Kamis, 03 Mei 2012

PUSAKA (versi lebih ringkas)


*) Dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Minggu 29 April 2012 
Kampung di tengah rimba itu seperti menawarkan kengerian: gelap dan senyap. Hanya sebuah obor yang disangkutkan ke pohon belian di mulut kampung yang menjadikannya sedikit bercahaya. Namun gerimis baru saja mematikan obor tersebut dan kepulan asap dari obor yang mati itu kelihatan seperti kabut pekat yang menjadi pintu masuk ke dimensi lain. Di saat seperti itulah lelaki itu tiba di sana, ketika malam sudah larut dan tak ada tempat lagi yang bisa dia tuju.
Ada rasa ragu menjalar di hatinya, namun deras gerimis memaksa dia terus melangkah. Dan semakin jauh langkah kakinya, semakin dia menyadari jika kampung itu benar-benar sunyi. Hanya ada beberapa rumah panggung dengan penghuni yang mungkin sedang bermimpi. Dia tidak ingin mencari perkara dengan membangunkan orang tidur. Tidak semua orang senang dibangunkan dari mimpi.
Namun ketika hujan akhirnya benar-benar turun, dia tidak punya pilihan lain. Dia terpaksa mengetuk pintu sebuah rumah. Selang beberapa lama, dalam keremangan lampu minyak, seorang perempuan tua muncul dari balik pintu. Matanya menatap tajam seperti memancarkan hawa dingin yang membuat bulu kuduk berdiri.
“Bisakah saya menumpang malam ini?” Bibir lelaki itu bergetar. Nafasnya terhenti. Tapi hanya ini kesempatan terbaiknya. Barangkali tidak ada lagi rumah yang lampu minyaknya masih menyala, kecuali rumah perempuan tua ini.
“Tolonglah saya. Malam ini saja. Besok pagi-pagi sekali saya pergi.”
***
Lelaki itu duduk bersandar pada dinding bambu. Perutnya kenyang. Setelah seharian kelaparan, makanan yang baru selesai dia santap bagaikan hidangan dari surga. Sementara di luar sana hujan belum juga reda. Suara daun-daun bambu bergesekan mengembuskan hawa kengerian. Angin dingin yang masuk lewat celah-celah bambu, membuat rumah itu seperti membeku.
Lelaki itu diam-diam memerhatikan si perempuan tua. Jarak di antara mereka mungkin tiga kali panjang lengan orang dewasa. Usia perempuan itu kira-kira 70 tahun, atau mungkin lebih muda. Tapi keriput yang memakan wajahnya menjadikan dia benar-benar kelihatan tua.  
“Apa yang ingin kau tahu tentang diriku?” Perempuan tua membuka percakapan. Suaranya pelan, tapi nyaring seperti orang tercekik. Si lelaki merasa tidak enak hati. Perempuan tua itu jelas tahu dirinya diam-diam diamati.
“Ah, tidak, saya … saya hanya ingin berterima kasih sudah dibolehkan menginap di sini.”
“Kau pengelana yang tersesat. Aku harus menolongmu. Kenapa kau bisa sampai kemari?”
“Entahlah, saya hanya mengikuti langkah kaki.”
“Kau lari dari masalah?”
Lelaki itu diam. Dia ingat istrinya yang baru dia bunuh beberapa hari lalu. Bersama istrinya, mati pula laki-laki yang telah merusak kebahagiaan rumah tangganya.
“Ya, bisa dibilang begitu.” Suara lelaki itu bergetar.
“Suaramu memancarkan kesedihan. Siapa namamu?”
“A Ghu.”
“Aku Pa’inkg. Orang-orang memanggilku Nek Macan Pa’inkg.”
“Nek Pa’inkg … Nek sendiri di rumah ini?”
“Ya, suamiku mati sepuluh tahun lalu. Kami tidak punya anak.”
Lelaki itu termenung. Matanya menyapu lantai kayu yang gelap. Dia ingat anaknya yang menangis sambil mengoyang-goyang jasad ibunya yang berlumur darah. Entah apa yang ada dalam benak seorang bocah yang bahkan belum bisa mengeja kata-kata.
“Kenapa diam? Kau ingat seseorang? Anakmu?”
Lelaki itu mengangguk. Sebagai pedagang antar pulau, dia biasa pergi jauh sampai berbulan-bulan. Selama itu dia percaya pada kesetiaan istrinya, sampai suatu hari, setelah dia kembali, seseorang mengadu kepadanya. “Ada lelaki sering masuk ke rumahmu saat kau pergi.”
Lelaki itu tak mau begitu saja percaya. Dia harus membuktikannya sendiri. Maka setelah satu bulan dia bersikap biasa-biasa saja, dia pamit pada istrinya. “Aku mau pergi. Mungkin dua atau tiga bulan,” katanya. “Pergilah, hati-hati selalu. Kami akan merindukanmu.” Tapi beberapa hari kemudian dia sudah kembali, tepat ketika istrinya sedang bersama laki-laki lain. Maka terjadilah peristiwa itu.
“Darimana asalmu?”
“Apa itu penting?”
“Tidak juga. Tapi kau harus selalu ingat asalmu. Ke sanalah kau akan kembali.”
Lelaki itu menggeleng. Dia tidak mungkin kembali. Terlalu banyak kenangan di kotanya yang tidak ingin dia ingat lagi. Kenangan manis maupun pahit, kini mengejarnya, mengikutinya, menghakiminya, menjadikan dia seperti pesakitan di kursi terdakwa. Satu-satunya yang dia tidak mungkin lupa adalah anaknya yang tidak sempat dia bawa.
“Apa yang kau inginkan sekarang?”
“Tidak ada. Saya hanya ingin pergi jauh.”
“Pergi ke mana?”
Laki-laki itu tidak menjawab. Matanya menyapu wuwungan rumah. Tidak terlihat apa-apa di sana kecuali gelap. Sejenak dia merasa, seperti itulah masa depannya.
“Kalau kau tidak punya tujuan lagi, maka hidupmu akan berakhir.”
“Maksud Nek?”
“Maksudku, sampai kapan kau akan hidup seperti ini?”
Lelaki itu menunduk. Gemuruh hujan makin deras. Suara gesekan daun dan ranting pepohonan terdengar makin kencang. Tapi di tengah keriuhan hujan, dia merasa sepi. Dia merasa terasing dari dirinya sendiri. Butiran air menggenangi matanya ketika bayang-bayang dirinya yang terpantul di dinding bambu perlahan sirna. Ke mana lagi dia hendak melangkah? Dia tidak mempunyai saudara lain yang bisa dituju. Semua saudara dan teman baiknya menutup pintu ketika tahu dirinya diburu polisi.
“Apa kau ingin kehidupan baru? Tempat tinggal baru? Kau ingin lepas dari masalahmu?”
Mata lelaki itu berbinar. Mungkin perempuan tua ini punya jalan keluar untuknya. Mungkin perempuan tua ini akan menawarinya pekerjaan. Ya, dia bisa membantu perempuan itu. Apa saja akan dia kerjakan asal diberi makan dan tempat tinggal untuk sembunyi dari masa lalu.
“Ya, saya ingin kehidupan baru, tempat tinggal baru, saya ingin melupakan masa lalu,” kata lelaki itu. “Apa ada pekerjaan untuk saya? Nenek tidak perlu membayar saya, cukuplah jika saya diberi makan. Oh, jika ada kandang ternak, saya bersedia tidur di sana. Tak perlu kiranya saya tinggal dalam rumah ini.”
“Benarkah? Aku memang punya pekerjaan untukmu.”
“Apa yang harus saya kerjakan?” 
“Aku ingin kau menjadi pusaka!”
“Pusaka?” Lelaki itu tiba-tiba merasa takut. Raut mukanya menegang. Instingnya mulai berkata lain. “Saya tidak mengerti, menjadi pusaka?”
“Begini,” perempuan tua itu merubah posisi duduknya, sedikit bergeser ke depan. “Sudah lima tahun terakhir kami mendapat musibah. Hutan tak lagi ramah. Buah-buahan menghilang. Hewan sulit diburu. Ternak-ternak mati. Manusia di kampung ini pun banyak yang mati. Lama-lama kami akan musnah.” 
“Lantas, apa hubungannya dengan pusaka?”
“Kami perlu pusaka untuk melindungi kampung ini dari bala.”
“Ya, tapi bagaimana saya bisa menjadi pusaka?”
“Kami perlu pusaka dari tengkorak orang yang dipenggal kepalanya.”
“Apa?” Lelaki itu mendelik. Dia bergidik membayangkan kepalanya lepas dari badan.
“Maukah kau menjadi pusaka? Kau akan menjaga kampung kami dari bencana. Kau tidak perlu ke mana-mana lagi. Kau akan abadi bersama kampung ini. Kebaikan dan pengorbananmu akan selalu kami kenang.”
Mulut laki-laki itu menganga. tak bisa berkata apa-apa. Sementara hujan di luar makin deras saja. Suara daun dan ranting menghilang, diganti dentuman halilintar. Hawa dingin yang menyelusup lewat celah bambu mengunci tubuhnya. Bermenit-menit kemudian, lelaki itu mulai bisa menguasai diri. Dia merasa perempuan tua itu tidak serius dengan ucapannya, atau mungkin dia sudah gila.
“Saya tidak mengerti,” suara lelaki terdengar lirih. “Kenapa nenek memberitahu saya?”
“Buat apa aku bohong padamu?”  
“Tapi saya bisa lari!”
“Supaya masa lalu bisa mengejarmu? Kau senang ditangkap masa lalu?”
Lelaki itu tidak menjawab. Dia berusaha berpikir jernih. Di luar gelap dan hujan, dia bisa bertemu harimau atau ular. Tidak ada harapan baginya di luar sana. Tapi jika dia bisa melewati malam ini, besok pagi-pagi sekali dia akan menyelinap pergi untuk selama-lamanya. Dia tahu sudah saatnya mengakhiri percakapan. Dia harus mengumpulkan tenaga untuk perjalanan esok hari. Maka disenangkannya hati perempuan tua itu.
“Baiklah, saya bersedia menjadi pusaka. Besok siang, silahkan penggal kepala saya.”
 “Benarkah?” Suara perempuan tua terdengar gembira. “Apa benar kau merelakan kepalamu?”
“Ya, saya rela. Tapi biarkan saya istirahat sekarang. Saya ingin tidur untuk terakhir kali.”
“Kami akan memberimu sesaji sepanjang tahun untuk kau makan. Kau tidak akan kelaparan lagi. Kau akan tinggal bersama kami selamanya. Di sinilah asalmu. Tempat kau akhirnya kembali.”
Lelaki itu hanya mengangguk. Dia sudah terlalu lelah untuk menanggapi omongan macam itu. Sesaat setelah perempuan tua meninggalkannya, lelaki itu pun membaringkan diri. Perasaan nyaman menjalari punggungnya yang pegal. Dia teringat malam-malam di mana dia merebahkan diri di samping istri dan anaknya.
Sekilas muncul penyesalan dalam hatinya. Andaikan waktu itu dia bisa menahan diri, tentu dia tidak perlu berada di tempat ini. Namun kemudian dia berpikir istrinya memang layak mati. Lelaki itu tersenyum membayangkan betapa mudah dia menipu istrinya dengan berpura-pura pergi jauh, sama mudahnya seperti sekarang dia menipu perempuan tua itu.
Setelah lama berpikir, lelaki itu akhirnya memutuskan untuk menatap masa depan. Dia akan mencari kerja. Dia akan menabung. Suatu hari nanti, dia akan berdagang lagi. Dan dia akan kembali untuk mencari anaknya. Belum pernah dia merasakan semangat seperti yang dia rasakan sekarang. Suara burung hantu sayup-sayup terdengar di kejauhan. Tak lama kemudian, dia tidur dengan nyenyaknya.
Malam makin larut. Hujan sudah reda. Lidah api dari lampu minyak meredup, namun bayangan tubuh lelaki yang terlelap masih jelas terpantul di dinding bambu. Bayangan itu kemudian berpadu dengan bayangan dari tubuh perempuan tua yang membawa sebilah parang di tangannya. (*)
Eka Maryono
Lahir di Jakarta, 2 Maret 1974. Pendidikan terakhirnya ditempuh di jurusan Sastra Jepang Universitas Nasional (1991-1997). Kini aktif sebagai penggiat komunitas Studi Sastra Jakarta. Bukunya yang sudah terbit “Etalase Sunyi” (Kumpulan Puisi Kamar, Yayasan Pintar, 2002).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar