Minggu, 10 Juli 2011

BATU


*) Dimuat di Harian  Republika, Minggu, 10 Juli 2011

Sebuah batu besar tiba-tiba muncul di tengah sawah. Sekilas batu ini nampak biasa saja dan mirip batu-batu di perbukitan. Namun karena kemunculannya yang mendadak, warga jadi heboh dan percaya batu itu adalah batu ajaib.
     “Ini namanya batu tiban!”
     “Munculnya saja mendadak!”
     “Jangan-jangan batu keramat!”
     “Pasti ada penunggunya!”
     Begitulah. Semua warga desa mengerumuni batu yang mendadak muncul di sawah milik Karto. Mereka takjub, tak habis pikir, bagaimana mungkin batu sebesar kerbau tiba-tiba bisa ada di sana?
     “Siapa yang membawa batu ini?”
     “Apa dipindahkan dengan traktor?”
     “Kenapa enggak ada jejaknya?”
     Makin siang makin banyak warga berkerumun. Tua, muda, anak-anak, laki-laki maupun perempuan, hampir semua warga desa tumplek jadi satu di tempat itu. Mereka mengusap-usap batu itu. Sebagian mengetuk-ngetuknya. Sebagian lagi berusaha mencungkilnya. Sebagian lagi tidak berani menyentuhnya. Mereka bertanya-tanya apa kegunaan batu tersebut. Mereka yakin batu itu tidak mungkin muncul begitu saja.
     “Batu ini pasti kiriman Tuhan!”
     “Mungkin kiriman dewa!”
     “Ah, jangan-jangan dari penunggu bukit?”
     Warga tiba-tiba riuh. Baru kemarin sore para sesepuh kampung bersama Pak Kades dan seorang paranormal setengah kondang meletakkan sesaji di puncak bukit selatan desa, pagi ini sudah muncul keajaiban. Mereka jadi menduga-duga, jangan-jangan batu itu memang pemberian danyang penunggu bukit.
     “Moga-moga lekas turun hujan!”
     “Biar panen nggak gagal!”
     “Biar saya bisa kuliahin anak ke kota!”
     “Biar punya uang buat kawin lagi!”
     Orang-orang tertawa mendengar celotehan yang sudah basi itu. Keriuhan bertambah ramai. Mereka terus berbincang, terus bermimpi, terus berharap. Apalagi ketika Pak Kades datang dan merasa kalau kemunculan batu itu merupakan pertanda kemarau panjang akan berakhir, warga jadi tambah yakin batu itu bisa membawa hujan turun membasahi desa.
     Ketika siangnya hujan benar-benar turun, aroma khas tanah kering yang mendadak basah menyebar ke seluruh penjuru desa. Orang-orang melonjak kegirangan. Mereka berhamburan keluar rumah. Ada yang mengangkat tangan sambil berdoa. Ada yang sujud syukur. Ada yang mengambil ember untuk menampung air hujan. Ada yang lari menuju sawahnya. Ada juga yang menari-nari di halaman rumah bersama anak-anaknya. Sementara Pak Kades langsung menelepon sang paranormal. Pak Kades tak habis mengucap terima kasih, karena paranormal itulah yang memberi saran untuk meletakkan sesaji di atas bukit.
     “Terima kasih, pak … terima kasih sekali lagi,” kata Pak Kades.
     “Sama-sama Pak Kades, saya senang bisa membantu,” kata paranormal.
     “Hebat betul dukun satu ini,” ujar Pak Kades dalam hati sambil mematikan handphone-nya. Ia merasa, tak sia-sia mendatangkan paranormal itu jauh-jauh dari luar desa.
     “Weleh-weleh … kok bisa manjur ya?” kata paranormal kebingungan seraya memasukkanhandphone ke saku celana.
     Hujan turun sampai hari-hari berikutnya. Tak lama kemudian, daun-daun muda tumbuh dari tangkai-tangkai pepohonan, melebar dan bertambah jumlahnya, sawah pun kembali subur. Masa paceklik terlewati dan orang-orang kembali kepada kehidupan mereka yang normal sebagai petani.
     Tapi suatu hari, ketika matahari telah condong dan bayang-bayang petang menjelang, seorang lelaki buta berjalan berpapah pada bahu anaknya, mendekati batu ajaib. Dia meletakkan sebungkus kembang kemudian berdoa. Esoknya dia bangun dengan mata bisa menangkap cahaya. Untuk pertama kali dalam tahun-tahun terakhir hidupnya, dia bisa melihat lagi.  
     Kabar sembuhnya lelaki buta dengan cepat menyebar ke seantero desa. Untuk kedua kalinya orang-orang kembali berkerumun dekat batu ajaib. Sebagian orang menebar kembang lantas berdoa, persis seperti yang dilakukan lelaki buta. Sebagian lagi mengusap-usap batu tersebut kemudian disentuhkan pada bagian tubuh yang sakit. Yang lain mengusap-usap wajah mereka setelah lebih dulu mengusap-usap batu itu. “Biar enteng jodoh,” kata seseorang. “Buat nambah karisma,” kata yang lain.
     Sejak itu, orang-orang sakit disembuhkan, orang buta langsung melihat, orang tuli akhirnya mendengar, orang bisu bisa bicara. Yang susah jodoh segera bertemu pasangan. Yang bercita-cita kerja di kota langsung dapat panggilan kerja. Bahkan ada yang menang togel sampai jutaan rupiah.
     Keajaiban yang terjadi di desa kecil itu langsung menyebar ke segala tempat, apalagi setelah ramai diberitakan di televisi dan surat kabar. Dari hari ke hari, semakin banyak orang berdatangan. Mereka membawa bungkusan kembang telon, bahkan ada yang membawa lisong.
     Sejak batu itu muncul, sawah Karto jadi rusak diinjak-injak peziarah. Ia pun tak bisa lagi bertani. Tapi Karto tak merasa sedih, apalagi marah. Karto malah menangkap peluang bisnis. Ia lantas membuat kotak amal. Orang-orang memasukkan uang seikhlasnya ke dalam kotak tersebut. Apalah artinya seribu dua ribu perak dibandingkan harapan yang jadi kenyataan? Bahkan banyak orang yang memberi lebih. Mereka yakin, harapan mereka akan lebih mudah dikabulkan jika banyak memberi sumbangan.
     Semakin hari semakin banyak orang yang datang, jumlahnya mencapai ribuan. Hidup Karto berubah jadi makmur. Baru kemarin dia membeli parabola, sekarang sepeda motor baru sudah terparkir di depan rumah. Bukan mustahil beberapa minggu lagi dia akan membeli mobil. Sekarang saja, Karto sedang merenovasi rumahnya. Tak percuma ia meminta pada batu ajaib agar diberi kelancaran rezeki.
     Di tempat lain, Pak Kades duduk di pelataran Kantor Kepala Desa. Sedari sore ia enggan pulang ke rumah. Berbatang rokok sudah ia hisap. Kini jemarinya menyelipkan batang rokok terakhir ke sela bibirnya yang kering dan tipis. Pak Kades merasa kesal. Dialah orang yang berinisiatif untuk mendatangkan paranormal, bahkan honor sang paranormal pun diambil dari kantung pribadi. Semuanya demi kepentingan desa. Tapi sekarang, justru Karto yang paling menikmati hasilnya. Pak Kades tidak puas hanya kebagian jatah mengelola lapangan parkir dan menarik retribusi dari para pedagang. Dia berhasrat lebih dari itu!
     Besoknya beberapa hansip menancapkan papan pengumuman di sawah milik Karto. Karto terperanjat. Bola matanya membelalak. Seolah tak percaya ia berusaha mengeja kata demi kata yang tertera di papan tersebut: “Tanah Milik Desa: Akan Dipergunakan Sebesar-besarnya demi Kemakmuran Warga!” Karto protes! Dia berusaha mencabut papan itu, tapi langkahnya dihalangi para hansip. Karto bahkan diusir dari sawahnya sendiri!  
     Karto marah! Benar-benar marah! Belum pernah sekali pun dalam hidupnya ia merasa dirampok sedemikian rupa. Ia bergegas menuju Kantor Kepala Desa. Tapi sesampainya di sana, ia malah kena damprat. “Kamu mau menghalangi kemajuan desa, ya?” bentak Pak Kades. “Kamu mau berontak ya … kamu mau subversif … kamu berani melawan saya … dasar!” Nyali Karto ciut. Dia dikepung hansip yang jadi kaki tangan Pak Kades. Sebagai gantinya, Pak Kades memberi Karto sawah desa yang ada dekat jembatan.
     Siang malam Karto berusaha menuntut haknya. Dia meminta bantuan tetangga, tapi tidak ada tetangga mau menolong. Orang-orang itu diam-diam malah menyoraki keadaan Karto. Pak RT, Pak RW, bahkan Pak Polisi memalingkan muka. Para peziarah pun tak ada yang perduli. Bagi mereka, yang penting batu ajaibnya, sedangkan Karto sama sekali tidak berharga. Bahkan batu ajaib tak mau lagi mengabulkan permohonan Karto, meski Karto berulangkali memelas-melas di batu itu memohon agar sawahnya bisa kembali.
     Malang bagi Pak Kades. Suatu hari ia muntah darah lalu mati. Warga sedih. Mereka mengenang Pak Kades sebagai pemimpin yang sangat memperhatikan kemajuan desa. Sejak Pak Kades menguasai batu ajaib, sekolah dan mushola diperbaiki, jalan-jalan diperlebar dan diaspal, orang-orang tua diberi santunan, bagi-bagi sembako diadakan tiap Jum’at, pokoknya enak deh. Soal isu Pak Kades menilepsebagian uang dari kotak amal, warga sepakat tutup telinga.
Sekarang warga merasa kehilangan sosok dermawan sekaligus panutan. Mereka menjadi sangat marah. Mereka percaya jika kematian Pak Kades disebabkan oleh Karto.
     “Dia sakit hati karena sawahnya diambil!”
     “Padahal demi kemakmuran bersama!”
     “Dasar orang serakah … mau untung sendiri!”
     “Namanya juga OKB!”
     “Dukun santet! Pateni wae!”
     “Ya, matiin aja!”
     “Bunuh! Bakaaaar!”
     Orang-orang yang saban harinya kelihatan ramah itu mendadak berubah jadi serigala buas. Mereka memukuli Karto, menginjak-injaknya, mencincangnya. Jerit tangis anak istri Karto malah dianggap sebagai tetabuhan perang yang menambah semangat pembantaian. Rumah Karto pun habis dibakar setelah isinya dijarah.
                                                                                        ***
Beberapa hari kemudian, Haji Darno, orang terkaya di desa itu, mengambil alih pengelolaan batu ajaib. Dia lantas melakukan pemugaran besar-besaran. Area pemujaan diperluas setelah sawah-sawah di sekitarnya dibeli dengan harga mahal. Tembok tinggi kemudian dibangun mengelilingi komplek tersebut. Tanahnya dikeramik. Lapangan parkir diperluas dan sebuah kantin mentereng dibangun. Para pedagang harus menyewa kantin tersebut. Sebuah papan nama bertuliskan Pesarean Kyai Batu dipasang di atas gerbang. Papan yang lebih kecil, yang berisi tarif masuk serta jam kunjungan, ditempelkan di kanan gerbang. Sedangkan di sisi kiri gerbang, dipasang papan berisi peraturan-peraturan yang harus dipatuhi para peziarah.
     Tepat di hari pembukaan Pesarean Kyai Batu, ribuan orang memenuhi tempat itu seperti semut mengerumuni roti. Haji Darno tersenyum senang membayangkan keuntungan yang bakal ia raih. Tapi begitu gerbang dibuka, batu ajaib sudah raib entah ke mana. Haji Darno menjerit kaget. Ribuan peziarah kecewa. Satu per satu meninggalkan tempat itu sambil menyumpah-nyumpah. Para pedagang menuntut uang sewa kantin dikembalikan. Hansip-hansip menuntut honor jaga, sebab mereka sudah terlanjur ronda bermalam-malam di sana. Soal batu hilang bukan urusan mereka, toh batu itu hilang sendiri, tidak ada yang mencuri, kilah mereka. Haji Darno semaput sambil memegangi dadanya. Dia jatuh dan tak pernah bangun lagi.
     Beberapa hari kemudian sebuah batu ajaib muncul di desa lain. Kali ini dengan ukuran yang jauh lebih kecil. Saking kecilnya batu itu bisa dicelupkan ke dalam gelas oleh penemunya. Warga pun kembali ramai berdatangan dan mengharapkan keajaiban bisa terjadi sekali saja dalam hidup mereka. (*)

Eka Maryono lahir di Jakarta, 2-3-1974. Pendidikan terakhirnya ditempuh di jurusan Sastra Jepang Universitas Nasional (1991-1997).  Saat ini bergiat di komunitas Studi Sastra Jakarta. Bukunya yang sudah terbit Etalase Sunyi (Kumpulan Puisi Kamar, Yayasan Pintar, 2002)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar