap ada tawa seperti biasa.
     Dokter kelihatan kesal dan sepertinya marah-marah. Bonang akhirnya menyerah dan membuka celana. Apa yang kulihat selanjutnya membuka tabir sebuah rahasia: Bonang sakit sifilis!
     Sore ini, ketika senja mulai datang, aku menggenggam erat jemari Bonang, seolah-olah dia kekasihku saja. Dia menangis sesenggukan, persis adegan dalam sinetron murahan.
     “Sudah berapa lama kau sakit?”
     “Apa bedanya lama atau baru?”
     “Aku tak habis pikir, kau bisa kena penyakit itu.”
     Dia diam. Aku tak mau memaksa. Bagaimana pun dia cuma manusia.
     “Kata dokter, kau harus dirawat dua hari lagi. Tapi jangan takut, aku akan menemanimu.”
     “Bukankah seharusnya hari ini kau pulang ke Jakarta?”
     “Nanti aku telpon kantor, kasih alasan masih cari bahan tulisan.”
     “Jangan … cari kerja susah … jangan buat kesalahan.”
     “Biar saja aku dipecat, toh demi kebaikan. Aku harus menjaga sahabatku.”
     “Jangan pikirkan aku. Pikirkan istrimu yang sedang hamil itu. Sebentar lagi kau jadi bapak, kau butuh kerja untuk menghidupi anak dan istri. Jangan korbankan mereka hanya demi menolongku. Oh, uangmu akan kuganti. Aku punya sedikit tabungan. Untuk biaya rumah sakit jangan kau pikirkan. Besok aku telpon kakakku. Dia pasti transfer uang.”
                                                                                      ***
     Aku berdiri di balkon lantai dua, depan kamar tempat Bonang dirawat. Dari sini aku bebas melihat cakrawala. Udara mulai dingin dan rambutku berkibar ditiup angin senja.  Kini aku sadar ada rahasia dalam diri setiap manusia. Siapa sangka dia bisa mengidap penyakit macam itu. Kasihan dia, andai dulu dia tidak ditinggal kekasihnya. Kadang sebuah kesalahan bisa mengubah jalan hidup seseorang. Aku hampir menangis saat ingat ucapannya tadi, ”Sebentar lagi kau jadi bapak, kau butuh kerja untuk menghidupi anak dan istri.”  Sebenarnya, aku juga menyimpan secuil rahasia.
     Empat tahun setelah menikah, istriku belum juga hamil. Aku mulai gelisah, apa dia tidak sanggup memberiku anak atau jangan-jangan aku yang mandul? Tanpa sepengetahuan istriku, aku memeriksakan diri ke dokter. Hasilnya aku divonis mandul. Kenyataan itu tidak pernah kuutarakan pada istriku. Aku malu mengakui kelemahanku.
     Ketika istriku akhirnya hamil, dengan wajah riang dia kabarkan kehamilannya. “Akhirnya aku bisa memberimu keturunan,” katanya manja. Aku senyum dan mencium pipinya. Malam itu dia memelukku erat sekali.
     Sekarang apa yang harus kulakukan? Mendesaknya agar mengakui siapa laki-laki yang telah menghamilinya...? Tapi aku berpikir lebih baik tetap mengubur rahasia kelam ini, asal aku tak kehilangan perempuan itu.
     Aku menghirup nafas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan ke langit senja. Semoga angin bawa deritaku ke batas cakrawala. Udara makin dingin dan hari makin gelap. Aku mengintip ke celah jendela kamar. Bonang tidur dengan pulas. Dengkurnya mengembara dalam senja yang makin pekat …. ***  

Eka Maryono
Lahir di Jakarta, 2 Maret 1974. Pendidikan terakhirnya ditempuh di jurusan Sastra Jepang Universitas Nasional (1991-1997). Pernah aktif sebagai peneliti dalam komunitas Studi Sastra Jakarta. Bukunya yang sudah terbit “Etalase Sunyi” (Kumpulan Puisi Kamar, Yayasan Pintar, 2002). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar