Senin, 01 Oktober 2012

Problema Sastra Maya Kita (Esai)


*) Dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Minggu 30 September 2012 


Oleh: Eka Maryono

Saya tidak tahu kapan persisnya istilah Sastra Maya muncul dan siapa orang pertama  yang memperkenalkan istilah tersebut. Yang jelas belakangan ini, istilah tersebut sering saya lihat ‘bersliweran’ seiring dengan maraknya publikasi puisi dan cerpen di dunia maya. Dunia maya sendiri kiranya dapat diartikan sebagai sesuatu yang dapat dilihat sehingga terkesan ada, namun sebenarnya tidak benar-benar ada.

Bila dibandingkan dengan media cetak seperti koran, tabloid dan majalah yang dapat dilihat sekaligus bisa dipegang bentuk fisiknya, maka media maya bersifat gaib. Kita hanya dapat melihatnya (berupa tulisan, gambar mati/bergerak), mendengarnya (berupa suara) tapi kita tidak pernah bisa merabanya. Yang dapat kita sentuh hanyalah layar monitor komputer atau ponsel sebagai tempat di mana dunia maya itu divisualisasikan.

Seperti halnya dunia maya yang teramat luas, demikian pula tidak ada batasan tempat untuk sastra maya. Memang ada orang yang berpendapat bahwa sastra maya adalah karya fiksi yang belum terpublikasikan di media massa lain dan dibuat hanya untuk dunia maya. Namun sebenarnya semua tulisan sastra yang dipublikasikan di dunia maya dapat disebut sebagai sastra maya. Hal ini tak ubahnya dengan orang-orang yang bermukim di suatu kota, mereka dapat dikatakan sebagai penduduk atau warga, tak peduli apakah mereka punya KTP kota tersebut atau tidak.

Sastra maya dapat dipublikasikan di website berita ternama atau situs berita kecil-kecilan, jejaring sosial, maupun blog pribadi. Hal ini termasuk karya yang sudah pernah dimuat di media massa, kemudian dipublikasikan ulang di dunia maya, atau sebaliknya. Soal mutu, tentu berpulang pada kemampuan pengarangnya masing-masing, serta perbedaan selera dan standar pembaca dalam menentukan  tinggi  rendahnya mutu sebuah karya.

Dibanding sastra koran, sastra maya memiliki kelebihan dalam kecepatan publikasi dan daya jangkau pembaca. Seorang penulis tidak perlu menunggu waktu lama jika ingin mempublikasikan karyanya. Cukup menyelesaikan sebuah atau lebih tulisan, dan dia bisa memamerkan tulisannya itu kapan pun dia mau, dan pembaca dari seluruh penjuru bumi yang sudah terhubung jaringan internet dengannya dapat langsung melihat karya tersebut. Keleluasaan semacam ini tidak diberikan oleh media cetak. Pengarang  yang mengirimkan karyanya ke media cetak harus melalui proses seleksi oleh redaktur, kemudian menunggu giliran pemuatan yang tak jarang memakan waktu berbulan-bulan. Belum lagi distribusi media cetak yang terbatas, hingga tidak mungkin sanggup menjangkau pembaca dari seluruh dunia, kecuali  jika  media  cetak itu memiliki website dan mempublikasikan ulang karya tersebut dalam website mereka.

Kemajuan teknologi internet pada akhirnya memang dapat meniadakan batasan-batasan geografis, ras, budaya dan agama, juga menghapus peran redaktur dalam menentukan lolos tidaknya suatu karya sastra. Perlahan namun pasti, ruang publikasi karya sastra bergeser dari media cetak menuju dunia maya. Yang semula teks tercetak beralih ke dalam format digital. Bukan mustahil kelak sastra koran akan mati dan bereinkarnasi sepenuhnya sebagai sastra maya.

Mutu Sastra Maya
Namun suka atau tidak, sampai detik ini kesuperioritasan media cetak dalam menjadikan seseorang sebagai pengarang tetap diakui banyak kalangan. Di masa depan, media cetak bisa kehilangan pembaca, tapi tidak di masa kini. Tak heran jika banyak orang mengaku tak memerlukan koran untuk mengekpresikan karya, namun pada saat bersamaan tetap mengirimkan tulisannya ke koran sambil diam-diam berharap karyanya dapat tampil di koran tersebut. Hal ini terjadi karena karya sastra yang dimuat di dunia maya masih dianggap sebagai karya kacangan, sementara karya sastra yang dimuat di koran dipandang lebih tinggi mutunya karena sudah melalui proses seleksi oleh redaktur koran bersangkutan. Kenyataannya, mutu sastra maya memang sering berada di bawah mutu sastra koran, kecuali karya-karya yang sebelumnya sudah terbukti menembus koran-koran besar dan kemudian dipublikasikan ulang di dunia maya.

Tak heran jika akhirnya karya sastra maya dituding sebagai penyebab merosotnya estetika sastra di tanah air karena begitu banyak puisi dan cerpen minim kualitas bertebaran di dunia maya. Sudah begitu, karena orang bisa menulis dan mempublikasikan apa saja dengan estetika yang dia buat sendiri, maka tak banyak kritik yang terbangun karena karya sastra menjadi terlalu liar. Orang bebas memposting puisi dan cerpen apa saja sesuka hatinya, tanpa harus pusing mempertimbangkan aspek-aspek kesusastraan yang sejak lama memiliki aturan sendiri.

Persoalannya, seperti sudah disinggung di awal tulisan, dunia maya memang bukan media cetak. Dunia maya adalah wadah yang tepat bagi penulis pemula untuk memperkenalkan karyanya kepada khalayak pembaca. Di saat sebuah karya dipublikasikan di  facebook misalnya, biasanya akan muncul beragam komentar, baik komentar yang menyukai maupun yang tidak menyukai. Komentar yang menyukai umumnya berisi puji-pujian yang entah asli atau palsu, sementara komentar yang tidak menyukai dapat berupa kritik (bahkan hinaan) yang tentu saja dapat dijadikan masukan penting bagi si pengarang untuk memperbaiki karyanya di kemudian hari.

Dengan adanya sastra maya, produktifitas penulis pemula dapat berkembang. Mereka dapat menulis dan langsung mempublikasikan hasilnya setiap saat, tidak perlu lagi menunggu ruang sastra koran yang biasanya hanya ada sekali dalam seminggu, atau majalah sastra yang umumnya terbit sebulan sekali.

Di tengah cercaan sebagian kalangan mengenai minimnya mutu sastra maya kita, ada baiknya jika para pelaku sastra maya berusaha keras untuk meningkatkan mutu tulisan mereka. Produktiflah menulis sebanyak-banyaknya di awal karir sebagai pengarang. Setelah itu, perlahan-lahan produktifitas justru harus dikurangi. Kecenderungan untuk menulis dengan sangat produktif, lambat laun harus diganti dengan kecenderungan merevisi berulangkali sebuah puisi atau cerpen sampai benar-benar berhasil menjadi karya sastra.

Kiranya bukan pada tempatnya memandang sastra maya sebagai ‘sampah’ yang baunya dapat meracuni atmosfer kesusastraan Indonesia, malah sebaliknya harus diterima sebagai sebuah ‘pembebasan’ yang untuk sejenak dapat melepaskan pengarang dari belenggu media cetak. Sastra maya tak ubahnya pelabuhan sementara bagi para penulis pemula sebelum menemukan pelabuhan terakhirnya. Ibarat sekolah tempat mereka saling belajar dan mengajar untuk meningkatkan mutu tulisan masing-masing. Seperti kawah candradimuka yang pada akhirnya akan melahirkan penulis-penulis tangguh, bukan cuma tangguh dalam teknik menulis, namun juga tahan terhadap siraman pujian maupun cercaan. (*)

*) esai ini juga dimuat di Harian Haluan, Edisi Minggu, 30 September 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar